Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Pondok Musik Pan


Alkisah ada keluarga kambing yang mendirikan sebuah pondok musik bagi para binatang. Keluarga ini percaya bahwa mereka adalah keturunan langsung dari Pan, dewa berparas kambing yang amat lihai bermusik. Atas dasar itu mereka menamakan pondok musiknya dengan nama Pan, berharap agar para binatang yang belajar menjadikan Pan sebagai panutan sekaligus inspirasinya.

Keluarga kambing terdiri dari empat anggota keluarga. Sang bapak, kambing jantan, bernama Lamira. Nama yang membuatnya sering tertukar dengan kambing betina. Lamira tak bisa bermain musik, namun amat pandai berorasi. Sang ibu bernama Pitys, kambing yang sangat lihai memainkan seruling. Si sulung adalah kambing betina bernama Hera yang amat piawai memainkan harpa. Dinamai Hera karena agar mewarisi sifat-sifat Dewi Hera, pencemburu dan tidak ingin Zeus jatuh ke tangan orang lain selain dirinya. Lamira dan Pitys ingin Hera menjadi seorang juara. Adik Hera bernama Ovid, kambing jantan yang dibiarkan tumbuh alami oleh kedua orangtuanya oleh sebab mereka telah memercayakan beban keluarga pada Hera.

Agar pondok musiknya menjadi maju, mereka tentu saja tidak bisa hanya mengandalkan anggota keluarganya untuk mengajari para binatang. Satu per satu binatang yang dianggap berbakat di bidang musik direkrut untuk menjadi guru. Setelah melalui kecerdikan orasi Lamira, beberapa binatang yang pandai musik langsung tertarik untuk menjadi guru tanpa banyak bertanya. Pondok musik berjalan menyenangkan, dari hari ke hari muridnya bertambah terus menerus.

Lamira, sang kepala keluarga, tidak puas dengan keberhasilan pondok musik ini. Ia ingin lebih. Maka itu Lamira mulai mengadakan program demi program agar pondoknya semakin sukses. Misalnya, Lamira ingin membuat konser yang disaksikan oleh para binatang di seluruh negeri. "Agar anak didik kita menjadi berani tampil," katanya pada sang istri. Tapi tak berhenti disitu, "Jangan lupa tarik harga tinggi bagi siapa yang mau tampil. Tidakkah panggung seperti ini adalah langka?" lanjut Lamira. Sang istri hanya bisa mengangguk, karena percaya apa yang diucap suami biasanya mengandung kebenaran.

Konser pondok musik Pan berlangsung meriah. Seluruh negeri memuji dan mengagungkan namanya. Lamira tak mau berhenti, ia semakin bersemangat untuk mengadakan acara sekaligus memanfaatkan keberhasilan konser kemarin untuk menarik biaya lebih tinggi lagi bagi anak didiknya. Tidak lupa Hera selalu berpartisipasi, sebagai bentuk kebanggaan keluarga Lamira, "Kamilah keturunan Pan yang asali." Setiap pondok musik Pan diundang di forum-forum negeri binatang, tak lupa Lamira juga mengagungkan Hera. Membicarakannya ke seluruh negeri tentang anaknya yang kelak akan menggantikan manusia untuk menguasai bumi. Orasi Lamira meyakinkan, "Kelak yang kaki dua akan kalah oleh kaki empat. Inilah Hera anakku yang akan memimpin kalian."

Di tengah-tengah semangat Lamira dan kejayaan pondok musik Pan, terdapat api dalam sekam. Para guru diam-diam bersiap untuk melakukan pemberontakan. Kenapa? Karena nun jauh di ruang-ruang kelas tempat mereka mengajar musik, para orangtua siswa kerap melancarkan protes, "Mengapa mahal sekali biaya-biaya untuk konser? Memang untuk apa?" Para guru kelimpungan, tidak punya wewenang untuk menjawab oleh sebab memang betul-betul tidak tahu. Namun satu yang para guru tahu pasti, Lamira bukanlah orang yang menyenangkan. Ia amat senang berbicara mengagungkan kejayaan pondok musik Pan dan Hera sendiri pada setiap guru yang ditemui. Lamira terus meyakinkan, bahwa, "Kelak yang kaki dua akan kalah oleh kaki empat. Inilah Hera anakku yang akan memimpin kalian."

Namun bukan itu saja yang menjadi dasar pemberontakan para guru. Lamira kerap mempekerjakan para guru di konser-konser besar seluruh negeri tanpa memberinya uang sepeser pun. Padahal para guru tahu bahwa orangtua murid diwajibkan membayar dana yang besar pada setiap penyelenggaraannya. Lamira juga kerap menyindir para guru yang tidak setia pada pondok musiknya. Lamira ingin agar para guru hanya mengajar di satu tempat, yakni tempat miliknya. Jika ada yang mengajar di tempat lain, maka kata-kata pedas mulai terlontar. Selain itu, Hera yang percaya bahwa dirinya adalah kambing unggulan, mulai bersikap menyebalkan. Ia menempatkan dirinya selalu istimewa diantara para binatang, dan guru-guru tidak suka itu.

Para guru rapat memikirkan pemberontakan yang tepat. Seorang guru muda, seekor babi, mengusulkan untuk membunuh Lamira dengan tenaga seekor kuda. Guru yang lebih senior yang kebetulan seekor kuda menolak usulannya. Katanya, "Jangan membunuh. Nanti siapa yang menafkahi anak-anaknya? Tidakkah Pitys sering memelas bahwa segala yang ia lakukan adalah demi menafkahi Hera dan Ovid?" Para guru mengangguk menyetujui sang kuda. Seekor burung merak ahli menyanyi mengusulkan agar satu per satu keluar dari pondok. "Jelas ini ide yang bagus, karena kita yang membuat pondok ini jadi bagus, tapi mengapa kita yang tidak dihargai?" kata burung merak berapi-api.

Jadilah satu per satu guru mengundurkan diri dari pondok musik Pan dengan berbagai alasan. Semua teguh pendirian, terutama kenyataan bahwa banyak orangtua murid juga mendukung penuh. Kata para orangtua, "Meskipun jaya dan maju, tapi uang yang diminta terlalu besar dan kadang tidak masuk akal." Usul burung merak alangkah tepat. Lamira dan Pitys kelimpungan. Sempat mereka memohon-mohon agar para guru tidak keluar. Namun apa daya para guru tak punya semangat lagi mengajar di sana. Melihat kenyataan itu, Lamira dan Pitys sama sekali tidak terpikir untuk mencari apa yang salah dalam diri mereka. Mereka menuduh kekuatan di luar sana telah memengaruhi para guru. Kata mereka, "Ini perbuatan Apollo! Sihir! Ia tidak puas hanya dengan menang di kontes musik para dewa. Ia ingin Pan dan turunan-turunannya ikut sengsara!"

Nun jauh di langit sana Apollo tersenyum mendengar hiruk pikuk keluarga Lamira yang tengah menyalahkan dirinya. Kata Apollo, "Bagaimana mungkin pelbagai perbuatan angkuh yang telah mereka lakukan sama sekali tidak membuat berkaca? Apakah perlu aku ubah telinga mereka menjadi seperti keledai, layaknya yang sudah aku lakukan pada Midas?"

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1