Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Django Unchained (2012): Tarantino Menggila Lagi

 

Meski mengandalkan estetika film "kelas B", Tarantino jelas bukan sutradara "kelas B". Sejak film pertamanya yang berjudul Reservoir Dogs (1992), Tarantino menunjukkan dirinya bisa membuat film yang terkesan murahan -karena latar yang minimalis, adegan yang dominan berdarah-darah, aktor yang sedikit, musik yang ready-use, dan dialog yang amat keseharian- namun cukup konseptual, berprinsip, dan referensial. Dalam arti kata lain, ia menjadikan estetika "kelas B" ini sebagai pilihan pribadinya, bukan karena desakan dana yang minim.

Walhasil, atas karakteristik filmnya yang khas dan boleh dibilang idealistik, Tarantino mempunyai penggemarnya sendiri. Kita tidak bisa menyamakan popularitas Tarantino ini dengan sutradara Hollywood spesialis box office seperti Steven Spielberg atau Peter Jackson. Namun ia jelas akan dikenang sebagai seseorang yang kokoh memegang teguh gaya estetikanya seperti seorang David Lynch. Maka itu, kemunculan Django Unchained (2012) terang saja ditunggu dengan dahaga yang sudah kering kerontang karena film terakhir Tarantino, Inglorious Basterds (2009) adalah film yang mengesankan. Dalam film Inglorious Basterds, ia sukses melakukan sejumlah hal "gila" mulai dari kesuksesannya mengarahkan Christoph Waltz dari aktor yang hampir gagal menjadi aktor super-brilian dalam memerankan Kolonel Hans Landa, hingga menulis skenario kematian Adolf Hitler di gedung bioskop.

Sebelum menonton filmnya, saya sudah berani menduga bahwa Django Unchained akan menghadirkan kejutan a la Tarantino. Pertama, kita tahu bahwa Tarantino adalah penggemar film koboi. Artinya, ketika tahu bahwa film ini bertajuk Django -Django adalah nama tokoh koboi yang sangat populer diperankan oleh Franco Nero-, maka pastilah Tarantino sedang berupaya memuaskan idealisme masa mudanya ketika sedang rajin mengonsumsi Spaghetti Western. Kedua, pemeran Django sendiri bukanlah seorang kulit putih seperti halnya Nero di masa lalu. Sekarang sang sutradara memilih Jamie Foxx, seorang kulit hitam yang bahkan tidak pernah membayangkan dirinya akan berperan menjadi koboi!

Django Unchained dibuka dengan adegan khas Tarantino: Obrolan panjang yang absurd. Reservoir Dogs punya delapan orang berbincang di restoran riang gembira membahas apakah pantas seorang pelayan diberi tips. Pulp Fiction punya obrolan Pumpkin dan Honey Bunny di restoran sebelum mereka memutuskan untuk merampoknya. Inglorious Basterds? Inilah adegan favorit saya ketika Hans Landa dengan sangat mencekam menanyai Perrier LaPadite tentang keberadaan orang-orang Yahudi di rumahnya. Django Unchained juga tak kalah. Ia punya adegan mencekam ketika Dr. King Schulz hendak membeli seorang budak bernama Django dari majikannya yang bernama Speck Bersaudara. Adegan pembuka ini saya nilai sangat berhasil dan sama sekali mencerminkan satu karakter yang khas dari Tarantino -apalagi ketika adegan pembuka ini diawali dengan kesunyian dan kemudian diakhir dengan desing tembakan yang brutal-.

Django Unchained kemudian lebih banyak diwarnai dialog. Namun dalam dialog ini, Tarantino sedikit kehilangan keabsurdannya. Ia sepertinya ingin lebih banyak membangun emosi penonton lewat bagaimana orang kulit hitam ditindas di masa itu -tidak mau membuang-buang waktu dengan obrolan seperti pijat kaki di film Pulp Fiction-. Walhasil, obrolan-obrolannya cenderung "garing" dan sengaja dibuat sesekali konyol hanya agar penonton tidak terlalu serius dalam menanggapi sejumlah adegan penindasan terhadap orang kulit hitam yang dibuat terang-terangan (jika bukan karena Tarantino yang membuat, mungkin sudah banyak kritik yang disematkan bagi film ini. Kita tahu bahwa Tarantino memang blak-blakan tentang orang kulit hitam, salah satunya dengan tetap menyebutnya "negro" atau "nigger"). Namun tetap dari segi kualitas dialog, saya tidak merasa terkenang oleh satu percakapan. Sangat berbeda dibanding film-film sebelumnya dimana saya bisa hafal sejumlah dialog yang dirasa sangat kuat meski tengah membicarakan sesuatu yang kurang penting. 

Namun Django Unchained seperti menunda orgasme agar klimaks secara enak. Dengan dialog yang panjang dan bertele-tele, ia sukses menjadikan seperempat akhir filmnya penuh aksi brutal-berdarah yang estetik -sekali lagi khas Tarantino-. Ia juga sukses membuat penonton bertepuk tangan riuh pada tokoh Django yang dibuat simpatik sejak awal. Tarantino tidak hendak membuat film filosofis, multi tafsir, dan membuat kening berkerut-kerut. Ia tidak sedang membuat Pulp Fiction atau Kill Bill vol. 2 yang tidak bisa ternikmati dalam sekali lihat. Django Unchained memang film ringan dengan tokoh protagonis dan antagonis yang jelas.

Kematangan sang sutradara terlihat dari hal ini: Selalu ada adegan dialog mencekam dalam filmnya yang lain, namun hampir selalu adegan tersebut diakhiri dengan mexican stand-off dan tembak-tembakan brutal. Django Unchained tidak. Adegan dialog yang penuh ketegangan ini tidak selalu akan berujung pada adu tembak. Penundaan inilah yang justru asyik dan menunjukkan ada kehebatan Tarantino dalam mengatur alur agar penonton menunggu-nunggu kapan aksi koboi Django mencapai puncaknya. Terakhir adalah cerita yang brilian dan terasa pantas mengapa Tarantino masuk nominasi Oscar untuk best original screenplay. Tidak ada yang lebih gila dari ide mengangkat seorang Django yang berasal kulit hitam. Ia datang sebagai pembebas, sebagai mesias, sebagai seorang yang menantang hegemoni.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1