Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
12 Ramadhan 1433 H
Pernahkah menyaksikan film
tentang Che Guevara berjudul Che yang
disutradarai oleh Steven Soderbergh dalam dua edisi? Jika kesulitan memahami
film tersebut, jangan menyalahkan alurnya yang terlalu lambat. Bisa jadi ini
diakibatkan oleh ketiadaan fondasi mengenai sejarah perjalanan hidup Che
Guevara sebelumnya. Untuk itu, selain membaca literatur, ada baiknya
menyaksikan film dokumenter The True
Story of Che Guevara agar menjadi suplemen sebelum menikmati sajian Che
Guevara yang lebih reflektif via akting Benicio
Del Toro dalam Che.
Dalam sembilan puluh menit, Maria
Berry berupaya merangkum kehidupan Che dari ia kecil hingga kematiannya di Bolivia.
Tidak hanya itu, Berry juga mewawancarai
beberapa orang yang cukup paham kehidupan “si
orang Argentina”
tersebut seperti Jon Lee Anderson (Penulis biografi Che Guevara: A Revolutionary Life), Hugo
Morales (pemimpin Bolivia yang menganut ideologi Marxis sebagaimana Che), serta beberapa eks gerilyawan maupun petani yang di masa kecilnya pernah menyaksikan sepak terjang Che.
The True Story of Che
Guevara memulai filmnya dari kenyataan
bahwa Che menebar pengaruhnya secara luar biasa di seluruh penjuru dunia. Paling mudah, kita bisa menemukan lukisan wajahnya yang amat ikonik di berbagai tempat, mulai dari grafiti hingga sablonan kaos. Setelah itu, secara tegas film bercerita tentang kehidupan Che yang membentuk dia menjadi seorang revolusionis. Sebelum Che berkeliling Amerika Latin dan membantu pergerakan kaum petani dan buruh menggulikan penindasan kapitalisme, dikisahkan bahwa dirinya berasal dari keluarga yang justru berada. Pendidikannya pun cukup mapan. Che adalah mahasiswa lulusan kedokteran. Kemudian dikisahkan bagaimana ia bertemu dengan Fidel Castro dan membantu kelompok gerilyanya untuk menggulingkan pemerintah diktatorial Kuba di bawah Fulgencio Batista. Keberhasilan Revolusi Kuba ini memberi semangat bagi Che untuk memulai revolusi di pelbagai negeri di Amerika Latin. Namun Amerika Serikat, yang tidak menyukai pergerakan Che, memilih untuk menyudahinya di Bolivia lewat aksi CIA. Che, yang bernama asli Ernesto Guevara ini, mati dieksekusi pada tanggal 9 Oktober 1967.
Meski menyuguhkan informasi yang cukup padat, namun beberapa kali ilustrasi yang ditampilkan agak kurang merepresentasikan Che sebagaimana diceritakan (setidaknya secara fisik). Che Guevara yang diperankan Maria Ramirez Reyes, bertubuh agak tambun dan tidak menunjukkan suatu karisma seorang comandante. Hal tersebut baru terasa kentara jika sudah menyaksikan film Che yang digarap Steven Soderbergh dimana Che Guevara yang diperankan Benicio Del Toro tampak sangat karismatik sebagaimana yang kerapkali dituliskan dalam literatur. Adakah hal ini krusial? Ya dan tidak. Bagi mereka yang menganut ideologi dan cara pikir Che beserta proses pembentukan pola pikirnya, tentu saja hal tersebut tidak menjadi masalah. Tapi ada juga orang yang memulai penilaian terhadap suatu figur berdasarkan karismanya, seperti bagaimana RRC mengagungkan Mao Zedong, Uni Soviet mengagungkan Lenin, Kuba mengultuskan Castro, dan -jangan jauh-jauh- Indonesia menganggap Soekarno masih mempesona.
Rekomendasi: Bintang Tiga Setengah
Comments
Post a Comment