Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya. Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang. Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di
Meski tidak berangkat dari pengamatan yang dikatakan sahih, tetapi saya punya simpulan bahwa untuk bisa berpikir agak keras, seseorang mesti makan atau minum sesuatu yang tidak sehat-sehat amat. Misalnya, sejumlah filsuf digambarkan sebagai perokok dan peminum, pun di antara kita kalau sedang berdiskusi filsafat, biasanya sambil ngopi, ngebir, atau minum alkohol. Meski ada, tapi agak jarang: orang berkegiatan filsafat sambil minum-minuman sehat. Entah kenapa terdapat kecenderungan seperti itu dan fenomena semacam ini tentu tidak memuaskan jika hanya dijawab dengan "urusan selera masing-masing". Padahal secara umum tentu kita tahu: alkohol, kopi, rokok, adalah sesuatu yang tidak sehat, yang cepat atau lambat akan menjadi penyakit dalam tubuh kita. Namun mengapa, terutama saat berdiskusi filsafat, seseorang bisa mengonsumsinya dengan gembira, dengan perasaan yang "adil" bahwa memang itu semualah yang diperlukan bagi proses pemerasan pikiran? Mungkin problem ini bisa