Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Tentang Demotivasi III


Setelah menulis Demotivasi I (2020) dan Demotivasi II (2021), rasanya saya perlu menggenapkan (atau mengganjilkan) jumlahnya menjadi tiga dengan menulis Demotivasi III - supaya mungkin lebih bagus terdengar sebagai trilogi ketimbang dwilogi (yang mengingatkan saya pada Padang Bulan-nya Andrea Hirata). Namun itu bukan artinya bahwa Demotivasi III adalah penutup. Bisa jadi, saya menulis lagi sampai IV, V, VI, dan seterusnya. Entahlah. Menulis yang pertama saja awalnya cuma sekadar impulsif, mencari cara bertahan hidup di masa pandemi, dan ternyata penjualannya tidak buruk, sehingga saya memutuskan menulis yang kedua, sekalian mengerucutkan renungan tentang demotivasi itu sendiri. Jadi, menulis hingga jilid tiga tidak pernah saya rancang sejak awal dan begitu saja terjadi. Dengan demikian, saya juga tidak berani memprediksi apakah Demotivasi akan ditutup di edisi tiga atau masih akan ada edisi-edisi berikutnya.

Untuk jilid ketiga ini, saya mencoba mengambil beberapa jalur yang berbeda dari Demotivasi I dan Demotivasi II. Misalnya, soal penerbit. Pada Demotivasi III, saya memilih untuk bekerjasama dengan penerbit Yrama Widya (dua edisi sebelumnya, Demotivasi diterbitkan oleh penerbit Buruan & Co.). Penerbit Yrama Widya ini mungkin kurang dikenal di pergaulan penerbitan indie karena fokusnya memang lebih banyak pada buku-buku pelajaran dan latihan soal. Buku Demotivasi IIIini akan jadi buku saya yang kedua yang diterbitkan oleh Yrama Widya setelah buku Pengantar Ilmu Komunikasi yang rilis bulan Mei kemarin. Mengapa memilih penerbit Yrama Widya? Ya, saya ingin mencoba bekerjasama dengan penerbit mayor. Selain tidak perlu membayar ongkos cetak, juga distribusinya bisa lebih luas. 

Selain itu, terkait desain sampul, saya memutuskan untuk mencari desainer sendiri dan dipilihlah Nadya Noor, desainer ilustrasi sampul buku biografi Derrida. Ini alasan selera personal saja, karena suka dengan desain-desain Nadya. Selain itu, supaya agak "tidak terduga", karena sampul Demotivasi I dan Demotivasi II ada "kesamaan sifat", maka Demotivasi III ini ingin "keluar dari pola sebelumnya" dengan memasukkan banyak ornamen dan "motif Islami". Saya melihat Nadya terampil sekali dalam membuat desain-desain yang ornamentatif. Di bagian belakang sampul, rencananya saya akan memasukkan foto Zulkifli Songyanan dengan pose seperti K.H. As'ad Humam di buku Iqro. Kenapa foto Zulkifli dan bukan foto saya? Entah kenapa, wajah Zulkifli lebih pas, itu saja. Selain itu juga, untuk sekadar mengelabui. Pembaca yang belum pernah bertemu atau melihat foto saya mungkin akan mengira yang dicantumkan di bagian belakang sampul itu adalah foto saya. 

Kemudian berhubungan dengan isinya, saya merasa Demotivasi III ini lebih serius. Tentu saja aspek jenakanya mesti ada sebagai ciri khas, terutama dalam quotes, tapi khususnya terkait esai, saya mencoba memasukkan topik-topik yang berhubungan dengan anarkisme dan marxisme, plus perkara metafisika dengan membahas tema "yang klise". Apa itu "yang klise"? "Yang klise" dalam hal ini menunjuk pada kalimat motivasi. Sebagian orang yang mulai meninggalkan kalimat motivasi, bagi saya, bukan disebabkan oleh makna semantik dari kalimat tersebut, melainkan karena sudah "klise", sudah terlalu sering diucapkan sehingga siapapun menjadi bosan. "Yang klise" ini saya tarik pada banyak hal, pada kenapa kita merasa perlu untuk kreatif, berinovasi, melahirkan sesuatu yang "baru", bukan karena yang dulu itu semata-mata keliru, tetapi karena yang dulu itu sudah "klise" sehingga tampak "keliru". Kita merasa gagasan Plato sudah usang, mungkin bukan karena kenyataan dunia hari ini membuktikan sebaliknya, tetapi karena yah, sudah tahun 2022, masa masih menggunakan pikiran Plato? Padahal mungkin Plato tidak keliru, bahkan ia akan selalu relevan di masa manapun. Namun kita perlu penyegaran, perlu melawan "yang klise", sehingga lahir modifikasi atas pemikiran Plato, atau bahkan pendapat yang bertentangan. Demikian, jadinya, demotivasi menyadarkan kita akan "yang klise", sehingga kalimat motivasi menemukan maknanya kembali dan tidak dipandang sebagai suatu gagasan yang usang. Tidak ada yang salah dengan kalimat motivasi kecuali karena kalimat semacam itu diproduksi terus menerus hingga kita merasa muak. Yang "salah" adalah ke-"klise"-an-nya. 

Pada awalnya saya tidak merencanakan bahwa Demotivasi pada perkembangannya akan menjadi gagasan yang mengarah pada perjuangan kelas (sehingga saya merasa perlu untuk menambahkan perkara marxisme). Bahkan konsep tersebut sempat menimbulkan pertanyaannya: bagaimana jika Demotivasi membuat seseorang untuk abai, masa bodoh, tidak peduli sekitar, sehingga tidak merasa perlu untuk melawan, atau bertindak keadilan? Namun lewat berbagai diskusi, dan pengamatan terhadap dampak-dampak Demotivasi bagi pembacanya, terlihat bahwa yang muncul justru sikap kritis. Sikap kritis ini datang karena ternyata sebagian besar perusahaan dan tempat kerja, menerapkan konsep motivasi dalam kerangka modus eksploitasi. Artinya, motivasi sudah bukan lagi muncul dari mulut para motivator, tapi tertanam dalam sistem bisnis yang mendorong pekerjanya untuk terus memproduksi nilai lebih. 

Dalam Demotivasi III, saya juga memasukkan kaitan antara demotivasi dan pendidikan, demotivasi dan seni, hingga demotivasi dan olahraga. Oh iya, terdapat bonus lampiran berupa latihan soal demotivasi (supaya selaras dengan spirit penerbit yang banyak menerbitkan buku-buku latihan soal). Seperti yang sudah-sudah, Demotivasi selalu dibuka dengan kata pengantar. Demotivasi I dibuka oleh Romo Setyo, sementara Demotivasi II dibuka oleh Saras Dewi. Pada Demotivasi III, saya meminta Meutya Hafid untuk memberi kata pengantar dan ia bersedia. 

Sisanya, saya tidak perlu banyak menceritakan di sini dan mari nantikan rilisnya di bulan November.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1