Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Tentang Hewan



Saya tidak pernah merasa diri seorang penyayang binatang, karena apa yang saya suka hanya satu jenis binatang yaitu kucing. Dari kecil, saya selalu suka kucing dan hanya karena dalam dua tahun belakangan ini saya memutuskan tinggal di apartemen, kucing-kucing tersebut akhirnya ditinggal di rumah orangtua. Saya merasa sebutan "penyayang binatang" itu terlalu berat karena artinya saya tidak hanya harus suka kucing, tapi juga anjing, burung, kecoa, cicak, semut, dan lainnya. Harus diakui, saya memang "penyayang binatang tertentu yang saya anggap lucu dan membuat saya terhibur".

Sejak tahun 2019, saya dan istri (dulu masih pacar) memelihara kucing bernama Eman yang diberikan oleh seorang teman namanya Gloria. Tidak perlu saya ceritakan bagaimana lengkapnya kami memelihara Eman tapi pada saat saya menulis tulisan ini, atau saat usia Eman hampir empat tahun, dia tengah dalam kondisi sakit serius. Sudah kami bawa ke dokter, Eman dinyatakan mengidap virus yang sukar sembuh, bahkan hampir bisa dibilang seperti Corona-nya kucing. Bisa dikatakan, harapan hidupnya tipis, yang bisa dilakukan adalah mengatasi rasa sakitnya sebisa-bisa, sambil menyiapkan mental perlahan-lahan untuk kepergiannya. Hiks. 

Saya kemudian bertanya-tanya, mengapa kehilangan hewan peliharaan selalu merupakan peristiwa yang menyedihkan? Padahal ini bukan kejadian pertama kali dan mungkin entah keberapa puluh kali. Harusnya saya sudah lebih siap dan terbiasa. Membicarakan hewan memang menarik. Diogenes mengatakan: hiduplah sesuai natur, lihatlah hewan dan anak-anak. Bagi Diogenes, rasionalitas, akal budi, yang senantiasa diagungkan sebagai fakultas yang hanya dipunyai manusia, justru menjauhkan mereka dari "fitrah"-nya (hal yang kurang lebih mirip dibunyikan juga oleh Rousseau). Itulah mengapa Diogenes memilih untuk hidup "seperti anjing": menggelandang, mengais sisa-sisa makanan, dan tidur di tong. Dengan "menjadi anjing", Diogenes merasa dirinya bebas, tidak terikat aturan apapun yang dibuat-buat oleh masyarakat - bahkan dalam cerita yang sangat terkenal, Diogenes berani menolak tawaran baik dari Aleksander Agung. 

Melompat ke narasi lain, saya selalu ingat bagaimana dalam khotbah-khotbah Idul Adha, sudah lumrah jika khotib mengatakan bahwa menyembelih hewan adalah cara untuk "menyembelih sifat-sifat hewani dalam diri kita". Pertanyaannya, mengapa sifat hewani mesti disembelih? Sifat hewani mana yang membuat manusia ingin senantiasa menumpuk kekayaan? Sifat hewani mana yang membuat manusia ingin membantai manusia lainnya atas dasar ideologi? Justru apa yang saya lihat adalah sebaliknya: jika yang dikatakan sifat hewani adalah nafsu-nafsu untuk memenuhi kebutuhan dasar, justru tidak ada yang salah dengan "sifat hewani", yang problematik adalah nalar manusia untuk menjustifikasi sifat hewani itu. Manusia ingin mengatasi lapar sehingga harus makan, itu masih oke, tapi manusia tidak hanya ingin mengatasi lapar untuk hari itu, ia juga ingin mengatasinya untuk besok, untuk minggu depan, bulan depan, tahun depan, sepuluh tahun ke depan, bahkan hingga tujuh turunan! 

Hewan tidak punya nalar dalam arti intelek sebagaimana yang kita punya (anggap saja demikian). Hewan mungkin berpikir pada kadar tertentu, tapi hanya manusia (setidaknya ini yang saya pelajari dalam kuliah-kuliah filsafat tertentu) yang mampu "berpikir tentang berpikir". Secara epistemologi, saya tidak bisa merasakan sakitnya hewan jika ia disiksa oleh manusia, tapi hal yang lebih menjadi perhatian: penyiksaan terhadap hewan adalah penyiksaan terhadap makhluk tidak berdaya atas nama suatu arogansi nalar. Mereka yang menyiksa binatang, mempunyai perasaan lebih superior karena memiliki akal budi. Linkola tersengat oleh kenyataan ini, hingga menyatakan ketidaksetujuannya pada konsep HAM yang menjadikan seluruh manusia setara: "Oh tidak, manusia tidak setara, ada kok, yang lebih rendah dari hewan, yaitu mereka, yang rajin merusak alam." 

Mari kembali ke perkara hewan peliharaan: mengapa begitu sedih kehilangan hewan peliharaan? Begitulah, kadang, atau seringnya, kita bosan bertemu manusia, karena urusan-urusan transaksional yang melelahkan. Meski menjadi bagian dari umat manusia, kita juga sering muak dengan umat kita sendiri yang serba hipokrit dan serba melakukan justifikasi terhadap nafsu-nafsu dasariahnya. Pada momen-momen itu, saya lebih senang bergumul dengan kucing yang begitu jujur dengan nafsu dasariahnya: hanya ingin makan dan tidur. Kucing adalah teman saya di masa-masa keterasingan terhadap dunia. Kehilangan seekor kucing terlalu menimbulkan kesepian yang panjang, karena saya tidak mampu menghadapi manusia.


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1