Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Operation Finale (2018): Tentang Iblis yang Tampil Biasa

Operation Finale (2018)


Memang benar saya tergila-gila dengan film yang berhubungan dengan Perang Dunia II. Beragamnya pilihan acara yang ditawarkan Netflix sementara ini tidak menarik minat saya. Ujung-ujungnya tetap saja yang ditonton adalah film yang ada kaitannya dengan Nazi-Nazi-an. Kali ini saya memilih film Operation Finale, film tahun 2018 yang bercerita tentang momen-momen penangkapan Adolf Eichmann di Argentina. 

Kesan pertama saya tentang Operation Finale ini adalah tone-nya yang tidak kelam seperti film lainnya yang serupa, sebut saja Schindler's List, Downfall, ataupun The Boys in Striped Pajamas. Film ini hampir seperti film "pada umumnya" dengan tampilan yang tidak dibuat-buat agar dramatis dan muram. Bagi saya yang terbiasa dengan penggambaran gelap pada film-film berbau Perang Dunia II, Operation Finale ini awalnya saya duga akan mengecewakan. 

Ternyata, dari waktu ke waktu, suasana yang "diharapkan" mulai terbangun, terutama saat sosok Adolf Eichmann, yang diperankan oleh Ben Kingsley muncul. Seperti yang digambarkan oleh filsuf Hannah Arendt dalam bukunya, Banality of Evil, hal yang mengerikan dari Eichmann justru karena ia tampil seperti "orang biasa" dengan kegiatan-kegiatan biasa, sama sekali tidak mencerminkan eks petinggi Nazi yang telah menjadi salah satu arsitek holocaust. Eichmann, yang berhasil lolos dari penjara tahanan perang Amerika pasca perang, tinggal di Argentina dan menjalani kehidupan normal dengan nama Ricardo Klement. 

Kengerian yang digambarkan oleh Arendt tampak saat momen percakapan Eichmann dengan para agen Mossad yang menangkapnya. Dari obrolan ke obrolan, Klement pelan-pelan menjelma menjadi Eichmann dalam artian: "orang biasa" itu menampakkan jatidirinya. Sedikit demi sedikit iblis dari masa lalunya berbicara dan pandangan kita akan Klement tua kian memudar. Di sinilah film Operation Finale yang disutradarai Chris Weltz tersebut mengaduk-aduk perasaan kita untuk mengajukan pertanyaan: bagaimana mungkin orang tua seperti Klement dulunya adalah seorang jagal yang tanpa ampun menghabisi jutaan nyawa? 

Film ini tidak banyak menampilkan adegan kekejian Nazi, tetapi suspens dibangun secara psikologis, termasuk misalnya saat salah satu agen Mossad, Peter Malkin, mencukur janggut Eichmann. Sambil mencukur janggutnya dengan pisau, Eichmann menceritakan masa lalunya, yang membuat Malkin, sebagai seorang Yahudi, geram. Suasana ini ngeri-ngeri sedap. Bayangkan, musuh kita ada di hadapan, tidak berdaya, dan pisau yang kita pegang sudah ada di lehernya. Hanya dengan sedikit tekanan, ia bisa dibunuh. Namun apa boleh buat, Malkin harus bertindak berdasarkan akal sehatnya, mengingat misi ini memang mengharuskan Mossad membawa Eichmann ke Israel dalam keadaan hidup untuk diadili. 

Di dalam persidangan, Eichmann mengaku tidak merasa bersalah atas pembunuhan orang-orang Yahudi karena ia hanya melakukannya berdasarkan perintah (bagian ini tidak banyak ditampilkan di dalam film). Pada titik ini, kita masuk pada persoalan moral yang pelik, tentang keharusan menaati peraturan versus hati nurani dalam memperlakukan manusia lainnya. Dalam lanskap kehidupan di Jerman pada masa itu, melakukan diskriminasi hingga pembunuhan terhadap Yahudi bukan hanya bagian dari menjalankan perintah negara, tetapi juga dipuji sebagai sesuatu yang "bermoral."

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1