Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 2023

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Selera Pasar

Beberapa minggu lalu, kawan saya dirujak di Twitter akibat membandingkan nasib dirinya dengan Blackpink. Kawan saya itu bisa dikatakan sebagai orang yang serius belajar musik: multi instrumentalis, bisa aransemen dan komposisi, serta mendalami sejarah dan teori musik. Ia diserang netijen, utamanya oleh pendukung Blackpink, karena menganggap bahwa kelompok musik Korea itu masih muda-muda, kemampuan musiknya biasa aja, tetapi bisa kaya raya. Sementara ia, yang serius mendalami musik, uangnya tidak seberapa (kira-kira begitu). Rata-rata serangan yang tertuju pada dia berkaitan dengan ketidaksesuaian "adu nasib": Blackpink juga berusaha keras, mereka juga mati-matian dalam belajar musik. Mungkin luaran musiknya beda, tetapi hal tersebut tidak mengabaikan kenyataan bahwa antara teman saya dan Blackpink ya sama-sama berjuang juga. Intinya, tidak usah mengeluh lah .  Harus diakui bahwa level rujakan itu cukup keras. Saya sendiri heran mengapa bisa demikian ya para pendukung pop-pop

Privilese

Memang tidak bisa ditolak, sebagai konsekuensi dari kepemilikan pribadi, terjadilah hal yang namanya privilese atau hak istimewa. Privilese ini melekat, buah dari apa yang dikerjakan orang tua, kakek-nenek, dan leluhur kita, yang tidak bisa begitu saja ditanggalkan dan bahkan cenderung dinikmati. Memang ada privilese berupa kepemilikan rumah sejak lahir, kemudahan mengakses sekolah-sekolah bagus sejak TK, hingga fasilitas uang jajan yang memadai untuk membeli ini-itu, tetapi ada juga privilese berupa hal-hal yang melekat pada tubuh, yakni kenyataan bahwa seseorang lahir sebagai laki-laki, lahir sebagai suku yang umumnya bertempat di Pulau Jawa, lahir sebagai muslim, dan lahir sebagai heteroseksual. Privilese terakhir ini memang juga berhubungan dengan apa yang dikerjakan orang tua (migrasi, kawin dengan siapa), tetapi secara umum lebih tidak bisa dilepaskan ketimbang harta benda (yang statusnya lebih tidak stabil).  Konsekuensi dari privilese itu bisa pada akses-akses berikutnya yang s

Ke Jakarta Kali ini Begitu Berkesan

Antara tanggal 1 hingga 3 Maret kemarin, saya berada di Depok dan Jakarta, terutama Jakarta Selatan. Keberangkatan saya ke Jakarta didasari oleh beberapa acara. Acara pertama adalah ajakan Mba Yayas untuk ikut mengajar di kelasnya, yaitu kelas eksistensialisme dan filsafat timur. Ajakan ini tentu tidak resmi karena saya tidak terdaftar sebagai dosen di UI. Namun karena sudah berkali-kali nimbrung di berbagai kelas online di UI, maka tiada salahnya saya sesekali memenuhi ajakan offline . Kebetulan, selang dua hari kemudian saya mesti memoderatori acara diskusi tentang hukuman mati di daerah Tebet sehingga saya memutuskan untuk tidak pulang dan tinggal selama tiga hari di sana. Puspa juga memutuskan untuk mengambil cuti dan turut pergi ke Jakarta sehingga lengkaplah acara ini sebagai sekaligus acara "intelektual" tapi juga sekaligus personal. Awalnya saya sedikit pesimis dengan keberangkatan ini. Pertama, apakah Mba Yayas sungguh-sungguh mengajak saya pergi untuk sekadar mend

Tentang Hukuman Mati

Baru saja saya menyelesaikan tugas sebagai moderator diskusi hukuman mati. Topik ini sebenarnya tidak pernah menjadi hal yang saya fokuskan. Soal hukuman mati saya selalu mengacu pada cerpen Anton Chekhov berjudul Pertaruhan . Dalam cerpen tersebut, diceritakan bagaimana bankir dan ahli hukum bertaruh mana hukuman yang lebih baik, hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Ahli hukum, yang memilih opsi kedua, bersedia mendekam di penjara selama lima belas tahun dan jika ia berhasil melewatinya, maka lawan taruhannya harus membayarnya dua juta rubel. Bankir yakin akan memenangkan pertaruhan ini karena siapa yang mau secara sukarela mengurung dirinya sendiri di penjara selama lima belas tahun?  Namun tak disangka-sangka, bankir berhasil membuat dirinya betah bertahun-tahun karena membaca buku. Begitu banyaknya ia membaca buku sehingga ia mendapatkan suatu kebijaksanaan yang membuat pertaruhan tersebut terasa sia-sia. Kita tidak perlu membahas bagaimana akhir dari pertaruhan ini karena takut