Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2023

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Kepemilikan

Mungkin tidak ada orang yang menginginkan seluruh dunia bagi dirinya sendiri. Setiap orang rasa-rasanya memikirkan juga soal keadilan dan distribusi. Namun keadilan dan distribusi tersebut harus melalui sebuah syarat: kepemilikan. Orang mesti memiliki dulu, baru memikirkan keadilan dan distribusi. Supaya apa? Entah, karena mungkin masing-masing orang punya versinya sendiri tentang apa yang adil.  Contoh ekstremnya, pemerintah. Pemerintah pada prinsipnya adalah pihak yang (merasa) berhak menyimpan kekayaan negara dan mendistribusikannya. Saat kekayaan itu hendak didistribusikan, mereka tentu tidak langsung membagikannya pada rakyat, melainkan lewat beberapa tahapan administratif. Pada setiap tahapan-tahapan tersebut, perpindahan kepemilikan terjadi dari satu institusi ke institusi yang lain. Lalu pada masing-masing institusi yang katakanlah di Indonesia, hampir pasti terjadi korupsi atau semacamnya, supaya kepemilikan menjadi lebih spesifik ke tangan tertentu. Mereka yang korupsi itu ke

Selisih

Pada setiap kita berada di suatu peristiwa, kita ada di suatu peristiwa tersebut. Maksudnya, kita ada di sana, menjadi bagiannya, melebur dalam ruang dan waktunya. Namun saat ruang dan waktu itu sudah berbeda, kita kemudian punya kemampuan untuk menceritakannya ulang, dalam lisan maupun tulisan. Namun apapun itu yang direpresentasikan oleh lisan ataupun tulisan, bukanlah persisnya peristiwa "itu". Ia telah memiliki "selisih" antara yang berada di ruang dan waktu sejatinya, dan ruang dan waktu yang telah diceritakan ulang.  Misalnya, terdapat periode yang kelihatannya rumit pada kehidupan Lacan antara tahun 1953 hingga 1962 terkait posisinya dalam beberapa asosiasi psikoanalisis. Sembilan tahun bukanlah periode yang bisa dikatakan singkat dalam kehidupan manusia. Namun kita membacanya bisa jadi sangat ringan, bahwa 1953 Lacan mengalami hal ini, lalu mengalami hal itu, begitu seterusnya hingga tahun 1962. Apakah aslinya demikian "ringan"-nya? Saya membayangk

Penuh Waktu di Kelas Isolasi

Mengelola Kelas Isolasi semestinya adalah semacam hobi, hal yang dikerjakan di waktu-waktu luang alias di luar jam kerja (meski saya tidak punya pemisahan yang tegas tentang mana jam kerja dan mana non jam kerja). Namun terutama sejak kehadiran para relawan mulai sebulan lalu, mengurusi Kelas Isolasi menjadi hal yang mesti dikerjakan penuh waktu. Mengapa demikian? Bukankah keberadaan 32 relawan yang membantu Kelas Isolasi membuat kami bisa lebih santai-santai? Ternyata sebaliknya, perhatian yang lebih besar justru dibutuhkan akibat lebih banyaknya konten yang diproduksi.  Konten-konten yang diproduksi tersebut tidak semuanya bisa langsung diposting, melainkan mesti dibaca kembali, direvisi tipis-tipis, bahkan dalam beberapa kasus, harus dirombak habis-habisan. Konten yang melimpah juga membuat kami mesti mengatur jadwal supaya frekuensi kemunculannya menjadi rapi sekaligus estetik. Hal-hal demikian, mau tidak mau, memerlukan semacam sistem, supaya segalanya agak-agak otomatis dan tidak

Love is the Answer (2022) - Mengembalikan Agape dalam Masyarakat Transaksional

Sebagai orang yang mengklaim diri sebagai "demotivator", nyaris setiap malam saya menyempatkan diri untuk menonton ceramah para motivator via Youtube. Supaya apa? Supaya mengetahui apa yang mereka katakan bersama problem yang dibawanya. Intinya, saya mengumpulkan bahan untuk mengkritik para motivator. Sebagai contoh, terdapat motivator yang kerap mengatakan, "Apakah harus ada orang yang miskin? Harus, yang penting bukan kita." Bagi saya ungkapan tersebut bermasalah, karena menjustifikasi individualisme atau komunalisme sempit, sekaligus meneguhkan paradigma motivasional sebagai agen neoliberal yang mendewakan persaingan dalam konteks zero-sum game - bahwa kemenangan kita adalah sekaligus kekalahan bagi yang lain.  Di tengah keasyikan saya dalam membongkar modus para motivator ini, tiba-tiba seorang kawan mengirimkan buku motivasi dengan dilampiri surat langsung dari penulisnya. Katanya, silakan dibaca, dan mudah-mudahan bisa diulas. Tentu saja hal ini mengejutkan.

Toleransi

Toleransi adalah kata yang indah. Tapi iyakah? Tidak adakah masalah sama sekali dalam konsep toleransi? Toleransi mungkin secara sederhana bisa diartikan sebagai sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan supaya dapat hidup bersama dan berdampingan. Tidak ada masalah, mungkin, tetapi bisa saja dipermasalahkan: apakah toleransi bersifat eksklusif hanya pada mereka yang juga toleran? Jika toleransi hanya terbatas pada mereka yang punya sikap toleran, tidakkah artinya toleransi juga punya sisi intoleran terhadap mereka yang intoleran? Permasalahan ini pernah disinggung oleh Karl Popper dalam gagasannya tentang paradoks toleransi. Bagi Popper, mereka yang intoleran tidak perlu ditoleransi karena jika diberi panggung, si intoleran nantinya akan menyingkirkan mereka yang toleran.  Popper mungkin ada benarnya, tapi juga bisa dipermasalahkan: tidakkah boleh-boleh saja bagi seseorang atau kelompok tertentu memandang perbedaan sebagai sesuatu yang menyusahkan bagi prinsip yang dianutnya?