Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam


 

Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat.

Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tipis pemikiran Agustinus, Johannes Scotus Eriugena, Thomas Aquinas hingga William of Ockham, mendadak saya merasa perlu kembali lagi menyusuri Sokrates, bahkan Pythagoras (padahal sudah sering sekali diceritakan pada orang-orang). 

Live Instagram tersebut awalnya direncanakan mulai pukul sepuluh pagi dan berakhir sepuluh malam dengan termasuk di dalamnya beberapa kali istirahat. Istirahat tersebut selain karena keterbatasan fisik, juga karena keterbatasan durasi dari live Instagram itu sendiri yang memang dibatasi hingga maksimal empat jam per sekali live. Maka itu dalam bayangan saya, akan dilakukan setidaknya tiga kali break dengan masing-masing durasi istirahat sekitar lima belas menit. Catatan-catatan sudah disiapkan, termasuk e-book yang dibuka di hadapan, supaya tidak kehabisan materi pembicaraan. Intinya, di hari H, saya merasa sudah sangat siap untuk melakukan “performance” ini – meski agak khawatir apakah bisa sampai finis atau tidak. 

Dua jam pertama, saya merasa sangat lancar dan bersemangat. Penonton lumayan, kira-kira stabil di angka lima puluh. Saya berhasil mengirit-irit pembahasan dengan mengulur periode Yunani Pra-Sokrates. Di atas dua jam, ternyata tenaga mulai berkurang drastis. Sesi pertama ditutup dengan pembahasan singkat tentang stoisisme dan stop di durasi dua jam empat puluh menit. Baru sesi pertama, saya terpikir untuk menyerah karena membayangkan akan ada sepuluh jam lagi di hadapan. Kemudian saya mengatur strategi, untuk tidak sepenuhnya bicara, melainkan sesekali berhenti, pergi ke toilet, merokok sambil bengong atau bahkan ngemil. Dengan bekal strategi tersebut, saya memulai sesi kedua. 

Sesi kedua, ternyata saya merasa lebih lemas dari sebelumnya. Tertatih-tatih membahas sejarah Abad Pertengahan mulai dari perdebatan doktrin Kristiani sampai Peter Abelard, saya stop di durasi dua jam dua belas menit. Artinya, kira-kira saya sudah menyelesaikan lima jam kurang sedikit. Masih tujuh jam lagi saya harus berbicara, akhirnya saya memutuskan tidur siang barang lima belas sampai dua puluh menit. Untuk menghibur diri sendiri, saya membangun sugesti: oh, mungkin saya kurang bersemangat karena membahas tema yang bukan favorit, yaitu Abad Pertengahan

Sesi ketiga, saya memutuskan untuk sekilas-kilas saja membahas Thomas Aquinas, Duns Scotus dan William of Ockham. Lagipula, setelah dipikir-pikir, mengapa harus dibahas secara lengkap? Toh, perjalanan masih jauh (selain itu, saya juga kurang menguasai bahasan tentang mereka). Akhirnya saya memutuskan untuk lebih berpanjang-panjang dalam memaparkan latar belakang masa Renaisans ketimbang berlama-lama di Abad Pertengahan. Pembahasan tentang masa Renaisans akhirnya berujung pada ulasan tentang pemikir kita semua: Rene Descartes. Stop di dua jam tiga puluh menit, sesi ketiga ditutup dengan pembahasan mengenai Descartes dan bagiku itu adalah pit stop yang melegakan. Alasannya, dari Descartes, saya sudah bisa berbicara tentang siapapun dengan agak bebas. Dengan berakhirnya sesi ketiga itu juga, artinya, tinggal empat jam setengah lagi durasi yang mesti diselesaikan. 

Sesi keempat, saya memulainya dengan membahas John Locke dan ditutup dengan pemaparan sekilas gagasan J.J. Rousseau tentang demokrasi. Total durasi sesi keempat ini hanyalah satu jam empat puluh dua menit. Alasannya? Saya sudah sangat kelelahan! Saya sudah sambil makan bubur kacang dan sering pura-pura ke toilet lama sekali padahal untuk menarik napas. Martin Suryajaya yang turut menonton sudah tampak khawatir dan memberi saran: baiknya sambil tiduran saja live-nya, hapenya dipegang. Istri mengecek tensi dan hasilnya membahayakan: 165 / 100. Dia sudah menyuruh stop tapi dia juga tahu suruhan semacam itu tidak akan mempan. 

Jadi, jika melihat waktu yang saat itu sekitar pukul sepuluh malam, mestinya saya sudah selesai melakukan live Instagram (karena sudah sesuai jadwal). Namun di sisi lain, saya masih merasa kurang puas karena dua belas jam ini artinya adalah waktu kotor. Jika dihitung durasi bersih, saya masih harus menyelesaikan dua jam setengah lagi. Akhirnya, saya putuskan untuk membereskan durasi bersih dan melanjutkan live hingga sekitar pukul dua belas lewat dua puluh lima menit. Saya menyelesaikan pemaparan di Jean Paul Sartre dan merasa tidak perlu lagi untuk meneruskan hingga posmodern. Di sesi terakhir ini, suara saya sudah diperkecil untuk menghemat tenaga. Setelah dihitung, durasinya ternyata tidak sampai dua belas jam, melainkan sebelas jam empat puluh menit. Yah, sudahlah. 

Besoknya saya tidur seharian, tidak kuasa untuk mengerjakan apapun yang serius kecuali makan, sambil mengingat-ingat apa yang saya lakukan kemarin itu adalah hal yang kurang kerjaan. Apa yang memberi saya kekuatan adalah pertama, filsafat itu sendiri. Kecintaan yang terlalu melimpah, sampai-sampai saya tidak butuh semacam doping untuk bicara selama setengah hari. Kedua, adalah ibu. Ia terbiasa mengajar dari pagi sampai malam. Hal demikian tidak hanya memerlukan kekuatan, tapi juga dedikasi. Saya tidak selalu mengingatnya, karena ia sudah ada dalam kata-kata dan hela nafas saya.

Comments

  1. Those giant deviations on the right have an effect, the very fact fact} that|although} they're a really small proportion of the info. Download a Stopwatch and Countdown timer that stays on top of all open home windows. Nikita is a published writer and an experienced gambling writer with a passion for all things iGaming. Billboard's blistering article about hip-hop's "magic" slipping away is 바카라사이트 completely on point, in accordance with Eminem's artist Westside Boogie ... About 23,000 stores in all 58 counties promote state lottery games. Lottery sales—after prizes and operation costs—support education.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1