Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti"). Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya
Mungkin tidak ada orang yang menginginkan seluruh dunia bagi dirinya sendiri. Setiap orang rasa-rasanya memikirkan juga soal keadilan dan distribusi. Namun keadilan dan distribusi tersebut harus melalui sebuah syarat: kepemilikan. Orang mesti memiliki dulu, baru memikirkan keadilan dan distribusi. Supaya apa? Entah, karena mungkin masing-masing orang punya versinya sendiri tentang apa yang adil. Contoh ekstremnya, pemerintah. Pemerintah pada prinsipnya adalah pihak yang (merasa) berhak menyimpan kekayaan negara dan mendistribusikannya. Saat kekayaan itu hendak didistribusikan, mereka tentu tidak langsung membagikannya pada rakyat, melainkan lewat beberapa tahapan administratif. Pada setiap tahapan-tahapan tersebut, perpindahan kepemilikan terjadi dari satu institusi ke institusi yang lain. Lalu pada masing-masing institusi yang katakanlah di Indonesia, hampir pasti terjadi korupsi atau semacamnya, supaya kepemilikan menjadi lebih spesifik ke tangan tertentu. Mereka yang korupsi itu ke