Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Demotivasi, Obat Pahit Abad Ke-21

Sudah lama saya merasa ada yang salah dengan berbagai acara motivasional di televisi ataupun kutipan motivasi yang bertebaran di media sosial ataupun Whatsapp group. Perasaan itu kira-kira begini: Mengapa saya tidak sedikitpun merasa termotivasi dengan hal tersebut? Dibaca tentu dibaca, diamini tentu diamini, dan kadang-kadang, harus diakui, ungkapan-ungkapan motivasional itu lumayan ada yang bagus juga. Tapi sekali lagi, mengapa saya tidak sedikitpun merasa termotivasi dengan hal tersebut?

Ilustrasi oleh M. Rico Wicaksono (Instagram: @matjan_ningratz)
Tapi kita sepertinya tidak hidup di era di mana sikap anti-motivasional dipandang sebagai sikap yang mesti dihargai. Kurang dari itu, malah sikap anti-motivasional lebih baik dianggap sebagai sikap yang tidak populer, tidak terpuji, dan bahkan penyakit menular yang harus dijauhi. Iya, para motivator terkenal itu sering mengatakan, jangan dekat-dekat orang yang berpikiran negatif, nanti kita yang berpikiran positif ikut terbawa. 

Namun gelagat anti-motivasional sebenarnya mulai menggeliat, terutama sejak media sosial mulai akrab dengan meme. Iya, meme kelihatannya menunjukkan suatu ekspresi yang cenderung ke arah humor yang gelap, satir, sinis, dan cenderung menertawakan diri sendiri. Meme, yang cenderung anonim, kelihatan lari dari tanggung jawab dari upaya-upayanya dalam mengingatkan para warganet tentang hidup kita yang absurd. Tapi anonimitas itulah yang justru menarik: jangan-jangan, sebagian manusia memang sudah berpikir anti-motivasional. Hanya saja, tidak semua dari mereka mau menampakkan diri dengan identitas aslinya - karena mungkin, khawatir dianggap sebagai penyakit masyarakat, sebagaimana sudah diungkap di atas -. 

Bandingkan dengan para motivator yang selalu bangga dengan kalimat motivasi atas nama dirinya, seolah ingin dicatat sebagai sosok yang berjasa dalam mengangkat mereka yang batinnya hampa, dari lubang yang gelap.

Suatu hari, kira-kira empat atau lima tahun yang lalu, saya menulis status di Facebook kira-kira seperti ini (persisnya saya lupa): "Ingin rasanya saya duduk berdua dengan motivator, dan mengatakan, Pak, cari rejeki yang halal aja, jangan mengambil keuntungan dari kekosongan batin orang lain." Responsnya lumayan. Kelihatannya ada belasan atau beberapa puluh orang yang setuju (dilihat dari jumlah likes dan comments) terkait pemikiran ini, yang mungkin merepresentasikan kegelisahan mereka. Bisa saja sudah sejak lama mereka berpikiran yang sama, bahwa apa yang dikatakan pada para motivator itu, sebenarnya adalah sesuatu yang sangat sederhana dan klise. Namun banyak dari peserta yang datang dalam keadaan limbung, batin kosong, dan maka itu meminta pendapat tentang sesuatu yang mereka harusnya juga tahu. Saya tidak menyalahkan para peserta acara motivasi. Hanya saja, masyarakat kita seolah sudah dibentuk seperti itu. Motivator menjadi "nabi abad ke-21", yang pengikutnya adalah mereka yang cemas bagaimana menata hidup di tengah modernitas yang serba cepat dan tidak pasti. 

Apakah yang dikatakan oleh para motivator itu, sesuatu yang keliru? Tidak sama sekali, bahkan bisa jadi, sesuatu yang benar. Namun ada permasalahan yang bisa diangkat: Motivator tersebut, cenderung menganggap pola pikir sebagai panacea atau obat bagi segala. Mau kaya? Berpikirlah ke arah sana. Mau sukses? Berpikirlah ke arah sana. Mereka yang gagal meraih kekayaan dan kesuksesan, pasti karena pikirannya tidak fokus ke sana! Itulah mengapa sikap anti-motivasional kemudian dianggap penyakit masyarakat, karena bertentangan dengan kredo menuju kesuksesan dan kekayaan. Padahal kita bisa kritisi, bahwa orang gagal meraih kekayaan dan kesuksesan, tidak selalu tentang pola pikirnya yang negatif, melainkan juga karena masalah sistemik yang ada di luar kuasa mereka. 

Itulah sebabnya kata-kata motivasional harus kita kritisi sebagai suatu metode yang mengilusi, bahwa seolah-olah semua orang bisa jadi apapun asal pikirannya ke arah sana. Pada titik ilusi yang akut ini, motivator sering menjadi orang yang dimanfaatkan untuk kepentingan eksploitasi dan konsumerisme. Mereka "dipesan" oleh perusahaan agar karyawan lebih rajin dan kadang, religius, atas nama kemajuan korporasi, tanpa bisa bersikap kritis karena pemikirannya sudah dikepung oleh kredo-kredo motivasional. Kalimat motivasional juga ada pada dorongan kita untuk mengonsumsi, seolah-olah membeli ada kaitannya dengan moralitas, dan itu mengepung kita juga, di mana-mana (contohnya, slogan-slogan pada iklan komersial). Apakah sikap kritis bisa mengeluarkan tajinya dalam kondisi semacam itu? Bisa, tapi tidak bisa secara langsung menunjuk sikap motivasional sebagai biang keladi dari persoalan. Sekali lagi, karena secara sistemik sikap anti-motivasional dianggap sebagai penyakit masyarakat. 

Maka mari kita coba tawarkan suatu pemikiran yang sebenarnya tidak baru sama sekali, tapi mungkin menarik karena dimunculkan di tengah masyarakat yang alergi dengan sikap anti-motivasional. Kita punya ruang dan momentum, yaitu kehidupan internet dengan segala meme-nya, yang merayakan dengan tragis segala bentuk sinisme dan absurditas. Namanya sederhana dan istilahnya sudah sering digunakan: demotivasi. Dalam demotivasi ini, kita bisa membangkitkan kembali pemikiran yang tenggelam dalam masyarakat yang terkena "inflasi motivasi", seperti skeptisisme, stoisisme, sinisme, absurdisme, pesimisme, dan bahkan nihilisme. Pemikiran-pemikiran yang muncul di era mulai dari Yunani Kuno, Hellenisme, sampai Abad ke-20 tersebut, pasti bukan muncul tanpa alasan. -Isme -isme itu hadir untuk mengimbangi suatu pemikiran yang terlampau positif dan antusias, yang bisa jadi menyebabkan masalah tersendiri bagi masyarakat. 

Paling mudah tentu menunjuk Perang Dunia I dan II, sebagai konsekuensi dari pemikiran masa Romantik, yang erat dengan patriotisme yang sangat optimistik dan melihat negara sebagai instrumen untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang luhur. Sejumlah pemikir, seperti kaum eksistensialisme kemudian menanggapi hal tersebut sebagai sesuatu yang omong kosong: "Beginikah hasil pemikiran yang 'super motivasional' yang muncul dari gagasan Romantik itu? Perang besar yang mengorbankan jutaan manusia atas nama patriotisme dan apalah itu terkait negara dan cita-cita kemanusiaannya?" 

Demotivasi adalah pemikiran yang tidak rumit-rumit amat, namun mesti dipahami sebagai antitesis dari kondisi masyarakat yang serba motivasional. Lewat demotivasi, kita diajak untuk memahami kembali hidup secara kritis dan realistis. Skeptis itu boleh, sinis itu perlu, tanpa harus takut dicap sebagai pesakitan. Demotivasi bukan artinya hidup malas-malasan, melainkan hidup dengan berpegang pada tanggung jawab dan panggilan dari dalam, berupa suara hati atau gairah, tanpa perlu menalikan diri pada suara-suara motivasional yang bisa jadi tidak ada kaitannya dengan keinginan kita yang terdalam. Motivasi seringkali mengajarkan kita untuk menjadi homogen, dalam arti menuju kekayaan dan kesuksesan - yang bisa jadi, sangat utopis -, sementara demotivasi membawa kita untuk merayakan heterogenitas, bahwa dalam hidup ada juga "orang biasa dengan pekerjaan biasa" yang bisa jadi lebih bergairah daripada mereka yang mengejar kekayaan dan kesuksesan, tapi bingung dengan apa yang dipijaknya. 

Demotivasi juga mengingatkan kita lebih sering terkait kematian, yang menghantui kita setiap saat, sebagai batas dari segala tindakan yang paling mulia sekalipun. Motivasi berlebihan memang berbahaya, karena menepikan kematian sebagai kenyataan eksistensial yang tidak penting. Padahal, tidakkah umumnya agama-agama, sebenarnya menyuarakan demotivasi lebih sering, bahwa hidup di dunia ini tidak lebih dari persinggahan yang penuh senda gurau? Kenapa harus terlalu serius terhadap segala sesuatu? 

Demotivasi mengandung sisi bahaya, yang tidak bisa begitu saja diterapkan bagi anak-anak hingga remaja, yang memerlukan harapan dan cita-cita dalam tindak-tanduk mereka. Demotivasi juga mengandung sisi bahaya, bagi mereka yang sakit dan berharap kesembuhan melalui harapan sesedikit apapun. Tidak semua orang dapat menerima demotivasi sebagai obat yang sangat pahit ini. Tapi setidaknya, mari mulai pelan-pelan mempromosikan konsep ini, bukan lagi sebagai racun yang berbahaya, namun sebagai obat penawar bagi berbagai ilusi memabukkan yang ditebar oleh kalimat-kalimat motivasional. 


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1