Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Mungkin tidak ada orang yang menginginkan seluruh dunia bagi dirinya sendiri. Setiap orang rasa-rasanya memikirkan juga soal keadilan dan distribusi. Namun keadilan dan distribusi tersebut harus melalui sebuah syarat: kepemilikan. Orang mesti memiliki dulu, baru memikirkan keadilan dan distribusi. Supaya apa? Entah, karena mungkin masing-masing orang punya versinya sendiri tentang apa yang adil. Contoh ekstremnya, pemerintah. Pemerintah pada prinsipnya adalah pihak yang (merasa) berhak menyimpan kekayaan negara dan mendistribusikannya. Saat kekayaan itu hendak didistribusikan, mereka tentu tidak langsung membagikannya pada rakyat, melainkan lewat beberapa tahapan administratif. Pada setiap tahapan-tahapan tersebut, perpindahan kepemilikan terjadi dari satu institusi ke institusi yang lain. Lalu pada masing-masing institusi yang katakanlah di Indonesia, hampir pasti terjadi korupsi atau semacamnya, supaya kepemilikan menjadi lebih spesifik ke tangan tertentu. Mereka yang korupsi itu ke