Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Menunggu


Pada hari Sabtu kemarin, saya ditelpon oleh Kang Ismet, pimpinan grup musik Sambasunda. Intinya, saya diminta ke Majalaya esok hari atau hari Minggu, 26 September untuk memoderasi diskusi yang akan berlangsung di sela-sela pementasan virtual. Saya langsung mengiyakan meskipun sebelumnya sudah memproyeksikan hari Minggu itu untuk bersantai saja di apartemen. Waktu tempuh dari tempat tinggal saya ke Majalaya, Kabupaten Bandung, adalah sekitar 1,5 jam. Meski acara katanya dimulai pukul 14, tetapi saya sudah berangkat dari pukul 10 karena berencana untuk nongkrong terlebih dahulu di sebuah kafe di Majalaya. Alasannya, ya ingin ganti suasana saja. 

 Sesampainya di sana, sekitar pukul 11.30, saya ngopi di tempat namanya Ri-Box. Tempat ini direkomendasikan oleh seorang kawan, Zulfa Nasrulloh, yang kebetulan memang warga lokal. Zulfa berencana datang sekitar pukul 13 dan sambil menunggu, saya mengerjakan materi presentasi tentang sinisme. Sambil menunggu pula, saya memesan kopi yang pasti saya pesan di manapun itu yaitu vietnam drip. Alasannya, saya tidak mengerti kopi-kopian dan hanya tahu kopi yang itu-itu saja, salah satunya vietnam drip. Belum selesai saya mengerjakan materi presentasi tentang sinisme, Zulfa datang dan kami berbincang sekitar satu jam sebelum akhirnya berangkat ke Jugala Center tempat Kang Ismet dan Sambasunda akan melakukan konser virtual. 

 Di Jugala Center yang merupakan tempat kepunyaan Pak Gugum Gumbira dan Bu Euis Komariah (keduanya sudah berpulang dan dimakamkan di tempat tersebut), kami bertemu Kang Ismet dan Sambasunda (yang beranggotakan 10 - 15 orang) yang sedang makan siang. Setelah makan, mereka bersiap-siap di sebuah panggung terbuka dengan latar yang begitu asri dan hijau. Rencana acaranya adalah sebagai berikut: Sambasunda akan memainkan sekitar 8 - 9 lagu yang direkam untuk kemudian ditampilkan di Youtube pukul 20 di hari yang sama dan di antara lagu-lagu tersebut, ada ngobrol-ngobrol dengan saya sebagai pemandunya. Sebagai narasumber, ada Kang Ismet, Kang B-Q (Bambang Qamaruzzaman Anees), Kang Heru (Heru Hikayat) dan Zulfa. Namun sebelum diskusi berlangsung, hujan deras turun dan karena panggung tidak menggunakan atap, maka para pemusik terpaksa meninggalkan panggung dan syuting menjadi ditunda. Kami berteduh di sebuah rumah di sekitar panggung dan yang dilakukan kemudian hanyalah menunggu. 

Hingga menjelang matahari terbenam, hujan belum juga reda. Jika syuting dilanjutkan, maka kemungkinan akan berlangsung di malam hari dan ini menjadi masalah baru: ternyata tidak ada tata lampu. Akhirnya, lampu-lampu diambil terlebih dahulu di suatu tempat entah di mana yang memerlukan waktu dua jam lebih. Belum lagi, saat lampu itu sudah tiba, maka perlu waktu lagi untuk menatanya. Intinya, kami semua menunggu. Saya memanfaatkan waktu menunggu itu dengan meneruskan menggarap materi presentasi sambil makan baso. Sementara itu, Kang Heru dan Zulfa tidak bisa lagi menunggu dan mereka memutuskan pulang. Tinggal saya dan Kang B-Q yang bertahan dan kami banyak mengobrol sambil menunggu. Hingga pukul 12 malam, belum ada tanda-tanda syuting dan diskusi akan segera dimulai. 

Di tengah-tengah menunggu tersebut, saya perhatikan para personel Sambasunda tidak ada yang mengeluh. Beberapa dari mereka bercengkerama, sebagian lagi tidur, sebagian lagi ada yang merokok sambil menyendiri, tetapi tidak ada yang menunjukkan wajah kesal karena menunggu begitu lama. Saya bertanya pada Kang Ismet tentang mengapa mereka begitu sabar. Jawabnya, "Kami sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti ini. Bahkan pernah kami sudah duduk di pesawat dan ternyata harus turun semua karena keberangkatan ditunda." Namun intinya, menunggu, bagi orang-orang ini, bukanlah sesuatu yang menyiksa. Apakah saya tersiksa? Jika dikaitkan dengan durasi menunggu yang nyaris 12 jam dan mengingat-ingat bahwa besok paginya pukul 8 saya sudah harus mengajar, ya, saya tersiksa. Namun jika hal-hal tersebut bisa diabaikan dan fokus pada menunggu saja, maka keresahan menjadi jauh berkurang. 

Apalagi, di masa-masa menunggu tersebut, saya banyak mengobrol dengan Kang B-Q dan beliau, seperti biasa, banyak memberikan petuah menyegarkan melalui gaya-gaya sufistik. Tiba akhirnya giliran kami untuk berdiskusi di jam 2 pagi! Diskusi berjalan lancar sampai akhirnya selesai pukul sekitar 3.30 dini hari. Saya bergegas pulang ke apartemen dan tiba pukul 5 pagi. Tidur kurang dari 3 jam sebelum akhirnya bangun untuk mengajar pukul 8. 

Menunggu memang melelahkan, tetapi tidakkah kita semua sebenarnya sedang "menunggu"? Menunggu kematian tentunya. Sambil menunggu itu, ada yang "bercengkerama", "tidur" ataupun "merokok sambil menyendiri". Hal yang membedakan hanyalah ini: ada yang wajahnya lelah, kesal, tapi ada juga yang berseri-seri. Bersikap gelisah pada dasarnya tidak akan membawa ke mana-mana. Jikapun kita buru-buru karena malas menunggu, memangnya, mau ke mana?

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1