Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Dari Diskusi Literasi Road to Bandung Writers Festival

Saya diajak oleh teman, Deni "Kochun" Ramdani untuk menjadi project officer untuk acara bertajuk Bandung Writers Festival. Saya iyakan meski tahu bahwa ini adalah tugas yang tidak ringan, apalagi akan berlangsung nyaris sepanjang tahun. Rangkaian acara Bandung Writers Festival dimulai pada tanggal 21 - 23 Februari yang diberi judul Road to Bandung Writers Festival: Sastra dan Kearifan Urban. Acaranya macam-macam dan detailnya bisa dicek di instagram @bandungwritersfestival. Tulisan di bawah ini adalah rangkuman dari salah satu mata acaranya yaitu Diskusi Literasi. Diskusi Literasi berlangsung sebanyak lima kali dalam tiga hari. 

Diskusi Literasi #1 
Sastra Masa Kini
Narasumber: Zulfa Nasrulloh

Foto: Dokumentasi Bandung Writers Festival

Masa kini adalah masa ketika ukuran kebenaran menjadi serba nisbi. Tidak terkecuali di wilayah sastra, yang mana setiap orang tiba-riba menciptakan ukuran sendiri untuk menilai mana sastra yang bagus dan mana yang kurang bagus. Ini memang semacam konsekuensi dari zaman, yang memungkinkan sastra paling adiluhung sekalipun, dapat bersanding dengan sastra populer yang mungkin tidak sesuai dengan “kaidah” dari “kanon sastra”. Sastra masa kini juga adalah sastra yang membuka kemungkinan lebih besar terhadap metode alih wahana, yang membuat sastra dapat diterima dalam bentuk teater, film, musik, dan bahkan kutipan-kutipan di instagram. 

Diskusi Literasi #2 
Sastra Sunda di Era Digital
Narasumber: Deri Hudaya

Foto: Dokumentasi Bandung Writers Festival


Digitalisasi ternyata tidak serta merta memberangus sastra Sunda, terutama kaitannya dengan semakin masuknya pengaruh-pengaruh dari luar budaya lokal. Justru digitalisasi adalah peluang bagi kita untuk mempopulerkan bahasa-bahasa “yang nyaris terpinggirkan”, tentunya dengan gaya dan ekspresi baru. Tidak terkecuali dengan sastra Sunda, yang sekarang justru semakin mudah diakses, dan dapat tersebar melalui teknologi baru, seperti misalnya Keblueks: Kumpulan Sajak Sunda Digital dari Wahyu Heriyadi yang dapat diperoleh dengan cara memindai QR Code. 

Diskusi Literasi #3 
Dunia Digital: Kabar Baik bagi Literasi Anak?
Santi Indra Astuti

Foto: Dokumentasi Bandung Writers Festival

Dunia digital bukanlah hal yang mesti dijauhi secara berlebihan. Hal yang mesti dilakukan adalah justru mengakrabinya, sambil memahami bagaimana bentuk digitalisasi yang justru dapat mendorong anak untuk lebih kreatif dan berwawasan. Pada dasarnya, literasi digital justru harus dimulai dari orangtua terlebih dahulu. Orangtua mesti menjadi lingkaran terdalam pertama yang memahami nilai-nilai dalam dunia digital, sebelum meluas perlahan ke ruang lingkup sekolah, komunitas, hingga negara. Digitalisasi baru akan menjadi kabar baik bagi literasi anak, jika ada kerjasama dan koordinasi yang kuat antara unsur-unsur di atas. 

Diskusi Literasi #4
Sastra dan Ruang Publik
Narasumber: Rosihan Fahmi


Foto: Dokumentasi Bandung Writers Festival

Bagi sebagian orang, sastra selama ini dipandang sebagai wilayah yang eksklusif. Namun pandangan tersebut tidak sepenuhnya keliru, terutama karena tidak adanya upaya untuk menghadirkannya di tengah publik. Rindu Menanti adalah gerakan yang menghadirkan sastra di ruang publik, terutama dengan program Halte Sastra, yang menempatkan berbagai kutipan sastra beserta siluet para sastrawan di belasan halte di Kota Bandung. Sebagian dari hasil kerja tersebut masih bertahan hingga hari ini, tapi sebagian besar sudah rusak atau lebih tepatnya, dirusak. Pengrusakan tersebut dapat dinilai sebagai bagian dari respons publik terhadap sastra, selain dari bentuk respons lain yang melegakan, yaitu perlindungan menyeluruh dari tukang parkir, preman, tukang jualan, dan masyarakat sekitar, demi tetap tegaknya Halte Sastra.


Diskusi Literasi #5 
Sastra dan Kritisisme
Narasumber: Herry “Ucok” Sutresna

Foto: Dokumentasi Bandung Writers Festival

Sastra yang kritis bisa ada hubungannya dengan perubahan, bisa juga tidak ada hubungannya sama sekali. Namun setidaknya, sastra yang kritis, meski disampaikan lewat budaya yang paling massal dan populer sekalipun, tetap dapat diterima sebagai gerbang menuju literatur kritis selanjutnya, dan diharapkan timbul menjadi kesadaran baru yang kuat. Meski demikian, budaya massa tetap mengandung dua sisi mata uang. Sisi pertama, dapat menjadi “gerbong” bagi pemikiran kritis agar dapat diterima masyarakat secara lebih luas – walau tetap harus ditindaklanjuti dengan gerakan aktivasi yang konkrit -. Namun di sisi yang lain, budaya massa menciptakan desakralisasi dan sekaligus menghilangkan “transendensi” dari apa yang dikritiknya. Bisa jadi, pembaca sastra kritis ini menjadi kritis, tapi tidak benar-benar menghayati karena apa yang diterimanya hanya bagian dari histeria massal yang tidak berujung apa-apa.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat