Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Tentang Tukang Cendol yang Tidak Mau Diborong



Harus diakui bahwa saya tidak punya sumber primer tentang kisah ini. Mudah-mudahan yang lebih penting adalah "pesan moral"-nya (meski saya kurang suka istilah pesan moral). Jadi begini, seorang teman, namanya Sutrisna atau saya panggil dengan sebutan Kang Tris, pernah bercerita tentang seorang tukang cendol yang tidak mau diborong. Katanya cerita tersebut ia ambil dari kumpulan kisah sufi yang ditulis oleh Cak Nun. Namun sampai sekarang saya belum pernah membaca sendiri kisah tersebut. 

(Setelah saya menulis paragraf di atas, saya coba googling dan ternyata menemukan cerita tersebut! Silakan membaca kisahnya di sini

Secara singkat, ini adalah cerita tentang tukang cendol yang seluruh dagangannya hendak diborong oleh seseorang yang akan mengadakan kumpul-kumpul. Setelah diborong, cendol tersebut rencananya dibagikan secara gratis pada tamu-tamu yang datang. Dalam pikiran sederhana kita, tentu saja semua senang jika cendol-cendol tersebut diborong. Bagi tukang cendol, dagangannya habis, ia mendapat uang, dan bisa pulang lebih cepat untuk beristirahat. Bagi si pembeli, ia bisa mendapatkan banyak makanan dengan segera untuk dibagi-bagikan pada tamu. 

Ternyata tukang cendol tersebut menolak dengan alasan khawatir ada orang lain yang menginginkan cendol dagangannya. Padahal siapa yang nantinya akan membeli dagangannya, ia juga tidak tahu persis dan bahkan bisa jadi tidak akan membuat dagangannya habis. Namun ia bersikeras menolak untuk diborong dan memilih berdagang seperti biasa. 

Waktu Kang Tris bercerita sekitar sepuluh tahun silam itu, saya tidak paham mengapa tukang cendol tersebut tidak mau dagangannya diborong. Sekarang saya mencoba membacanya dari persoalan keadilan distributif. Jika cendol itu diborong, hanya akan ada pemilik "tunggal" dan si pedagang memang selesai menjajakan dagangannya (untuk hari itu), tetapi yang menjadi masalah adalah cendol ini bisa jadi menjadi hak orang lain juga untuk didistribusikan secara "merata". Hal ini menjadi persoalan keadilan karena mereka yang tidak kebagian cendol adalah orang-orang yang aksesnya ditutup dan bukan karena mereka tidak mampu membelinya. 

Sebagai ilustrasi, kita bisa bayangkan bagaimana asal muasal akuisisi mata air oleh perusahaan tertentu yang awal mulanya kemungkinan berakar dari transaksi borongan sebagaimana halnya si pembeli dan tukang cendol. Pemilik mata air, bisa itu negara yang direpresentasikan oleh perwakilan di desa tempat mata air itu berada, menyetujui pembelian "borongan" terhadap mata air tersebut, dengan dalih semua senang: perusahaan berhak atas penguasaan sepenuhnya, pihak yang dibeli mendapat uang, dan konon, distribusi tetap dilakukan secara adil dan merata. 

Namun yang terjadi adalah seperti yang kita alami sekarang ini, bahwa air memang didistribusikan lewat kemasan gelas atau botol, tetapi kita harus membelinya dan harganya juga tentu sudah diperhitungkan agar memperkaya si produsen. Bukan tidak mungkin di dalam rantai distribusi ini, ada pihak yang mendapatkan akses lebih, entah itu dengan harga yang lebih murah di pasaran atau bahkan gratis. Intinya, kegiatan memborong, meski dengan dalih distribusi, kelihatannya akan berpotensi menghasilkan masalah ketidakadilan secara lebih luas. 

Masalahnya memang tidak sederhana. Pertanyaan lain mesti kita ajukan: kalau bukan si perusahaan itu, bukankah semestinya "pemilik" mata air yang mendistribusikannya secara lebih merata? "Pemilik" mata air, siapapun itu, kemungkinannya "tidak sanggup" karena tidak memiliki teknologi serta kemampuan produksi dan distribusi yang memadai, sehingga menyerahkan sepenuhnya pada si perusahaan. Persis dengan logika penambangan di Freeport: pihak penambang mengatakan pada pemerintah, "Biar kami saja yang menambang, kalian terima uangnya." Di sinilah persoalan pemerataan ternyata mesti ditarik ke persoalan teknologi. Jika akses terhadap teknologi tidak merata, maka pengelolaan suatu sumber daya akan kerap dikuasai pihak tertentu saja dan otomatis pihak lainnya akan berada di sisi yang kurang beruntung. 

Mungkin pembicaraan ini menjadi terlalu jauh dan mari kita kembali ke tukang cendol. Tukang cendol tersebut menolak karena tidak memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri, melainkan membiarkan dagangannya tetap aksesibel untuk banyak orang, meski belum tentu dibeli semuanya. Mungkin ia tahu logika si pembeli: meski cendol itu nantinya akan dibagi-bagikan, tetapi ia hanya akan membuka akses bagi kelompok kecil saja dan ada hal lain yang lebih berbahaya, yaitu perasaan menguasai cendol-cendol. Perasaan menguasai karena telah memborong inilah yang mungkin bagi si tukang cendol, bermasalah secara etis. Akhirnya ia bersikukuh untuk memanggul dagangannya. Meski berat, ia tahu keterbukaan akses adalah lebih penting ketimbang kekayaan pribadi.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat