Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Django Unchained (2012): Tarantino Menggila Lagi

 

Meski mengandalkan estetika film "kelas B", Tarantino jelas bukan sutradara "kelas B". Sejak film pertamanya yang berjudul Reservoir Dogs (1992), Tarantino menunjukkan dirinya bisa membuat film yang terkesan murahan -karena latar yang minimalis, adegan yang dominan berdarah-darah, aktor yang sedikit, musik yang ready-use, dan dialog yang amat keseharian- namun cukup konseptual, berprinsip, dan referensial. Dalam arti kata lain, ia menjadikan estetika "kelas B" ini sebagai pilihan pribadinya, bukan karena desakan dana yang minim.

Walhasil, atas karakteristik filmnya yang khas dan boleh dibilang idealistik, Tarantino mempunyai penggemarnya sendiri. Kita tidak bisa menyamakan popularitas Tarantino ini dengan sutradara Hollywood spesialis box office seperti Steven Spielberg atau Peter Jackson. Namun ia jelas akan dikenang sebagai seseorang yang kokoh memegang teguh gaya estetikanya seperti seorang David Lynch. Maka itu, kemunculan Django Unchained (2012) terang saja ditunggu dengan dahaga yang sudah kering kerontang karena film terakhir Tarantino, Inglorious Basterds (2009) adalah film yang mengesankan. Dalam film Inglorious Basterds, ia sukses melakukan sejumlah hal "gila" mulai dari kesuksesannya mengarahkan Christoph Waltz dari aktor yang hampir gagal menjadi aktor super-brilian dalam memerankan Kolonel Hans Landa, hingga menulis skenario kematian Adolf Hitler di gedung bioskop.

Sebelum menonton filmnya, saya sudah berani menduga bahwa Django Unchained akan menghadirkan kejutan a la Tarantino. Pertama, kita tahu bahwa Tarantino adalah penggemar film koboi. Artinya, ketika tahu bahwa film ini bertajuk Django -Django adalah nama tokoh koboi yang sangat populer diperankan oleh Franco Nero-, maka pastilah Tarantino sedang berupaya memuaskan idealisme masa mudanya ketika sedang rajin mengonsumsi Spaghetti Western. Kedua, pemeran Django sendiri bukanlah seorang kulit putih seperti halnya Nero di masa lalu. Sekarang sang sutradara memilih Jamie Foxx, seorang kulit hitam yang bahkan tidak pernah membayangkan dirinya akan berperan menjadi koboi!

Django Unchained dibuka dengan adegan khas Tarantino: Obrolan panjang yang absurd. Reservoir Dogs punya delapan orang berbincang di restoran riang gembira membahas apakah pantas seorang pelayan diberi tips. Pulp Fiction punya obrolan Pumpkin dan Honey Bunny di restoran sebelum mereka memutuskan untuk merampoknya. Inglorious Basterds? Inilah adegan favorit saya ketika Hans Landa dengan sangat mencekam menanyai Perrier LaPadite tentang keberadaan orang-orang Yahudi di rumahnya. Django Unchained juga tak kalah. Ia punya adegan mencekam ketika Dr. King Schulz hendak membeli seorang budak bernama Django dari majikannya yang bernama Speck Bersaudara. Adegan pembuka ini saya nilai sangat berhasil dan sama sekali mencerminkan satu karakter yang khas dari Tarantino -apalagi ketika adegan pembuka ini diawali dengan kesunyian dan kemudian diakhir dengan desing tembakan yang brutal-.

Django Unchained kemudian lebih banyak diwarnai dialog. Namun dalam dialog ini, Tarantino sedikit kehilangan keabsurdannya. Ia sepertinya ingin lebih banyak membangun emosi penonton lewat bagaimana orang kulit hitam ditindas di masa itu -tidak mau membuang-buang waktu dengan obrolan seperti pijat kaki di film Pulp Fiction-. Walhasil, obrolan-obrolannya cenderung "garing" dan sengaja dibuat sesekali konyol hanya agar penonton tidak terlalu serius dalam menanggapi sejumlah adegan penindasan terhadap orang kulit hitam yang dibuat terang-terangan (jika bukan karena Tarantino yang membuat, mungkin sudah banyak kritik yang disematkan bagi film ini. Kita tahu bahwa Tarantino memang blak-blakan tentang orang kulit hitam, salah satunya dengan tetap menyebutnya "negro" atau "nigger"). Namun tetap dari segi kualitas dialog, saya tidak merasa terkenang oleh satu percakapan. Sangat berbeda dibanding film-film sebelumnya dimana saya bisa hafal sejumlah dialog yang dirasa sangat kuat meski tengah membicarakan sesuatu yang kurang penting. 

Namun Django Unchained seperti menunda orgasme agar klimaks secara enak. Dengan dialog yang panjang dan bertele-tele, ia sukses menjadikan seperempat akhir filmnya penuh aksi brutal-berdarah yang estetik -sekali lagi khas Tarantino-. Ia juga sukses membuat penonton bertepuk tangan riuh pada tokoh Django yang dibuat simpatik sejak awal. Tarantino tidak hendak membuat film filosofis, multi tafsir, dan membuat kening berkerut-kerut. Ia tidak sedang membuat Pulp Fiction atau Kill Bill vol. 2 yang tidak bisa ternikmati dalam sekali lihat. Django Unchained memang film ringan dengan tokoh protagonis dan antagonis yang jelas.

Kematangan sang sutradara terlihat dari hal ini: Selalu ada adegan dialog mencekam dalam filmnya yang lain, namun hampir selalu adegan tersebut diakhiri dengan mexican stand-off dan tembak-tembakan brutal. Django Unchained tidak. Adegan dialog yang penuh ketegangan ini tidak selalu akan berujung pada adu tembak. Penundaan inilah yang justru asyik dan menunjukkan ada kehebatan Tarantino dalam mengatur alur agar penonton menunggu-nunggu kapan aksi koboi Django mencapai puncaknya. Terakhir adalah cerita yang brilian dan terasa pantas mengapa Tarantino masuk nominasi Oscar untuk best original screenplay. Tidak ada yang lebih gila dari ide mengangkat seorang Django yang berasal kulit hitam. Ia datang sebagai pembebas, sebagai mesias, sebagai seorang yang menantang hegemoni.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat