Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2022

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Argentina

Piala Dunia Qatar 2022 berakhir. Argentina juara dengan cara yang sangat dramatis. Messi mendapatkan keadilannya sebagai pemain terbaik dengan gelar terbaik. Saya bukan pendukung Argentina, tetapi inilah tim terbaik yang bisa saya dukung ketika Italia tidak lolos Piala Dunia. Alasannya tentu Messi dan Barcelona. Hari-hari saya di masa tahun-tahun 2010-an banyak dihibur oleh Barcelona dengan tiki taka-nya sehingga saya berterima kasih pada mereka. Tentu saja yang paling besar pada Messi. Messi sudah tidak di Barcelona, tetapi ia, bagi saya, selalu identik dengan Barcelona.  Piala Dunia (dan juga Piala Eropa) bagi saya adalah penanda. Penanda berapa lama saya telah hidup dan mengingat suatu momen besar di dunia. Piala Dunia pertama yang saya ingat adalah AS 1994, itupun hanya momen melambungnya tendangan penalti Roberto Baggio di final. Piala Dunia 1994 tidak membuat saya menyukai sepakbola. Barulah pada Piala Eropa 1996, saya mulai sedikit-sedikit memperhatikan sepakbola dan menjatuhkan

Philofest Luring Pertama

Philofest, festival filsafat yang edisi perdananya dimulai bulan Desember 2020, ternyata berlanjut hingga edisi ketiga. Edisi ketiga ini istimewa karena untuk pertama kalinya digelar secara hibrid atau gabungan antara luring dan daring. Luringnya berlokasi di Pontianak dan beberapa orang, termasuk saya, diterbangkan ke sana oleh panitia, diketuai oleh Trio Kurniawan, yang entah punya uang darimana. Namun kami tidak ambil pusing karena kami pun tidak bermewah-mewah dengan hotel dan maskapai, bahkan konsumsi pun banyaknya beli sendiri. Artinya, meski punya uang untuk membelikan kami tiket pesawat, hal tersebut tidak serta merta membuat Philofest dapat dilabeli festival yang banyak uang. Mungkin lebih tepatnya: semakin punya uang, meski belum masuk kategori kaya raya. Hal yang lebih penting adalah kami, para pegiat filsafat yang selama ini hanya bertemu secara daring, akhirnya berkesempatan untuk bertemu muka. Sejak momen pertama kami saling jumpa, hal yang pertama dilakukan adalah berdis

Pekalongan

Pada bulan September, saya mendapat undangan untuk mengisi forum di Kota Pekalongan, tepatnya dari kawan-kawan Lingkar Kajian Kota Pekalongan. Forum tersebut tadinya diselenggarakan bulan Januari 2023, tetapi tiba-tiba dimajukan ke tanggal 11 Desember 2022. Alasannya entah kenapa, mungkin supaya dipaskan dengan penutupan (baca: penghabisan) tahun anggaran (karena acara tersebut juga ternyata bekerjasama dengan DPRD Kota Pekalongan). Tidak masalah. Puspa (istri) dan saya memutuskan pergi bersama, hitung-hitung liburan. Judul forumnya adalah Anak Muda, Sains, dan Pembangunan Berkelanjutan . Saya menyiapkan materi tentang filsafat lingkungan serta memasukkan beberapa poin pemikiran Bruno Latour (kebetulan, karena saya baru saja membaca intens pemikiran Bruno Latour untuk forum lainnya).  Menyesuaikan dengan jadwal klinik Puspa, kami berangkat Sabtu malam dengan kereta dari stasiun Bandung. Sampai Pekalongan sekitar pukul dua pagi, panitia sudah menanti di stasiun dan siap mengantarkan kam

Festivalisme

Saya agak labil jika mesti mengomentari festival secara umum karena pertama, festival tentu ada banyak dan beragam sehingga tidak bisa dipukul rata. Kedua, saya pernah diberi kesempatan untuk mencicipi beberapa posisi dalam festival mulai dari kurator, direktur artistik, jurnalis, pengunjung sampai kita sebut saja, inisiator, sehingga mesti menentukan sudut pandang terlebih dahulu sebelum mengutarakan pendapat. Sebagai titik berangkat, kita bisa mendefinisikan apa itu festival terlebih dahulu dan apa yang menjadi cirinya. Festival berkaitan dengan "pesta" atau "perayaan" yang melibatkan banyak orang. Orang banyak tentu biasa berkumpul dalam berbagai momen, tetapi dalam festival, orang-orang yang berkumpul tersebut dikondisikan, dibuat datang untuk sebuah tujuan yang tentunya bergantung dari tema festival itu sendiri. Dalam festival jazz, orang banyak dikondisikan untuk datang dan menikmati musik jazz; dalam festival film, orang banyak dikondisikan untuk datang dan m

Idealisme

Mungkin saya termasuk orang yang masih melakukan hal yang kurang lebih sama dengan sepuluh sampai lima belas tahun lalu: berfilsafat, bermusik, dan menulis (meski soal bermusik sudah tidak lagi seintens dulu). Apakah boleh bangga dengan hal demikian? Bisa iya, karena artinya saya berhasil mempertahankan apa yang disebut sebagai "idealisme" atau sesuatu yang saya anggap sebagai hal yang ideal sedari dulu; namun bisa juga tidak, karena dari sudut pandang lain, saya terlihat "di situ-situ saja", tidak berkembang, enggan mencoba sesuatu yang baru. Saya sejujurnya tidak peduli dengan sudut pandang manapun itu karena hal yang lebih penting sekarang bukan lagi terlihat keren dengan idealisme tersebut, tetapi apakah yang saya kerjakan ini dapat menghidupi diri sendiri atau tidak (soal kebermanfaatan bagi banyak orang, jujur, saya kian tidak percaya dengan "idealisme" semacam itu).  Namun saya melihat sekeliling, pada beberapa teman, yang tidak lagi menganggap idea