Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Puspasari


Saya bertemu Puspasari pada bulan Mei 2018 di kelas filsafat ilmu yang diadakan oleh Kaka Cafe. Momen itu bertepatan dengan meninggalnya ibu. Di pagi hari, kami memakamkan ibunda dan malam harinya, saya berangkat mengajar dengan suasana penuh kesedihan. Mengapa saya tetap berangkat? Entah, mungkin karena saya tidak tahu lagi harus berbuat apa di tengah kebingungan ditinggal ibu. Di kelas pertemuan pertama tersebut, saya sebenarnya tidak tahu ada Puspa karena ya itu, mungkin saya juga sedang tidak berkonsentrasi. 

Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, saya mulai sadar ada Puspa di antara murid-murid kelas tersebut dan kami akhirnya mengobrol beberapa kali. Singkat cerita, kami menjadi sering berjumpa di luar kelas dan pada bulan Juli akhirnya memutuskan untuk saling berkomitmen. Sejak awal menjalani hubungan khusus ini, memang sudah ada pembicaraan tentang pernikahan. Saya tidak tahu kenapa Puspa tampak tertarik dengan ide tersebut, padahal di usianya yang waktu itu masih 23 tahun dan menjalani magang sebagai dokter, rasanya masih banyak yang bisa ia lakukan ketimbang mengurung diri di dalam institusi bernama pernikahan. 

Di sisi lain, saya baru saja menjalani masa-masa menjadi duda dalam waktu sekitar setahunan. Entah mengapa, saya juga tergolong berani untuk membicarakan pernikahan padahal sama sekali belum sembuh dari luka akibat kegagalan sebelumnya. Saya melihat Puspa benar-benar tidak keberatan dengan status saya, termasuk dalam memahami kesedihan beruntun yang saya alami akibat perceraian dan kematian ibunda. Ia juga tampak tidak mempunyai masalah dengan kenyataan bahwa saya sudah memiliki putri. Hal yang menurut saya agak mengherankan bagi usianya yang masih tergolong muda. 

Perjalanan menuju pernikahan ini ternyata sangat tidak mudah. Bisa dimaklumi, bahwa orangtua Puspa sempat agak meragukan profil saya yang pernah gagal menjalani pernikahan. Selain itu, usia saya juga terpaut jauh dengan Puspa, yaitu sekitar sembilan tahun. Khawatirnya, Puspa diajak untuk mengarungi pola pikir saya yang "terlampau dewasa", yang tampak terlalu realistis, sementara Puspa sendiri masih dalam kondisi mengejar cita-cita yang masih luas kemungkinannya. 

Dua tahun lebih kami menjalani hubungan sambil pelan-pelan meyakinkan orangtuanya bahwa kami memang berniat menikah. Akhirnya di pertengahan tahun 2020, restu tersebut datang. Berangkat dari izin kedua orangtuanya, akhirnya kami melangsungkan pernikahan tanggal 16 Agustus 2020 dengan undangan terbatas hanya untuk saudara-saudara saja karena pesta dilakukan masih di masa pandemi. 

Hari ini adalah setahun tepat pernikahan kami. Pernikahan yang tidak bisa dikatakan ideal, kalau yang ideal itu diukur dari standar-standar umum masyarakat seperti punya rumah atau punya anak. Kami berjuang setiap hari mengerjakan ini itu untuk sekadar hidup, sambil menikmati momen-momen kecil yang membuat sedih ataupun tertawa. Kami mempraktikkan hidup yang tanpa arah dan tujuan, tetapi dengan demikian justru kami merasa tidak pernah tersesat. 

Puspa bagi saya adalah sosok istri yang luar biasa. Ia mencoba terus-terusan memahami saya yang aneh dan kompleks ini. Ia tampak sabar (meski tidak jarang terlihat kesal) dan sering kali membuat saya malu karena saya merasa tidak pernah melakukan hal sebaliknya. Meski usianya jauh lebih muda, tetapi ia kelihatan siap menghadapi hari-hari penuh tantangan dan ketidakpastian, hal yang sudah dipikirkannya matang-matang sejak awal memutuskan untuk hidup bersama saya. Selamat hari ulang tahun pernikahan, Sayang, terima kasih sudah bertahan meski saya ini manusia yang penuh kelemahan.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1