Skip to main content

Tentang Kaum Intelektual dalam Pandangan Gramsci

  (Artikel diturunkan dari Bandung Bergerak) Nama Antonio Gramsci bukanlah nama yang terlalu asing dalam dunia pemikiran di Indonesia. Pandangannya tentang hegemoni kultural banyak digunakan untuk membaca beraneka pengaruh budaya yang ditanamkan oleh kelas yang lebih berkuasa ( ruling class ) sehingga diterima seolah-olah sebagai norma umum atau bahkan sesuatu yang “kodrati”.  Gramsci menulis sekitar tiga ribu halaman dalam kumpulan esai yang dijuduli Quaderni del carcere atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Prison Notebooks . Gramsci memang menulis dari balik jeruji penjara. Sejak bulan November 1926 hingga meninggalnya tahun 1937, Gramsci berstatus sebagai tahanan politik akibat dikenal keras mengritik rezim fasisme Musollini. Gramsci, yang lahir tahun 1891 di Sardinia, Itali, meninggal dalam usia 46 tahun di Roma akibat kesehatannya yang terus merosot sejak ditahan.  Dalam The Prison Notebooks tersebut, ada sejumlah problem yang dituliskan oleh Gramsci, salah sat

COVID-19 dan Antroposentrisme

 


Kira-kira sejak minggu ketiga Juni, istri dan saya dinyatakan positif terkena virus SARS-CoV-2 atau lebih dikenal dengan COVID-19. Awal-awal badan mulai terasa kurang sehat, saya tidak langsung was-was bahwa ini adalah gejala yang berhubungan dengan COVID-19. Sekitar tiga hari sejak masa-masa kurang enak badan itu, saya sadar indera perasa hilang saat minum kopi. Besoknya, saya tidak bisa mencium bau kayu putih sama sekali dan akhirnya memutuskan untuk tes PCR. Hasilnya sudah bisa kami duga, bahwa kami terkena virus yang sedang marak tersebut. Bagi saya yang memiliki komorbid, dampak virus ini cukup serius. Setiap harinya, ada saja hal yang tidak mengenakkan mulai dari pegal-pegal, demam tinggi, batuk-batuk hampir sepanjang hari, kehilangan indra pengecap dan penciuman sehingga kurang berselera untuk makan, hingga saturasi yang naik turun (meski tidak sampai terlalu rendah). 

Akhirnya masa-masa sulit itu dilewati selama kurang lebih dua minggu dan kami sekarang sudah berkegiatan normal kembali. Pandemi gelombang kedua ini memang terasa lebih serius, mengingat selain kami sendiri yang dinyatakan positif, teman-teman dan saudara dekat juga mengalami infeksi. Kepanikan orang-orang dalam mencari oksigen, toa masjid yang sehari hingga beberapa kali mengumumkan inna lillahi, hingga pengetatan kegiatan di mana-mana, kian menambah suasana mencekam. Sebelumnya, meski sadar akan bahaya pandemi, tetapi rasanya agak jauh dan ada sebersit pikiran bahwa virus ini tidak mungkin benar-benar menghinggapi kami. 

Tentu ada hal yang patut direnungkan dari seluruh kejadian pandemi yang punya pengaruh sangat besar ini. Banyak orang mengeluh dan menyalahkan virus ini sebagai biang keladi lumpuhnya beraneka kegiatan dan wafatnya sejumlah orang dekat. Sikap semacam itu tentu wajar-wajar saja, tetapi tidak mengubah keadaan dan malah membuat runyam inti persoalannya. Menyalahkan virus justru menunjukkan bahwa manusia sama sekali tidak memandang seluruh persoalan dalam kerangka yang lebih luas. Virus ini bukanlah penyebab, tetapi bisa dilihat sebagai akibat. Akibat dari apa? Antroposentrisme yang kebablasan, yang merusak alam, sehingga virus ini bisa kita bayangkan hadir sebagai usaha alam dalam bertahan lebih lama dari eksploitasi manusia. 

Hal tersebut ibarat orang-orang menyalahkan Adolf Hitler atas terjadinya Perang Dunia II. Padahal jika dilihat lebih luas, pokok persoalannya bukan pada sosok si Hitler itu. Hitler bukanlah sebab, melainkan akibat dari kebencian rasial yang panjang. Kalaupun bukan Hitler, mungkin ada sosok lain yang menggantikannya, yang mungkin saja, lebih brutal. Dalam arti kata lain, jika bukan melalui COVID-19, mungkin alam akan melakukan cara lain dalam merespons sikap manusia yang serakah. 

Demikian, saya bukannya tidak berempati atas siapapun yang wafat di antara kita. Namun dalam kacamata keabadian, segalanya terjadi atas hukum alam yang tidak dapat ditolak. Saat segalanya berlangsung terlalu berat sebelah, akan ada usaha-usaha dari alam untuk menyeimbangkan dirinya, dengan cara apapun. Albert Camus mengatakan, "Apa itu wabah? Wabah adalah hidup, itu saja," ia seratus persen benar soal itu. Virus ini bukanlah suatu benda asing dari luar sana, melainkan bagian dari diri kita, yang berasal dari kita, dan kembali ke kita. Segala umpatan terhadap situasi pandemi, pada dasarnya adalah umpatan terhadap diri sendiri. 

Sekarang mungkin istri dan saya sudah pulih, tetapi dosa-dosa industrial tetap melekat pada kami, yang dengan sembuhnya ini, mungkin akan kembali menjadikan alam sebagai objek untuk dieksploitasi.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat