Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Tentang Penghinaan



Maraknya isu tentang penghinaan dalam beberapa minggu terakhir, misalnya soal rendang babi yang dianggap penghinaan terhadap orang Minang serta kasus promosi Holywings yang dianggap penghinaan terhadap umat Muslim (karena menyebut nama "Muhammad" dalam materi promo) membuat saya, dipicu oleh tweet Banin Diar Sukmono, seorang kawan, terpaksa membuka-buka literatur tentang penghinaan: apa itu penghinaan? Bagaimana sesuatu dapat disebut penghinaan? 

Lewat penelusuran literatur, akhirnya saya menemukan buku yang ditulis oleh Thomas Conley yang berjudul Toward a Rhetoric of Insult (2010). Meski di dalamnya tesis-tesis Conley kurang lengkap bagi saya, tetapi setidaknya ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan inspirasi. Pertama, apa yang disebut Conley sebagai "scenario", yang saya perluas menjadi pengondisian atau penyituasian. Penghinaan kecil kemungkinan terjadi dalam kondisi yang telah disepakati, misalnya: "penghinaan" antar teman atau "penghinaan" antar aktor atau aktris di atas panggung komedi. Memang bisa saja penonton merasa terhina oleh katakanlah, seorang komika, tapi itu artinya penonton tersebut tidak mengantisipasi, ia merasa tereksklusi dari pengondisian dengan misalnya merasa: "Wah, kok jadi begini ya, aku gak nyangka bakal begini." Dapat dikatakan pula, seseorang bisa merasa terhina karena suatu keadaan yang tidak ia sangka-sangka, "tidak janjian sebelumnya".

Perluasan tesis kedua adalah soal niat atau intensi. Penghinaan bisa jadi mengandaikan niat untuk menghina. Misalnya, di luar makna semantiknya, mengatakan "gendut lo" pada orang gendut bisa jatuh pada penghinaan karena diniatkan untuk menghina. Meski demikian, soal niat ini agak sukar untuk diverifikasi. Persoalan lebih rumitnya, jika dibandingkan dengan humor, dalam semesta si penghina, ia bisa jadi tidak benar-benar berniat menghina, tetapi membuat semacam humor. Penghinaan, pada mulanya, bisa merupakan humor yang kemudian "kurang berhasil" sehingga sasaran menjadi merasa terhina. Hal ini yang terjadi dalam misalnya kasus Holywings, yang tadinya mungkin semacam "lucu-lucuan" atau kartun Charlie Hebdo yang dibuat dengan gaya karikatural tapi berujung penghinaan serius bagi sebagian umat Muslim.

Perluasan tesis ketiga, yang mungkin paling dianggap "universal" adalah apa yang disebut Conley sebagai "vehicle" yang dapat dilihat sebagai makna semantik. Adakah kata atau pernyataan tertentu yang dianggap "universal" sebagai penghinaan? Kita ambil contoh kata-kata yang menunjuk hewan tertentu seperti "anjing", "babi", "monyet", "ayam" yang bisa juga diasosiasikan pada sifat-sifat spesifik yang berkaitan dengan hewan yang dimaksud (misalnya, babi artinya rakus, ayam artinya penakut dan sebagainya). Selain itu, adakah makna semantik yang pasti menghina pada kata-kata yang mendegradasi intelektualitas seperti "goblok", "tolol" atau "idiot"? Kita bisa kembalikan "universalitas" ini pada pertama, pengondisian (jika disampaikan antar sahabat mungkin tidak masalah) dan kedua, intensi itu tadi. Bahkan ada variabel yang lebih rumit yaitu aspek non verbal, tentang bagaimana kata-kata tersebut diberi "penekanan" misalnya kata "anjing" bisa sangat bersahabat bisa juga menunjukkan sikap permusuhan tergantung dari cara disampaikannya. 

Dapat dilihat bahwa penghinaan lebih dapat dijelaskan secara kontekstual, itu sebabnya kasus-kasus yang berkaitan dengannya, dalam beberapa hal, sangat bisa diperdebatkan. Namun jika berusaha mencari pijakan yang "universal" berkenaan dengan penghinaan, maka uraiannya kira-kira seperti ini: 

  1. Penghinaan mengandaikan adanya semacam hal-hal yang dianggap berharga oleh seseorang atau suatu kelompok seperti misalnya keluarga, budaya, agama, profesi atau apapun itu, untuk kemudian "diinvalidasi" oleh si penghina. Misalnya, jika seseorang sangat menganggap agama yang dia anut adalah berharga, maka sikap menginvalidasi terhadap agama yang ia anut tersebut bisa jatuh pada penghinaan. Artinya, tidak akan merasa terhina orang yang menganggap dirinya "tidak punya apa-apa yang berharga" (meski ini kondisi yang agak terlalu ideal). 
  2. Penghinaan mengandaikan standar sosial tertentu yang dianut oleh masyarakat. Misalnya, jika mengatakan seseorang "tukang baso" pada kelompok yang memang profesi dominannya adalah "tukang baso" tidak akan dianggap suatu penghinaan. Sebaliknya, jika suatu masyarakat menganut suatu norma bahwa "mencari rejeki harus halal", maka sebutan seperti "maling", "koruptor" atau "penjudi" mungkin akan menjadi penghinaan. 

Untuk lebih merumitkannya lagi, terdapat konsep satir yang kurang lebih meleburkan gagasan tentang humor dan penghinaan. Dalam satir-satir seperti Animal Farm-nya George Orwell, serial The Simpsons atau The Great Dictator-nya Charlie Chaplin, di sana terdapat kritik serius terhadap masyarakat dan otoritas dengan cara-cara yang "jenaka". Penghinaan memang bisa diredam jika kita bisa membungkusnya dengan satir yang ciamik sehingga jika ada yang terhina dengan satir, hanya ada dua kemungkinan: apakah satirnya kurang halus atau orang yang merasa-nya, terlalu over-sensitif. Dalam titik itu mungkin berlaku semacam "hukum": apakah humor yang jatuh pada penghinaan itu karena "kurang satir"? Sementara di sisi lain, apakah penghinaan yang jatuh pada humor itu karena "terlalu satir"?

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1