Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Otentisitas > Pengalaman Estetik (?)

Made You Look: A True Story About Fake Art

Beberapa hari yang lalu, dalam rangka persiapan mengisi forum tentang seni rupa kontemporer, saya menonton dan membaca beberapa hal terkait seni, baik yang berhubungan langsung dengan seni rupa kontemporer maupun yang tidak langsung. Saya membuka Netflix dan tertarik dengan film dokumenter berjudul Made You Look: A True Story About Fake Art (2020). Mungkin tidak berhubungan langsung dengan seni rupa kontemporer, tetapi saya menemukan sejumlah hal menarik (dan pada akhirnya bisa dihubung-hubungkan). 

Film dokumenter yang disutradarai oleh Barry Avrich ini menceritakan tentang kasus lukisan palsu yang menyerang galeri Knoedler di New York, terkait berbagai transaksi yang dilakukan oleh presiden galeri, Ann Freedman, antara tahun 1994 sampai 2009. Lukisan yang dijualnya antara lain karya-karya Jackson Pollock, Mark Rothko, dan Robert Motherwell. Ann Freedman mendapatkan lukisan-lukisan tersebut dari orang bernama Glafira Rosales yang menjualnya dengan harga ratusan ribu dollar, sebelum dijual kembali pada para kolektor dengan harga belasan hingga puluhan juta dollar. 

Meski sempat diklaim sebagai karya-karya asli oleh beberapa ahli, tetapi akhirnya terkuak bahwa lukisan tersebut ditiru oleh seniman asal Tiongkok bernama Pei Shen Qian. Pei Shen Qian memang melakukan peniruan, tetapi tidak dalam konteks kejahatan pemalsuan. Ia hanya melakukannya karena mungkin ada orang yang ingin punya lukisan (seperti) Jackson Pollock atau Mark Rothko di rumahnya, tetapi tidak harus membeli yang asli. Selain itu, menurut pengakuan salah satu informan dalam film, di Tiongkok, tiru meniru karya seni itu "biasa", dan bahkan ada kelas khusus untuk melatihnya. 

Hal yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana karya-karya tersebut, sebelum diragukan keasliannya, dianggap indah dan berharga. Namun saat terkuak siapa pembuat aslinya, tiba-tiba menjadi tidak berharga sama sekali. Apakah itu artinya otentisitas mendahului pengalaman estetik? Jika iya, maka seni rupa modern mengandung paradoks: di satu sisi, benar bahwa individualitas, ke-aku-an seniman menjadi penting dan bahkan segala-galanya (semacam antroposentrisme khas modernisme) dan di sisi lain, seni rupa modern juga mengagungkan kemurnian estetika atau keindahan pada dirinya sendiri, yang seharusnya lepas dari hal-hal di luar estetika, termasuk soal otentisitas. 

Di film dokumenter tersebut, diceritakan bagaimana suasana di pengadilan yang menegangkan (karena melibatkan sengketa puluhan juta dollar) tapi sekaligus agak jenaka. Bayangkan, para ahli memeriksa lukisan tersebut, termasuk putra dari Mark Rothko, tetapi terlepas dari apakah lukisan tersebut bukan asli, ada satu hal yang mereka sama-sama setuju: itu lukisan yang indah. Kalau itu lukisan yang indah pada dirinya sendiri, masih pentingkah otentisitas? Atau jangan-jangan, tidak cukup bagi para kolektor itu untuk memiliki karyanya saja. Mereka ingin memiliki hidup sang seniman atau menjadi bagian dari kehidupannya yang penuh glorifikasi. 

Pei Shen Qian, meski keterampilannya tidak bisa diremehkan (bahkan bisa jadi secara kemampuan lebih hebat dari seniman-seniman yang dia tiru), tidak punya nama sebesar Pollock atau Rothko. Itulah sebabnya, karya-karya itu menjadi tidak ada artinya dan bahkan kehilangan pesona estetiknya. Memang iya bahwa karya seni bisa jadi, karena itu merupakan produk manusia, maka sosok manusia sebagai kreator menjadi krusial. Namun ada hal yang bisa dicurigai: bukankah hidup manusia bisa diglorifikasi secara artifisial? misalnya, melalui media ataupun kajian akademis yang menjelma menjadi hegemoni. Mari kita berandai-andai: seandainya Pei Shen Qian lahir dan besar di "Barat" (lalu sukses di sana), mungkin ceritanya menjadi lain.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1