Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Perihal Kematian



Tahun 2021, saya mengalami dua kali sakit parah. Pertama, bulan Juli, saat terpapar COVID-19 edisi Delta dan kedua, bulan Oktober, saat dada saya tiba-tiba terasa sesak dan dilarikan ke rumah sakit. Awal tahun 2022, saya pindah ke Jakarta, menandai fase hidup yang baru. Namun baru saja beberapa hari beres-beres, saya mengalami masalah serius pada pencernaan hingga harus kembali menginap di rumah sakit. Kali ini sampai tiga atau empat hari (saya lupa persisnya dan malas mengingat-ingat). Sejak rentetan kejadian itu, saya mulai merenungkan tentang kematian. Meski saya kerap membicarakannya via gagasan para filsuf, tapi hal-hal demikian hanya ada dalam pikiran, hanya sebagai teori, bahwa kematian adalah begini begitu, sedangkan sejak kejadian itu, dan sesudah-sesudanya: kematian adalah sesuatu yang nyata, hal yang begitu dekat dan saya sama sekali tidak mampu mengantisipasinya. Nyaris setiap saat saya mengalkulasi: oke usiaku sekarang segini, mungkin masih ada umur sekitar dua puluh tahun lagi untuk hidup, oke, itu cukup lama, aku masih bisa ini itu untuk menyiapkan kematian yang mungkin "damai". 

Setiap mendengar berita kematian, saya melakukan tanya jawab dengan diri sendiri: kenapa ya dia meninggal? Usianya berapa? Oh, masih jauh dari usia saya. Oh, penyebab meninggalnya karena sakit A, mungkin karena dia kebanyakan merokok, kurang olahraga, kurang konsumsi makanan bergizi, kalau aku tidak merokok, rajin olahraga, makan makanan bergizi, mungkin aku tidak akan terkena sakit A. Begitulah, saya membuat semacam rumus, bahwa kematian bisa agak-agak "dihindari" atau setidaknya tidak mesti menjalani derita terlebih dahulu, jika melakukan tindakan A B C D dan menghindari tindakan E F G H. Kalkulasi semacam itu, saya sadar, tidak lebih dari penghiburan yang sangat mengada-ngada: kematian tidak berjalan dalam rumus-rumus demikian. Bahkan kalaupun seseorang telah menerapkan berbagai hidup sehat lahir batin, itu tidak berarti ia dijauhkan dari intaian sang maut. 

Jujur, meski saya khawatir akan kematian, saya tidak terlalu khawatir dengan apa yang menanti setelah mati. Konsep akhirat memang menenangkan, tapi sekaligus menggelisahkan. Lebih baik jika hal demikian tidak perlu dipikirkan, setidaknya untuk saat ini, dan fokus sebisa-bisa pada apa yang dilakukan di dunia. Pada beberapa kejadian saya mengalami sakit serius sebagaimana telah disinggung di atas, saya membayangkan kematian di hadapan. Namun pada saat bayangan akan kematian itu tiba, saat saya benar-benar berada di "sana", saya tidak dalam andaian seperti yang saya pikirkan sebelumnya. Ketika momen itu "tiba", kita ada di momen "itu", bukan renungan tentang momen "itu" sebagaimana kita pernah pikirkan. Seperti saat kita membayang-bayangkan bertemu A, tapi saat bertemu A, bayangan itu tidak sepenuhnya sama, bahkan banyak bedanya, bahkan buyar sekalian. 

Hiburan lain yang bisa saya ajukan adalah ini: kematian adalah hukum alam yang tidak bisa ditolak. Hal yang membuatnya menakutkan, bisa saja akibat konstruksi peradaban yang menganggap mati adalah suatu kemunduran, suatu hasil yang buruk dari apapun. Selain itu, kematian juga menjadi menyedihkan, karena kerap dihubung-hubungkan dengan dimensi etis. Dalam hal ini, Mba Upie membuat saya tercerahkan, dengan mengatakan bahwa kematian bisa juga dipandang dalam kerangka estetis. Iya juga ya: sehebat-hebatnya pertunjukan, tidak akan menjadi hebat jika tidak diakhiri.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1