Harus diakui bahwa saya tidak punya sumber primer tentang kisah ini. Mudah-mudahan yang lebih penting adalah "pesan moral"-nya (meski saya kurang suka istilah pesan moral). Jadi begini, seorang teman, namanya Sutrisna atau saya panggil dengan sebutan Kang Tris, pernah bercerita tentang seorang tukang cendol yang tidak mau diborong. Katanya cerita tersebut ia ambil dari kumpulan kisah sufi yang ditulis oleh Cak Nun. Namun sampai sekarang saya belum pernah membaca sendiri kisah tersebut.
(Setelah saya menulis paragraf di atas, saya coba googling dan ternyata menemukan cerita tersebut! Silakan membaca kisahnya di sini)
Secara singkat, ini adalah cerita tentang tukang cendol yang seluruh dagangannya hendak diborong oleh seseorang yang akan mengadakan kumpul-kumpul. Setelah diborong, cendol tersebut rencananya dibagikan secara gratis pada tamu-tamu yang datang. Dalam pikiran sederhana kita, tentu saja semua senang jika cendol-cendol tersebut diborong. Bagi tukang cendol, dagangannya habis, ia mendapat uang, dan bisa pulang lebih cepat untuk beristirahat. Bagi si pembeli, ia bisa mendapatkan banyak makanan dengan segera untuk dibagi-bagikan pada tamu.
Ternyata tukang cendol tersebut menolak dengan alasan khawatir ada orang lain yang menginginkan cendol dagangannya. Padahal siapa yang nantinya akan membeli dagangannya, ia juga tidak tahu persis dan bahkan bisa jadi tidak akan membuat dagangannya habis. Namun ia bersikeras menolak untuk diborong dan memilih berdagang seperti biasa.
Waktu Kang Tris bercerita sekitar sepuluh tahun silam itu, saya tidak paham mengapa tukang cendol tersebut tidak mau dagangannya diborong. Sekarang saya mencoba membacanya dari persoalan keadilan distributif. Jika cendol itu diborong, hanya akan ada pemilik "tunggal" dan si pedagang memang selesai menjajakan dagangannya (untuk hari itu), tetapi yang menjadi masalah adalah cendol ini bisa jadi menjadi hak orang lain juga untuk didistribusikan secara "merata". Hal ini menjadi persoalan keadilan karena mereka yang tidak kebagian cendol adalah orang-orang yang aksesnya ditutup dan bukan karena mereka tidak mampu membelinya.
Sebagai ilustrasi, kita bisa bayangkan bagaimana asal muasal akuisisi mata air oleh perusahaan tertentu yang awal mulanya kemungkinan berakar dari transaksi borongan sebagaimana halnya si pembeli dan tukang cendol. Pemilik mata air, bisa itu negara yang direpresentasikan oleh perwakilan di desa tempat mata air itu berada, menyetujui pembelian "borongan" terhadap mata air tersebut, dengan dalih semua senang: perusahaan berhak atas penguasaan sepenuhnya, pihak yang dibeli mendapat uang, dan konon, distribusi tetap dilakukan secara adil dan merata.
Namun yang terjadi adalah seperti yang kita alami sekarang ini, bahwa air memang didistribusikan lewat kemasan gelas atau botol, tetapi kita harus membelinya dan harganya juga tentu sudah diperhitungkan agar memperkaya si produsen. Bukan tidak mungkin di dalam rantai distribusi ini, ada pihak yang mendapatkan akses lebih, entah itu dengan harga yang lebih murah di pasaran atau bahkan gratis. Intinya, kegiatan memborong, meski dengan dalih distribusi, kelihatannya akan berpotensi menghasilkan masalah ketidakadilan secara lebih luas.
Masalahnya memang tidak sederhana. Pertanyaan lain mesti kita ajukan: kalau bukan si perusahaan itu, bukankah semestinya "pemilik" mata air yang mendistribusikannya secara lebih merata? "Pemilik" mata air, siapapun itu, kemungkinannya "tidak sanggup" karena tidak memiliki teknologi serta kemampuan produksi dan distribusi yang memadai, sehingga menyerahkan sepenuhnya pada si perusahaan. Persis dengan logika penambangan di Freeport: pihak penambang mengatakan pada pemerintah, "Biar kami saja yang menambang, kalian terima uangnya." Di sinilah persoalan pemerataan ternyata mesti ditarik ke persoalan teknologi. Jika akses terhadap teknologi tidak merata, maka pengelolaan suatu sumber daya akan kerap dikuasai pihak tertentu saja dan otomatis pihak lainnya akan berada di sisi yang kurang beruntung.
Mungkin pembicaraan ini menjadi terlalu jauh dan mari kita kembali ke tukang cendol. Tukang cendol tersebut menolak karena tidak memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri, melainkan membiarkan dagangannya tetap aksesibel untuk banyak orang, meski belum tentu dibeli semuanya. Mungkin ia tahu logika si pembeli: meski cendol itu nantinya akan dibagi-bagikan, tetapi ia hanya akan membuka akses bagi kelompok kecil saja dan ada hal lain yang lebih berbahaya, yaitu perasaan menguasai cendol-cendol. Perasaan menguasai karena telah memborong inilah yang mungkin bagi si tukang cendol, bermasalah secara etis. Akhirnya ia bersikukuh untuk memanggul dagangannya. Meski berat, ia tahu keterbukaan akses adalah lebih penting ketimbang kekayaan pribadi.
Comments
Post a Comment