Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Merenungkan Cyborg Manifesto


Cyborg Manifesto adalah esai karya Donna Haraway yang dirilis tahun 1985 dengan tebal sekitar delapan puluh halaman. Dalam tulisannya ini, Haraway, pemikir asal Amerika kelahiran tahun 1944, mengajak kita mempertanyakan ulang batas-batas antara konsep manusia, hewan, mesin, fisikal - non fisikal, hingga sampai pada renungan tentang persoalan identitas yang disematkan oleh pemikiran gender tradisional. Haraway melakukan itu semua lewat presentasinya mengenai cyborg sebagai fenomena pascahumanisme. Cyborg sendiri didefinisikan oleh Haraway sebagai organisme sibernetik, percangkokan antara mesin dan organisme, makhluk yang berasal dari realitas sosial sekaligus fiksi. Haraway memperhatikan dunia di sekelilingnya, bahwa pada masa itu, literatur fiksi ilmiah dipenuhi konsepsi tentang cyborg - makhluk yang sekaligus hewan dan mesin, yang membuat ambigu gagasan tentang natur dan kultur. Cyborg, lanjutnya, telah mengubah apa yang disebut dengan "pengalaman perempuan" pada akhir abad ke-20. Namun cyborg, dalam terang pandangan Haraway, bukan sebatas entitas yang terpisah dari diri kita, suatu ciptaan yang berbeda dari kita. Justru ia dengan jelas mengatakan: bahwa kita adalah cyborg itu sendiri. Cyborg adalah ontologi kita. 

Apa yang hendak dikatakan oleh Haraway melalui Cyborg Manifesto? Premisnya menunjuk bahwa banyak di antara sosialis dan feminis Amerika masih terikat pada konsep dualisme pikiran dan tubuh, hewan dan mesin, idealisme dan materialisme dalam praktik-praktik sosial, formulasi simbolis, dan artefak fisik yang bertalian dengan "teknologi tinggi" serta kultur saintifik. Ujung-ujungnya, Haraway mengajak kita untuk merevisi konsep gender, menjauhkan diri dari esensialisme yang dibangun oleh patriarkisme Barat dan bergerak menuju "mimpi utopis yang berisi harapan bagi dunia mengerikan tanpa gender." Ke depannya, Haraway menginginkan rekontruksi identitas yang tidak lagi didikte oleh naturalisme dan taksonomi, di mana setiap individu dapat membangun identitasnya sendiri berdasarkan pilihannya. 

Lebih dari tiga puluh tahun sejak Manifesto, bagaimana kita memandang "nubuat" Haraway dalam terang kondisi kontemporer seperti sekarang ini? Sebagaimana halnya pandangan jauh ke depan tentang peran teknologi yang tidak hanya bisa membantu manusia, tapi juga kelak "menggantikannya" (terutama dalam narasi-narasi fiksi-ilmiah), Haraway terjebak pada cita-cita "suatu saat nanti" yang hanya mungkin dibayangkan secara ideal, tetapi sukar terjadi secara material. Kita lihat bahwa meski Cyborg Manifesto sudah berlalu tiga puluh tahun, tapi kita belum melihat sedikitpun tanda-tanda dominasi cyborg yang "nir-esensi" ada pada keseharian kita, kecuali mungkin pada segelintir kelas tertentu yang mengalami akses. Kritik serupa bisa kita sematkan pada proyek transhumanisme yang tampak keren, menjanjikan, tapi pada akhirnya kita tidak bisa membayangkan gagasan tersebut dapat dipraktikkan secara merata pada semua kelas dan yang terjadi bisa-bisa malah mempertajam ketimpangan kelas. Dalam arti kata lain, impian Haraway tentang cyborg yang nir-esensi adalah brilian sebagai solusi dalam mendamaikan beraneka kutub yang diturunkan dari metafisika dualistik, tapi di sisi lain, bisa sekaligus menajamkan perbedaan kutub lain, terutama dalam konteks ketimpangan berkaitan dengan terbatasnya akses terhadap cyborg itu sendiri. Singkatnya, cyborg-nya Haraway adalah cyborg-nya pihak tertentu, yang dalam penciptaannya tidak mungkin benar-benar tidak memihak dan sepenuhnya mengatasnamakan penghapusan esensi demi keadilan. 

Barangkali dalam arti virtual, kita bisa katakan bahwa cyborg sudah mulai bekerja mempraktikkan sifat nir-esensinya. Misalnya, dalam bagaimana kita menubuhi ruang digital dengan lebih bebas dan bisa berbeda dari tubuh di ruang fisikal. Cyborg dalam hal ini membuat orang-orang tertentu menemukan kebebasannya, misalnya, untuk menjadi laki-laki, perempuan, liberal, sosialis, atau bahkan di luar dikotomi-dikotomi tersebut. Tubuh-tubuh eksterior ini adalah cyborg dalam arti tertentu: bisa berpolitik tanpa harus berpolitik, bisa menjadi perempuan tanpa harus menjadi perempuan, bisa menjadi sosialis tanpa menjadi sosialis, bisa menjadi mesin tanpa harus menjadi mesin. Tubuh-tubuh eksterior/ digital ini tidak bisa dianggap remeh sebagai bentuk dualistik dari tubuh-tubuh interior/ fisikal yang seolah-olah terpisah. Kenyataannya, tubuh eksterior bisa menjadi cermin bagi tubuh interior yang saling mempengaruhi. Misalnya, ketika seseorang mendapati dirinya bisa menjadi bebas dalam menghidupi gender di ruang virtual, maka mungkin saja kebebasan itu ia praktikkan juga di ruang fisikal, atau setidaknya, ia berusaha memperjuangkannya. Namun di sisi lain, kebersatuan tubuh eksterior - tubuh interior ini juga terjadi sebaliknya: apa yang bisa dihakimi di ruang fisikal, ternyata bisa dihakimi juga di ruang virtual. Artinya, tidak ada yang namanya ruang yang lebih daripada yang lainnya. Kebebasan dan ketidakbebasan ada di semua ruang; esensi dan anti-esensi ada di semua ruang. 

Artinya, di balik gagasan Haraway yang brilian, kita dihadapkan pada dua tantangan: pertama, jika cyborg ini nantinya benar-benar sebuah materialitas, maka ia ditujukan pada siapa? bisakah aksesnya benar-benar terbuka? kedua, jika cyborg dipahami untuk sementara sebagai tubuh eksterior, tubuh virtual, maka dalam arti tertentu, ia sudah menjadi nir-esensi. Namun benarkah ruang virtual benar-benar sebuah kebebasan yang nir-esensi? Atau sebagaimana ruang virtual juga adalah pantulan dari ruang fisikal, maka ketidakbebasan dan penjara esensi juga akan turut serta bersamanya?

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1