Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2023

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Pikiran - Tubuh dan Makanan - Minuman

Meski tidak berangkat dari pengamatan yang dikatakan sahih, tetapi saya punya simpulan bahwa untuk bisa berpikir agak keras, seseorang mesti makan atau minum sesuatu yang tidak sehat-sehat amat. Misalnya, sejumlah filsuf digambarkan sebagai perokok dan peminum, pun di antara kita kalau sedang berdiskusi filsafat, biasanya sambil ngopi, ngebir, atau minum alkohol. Meski ada, tapi agak jarang: orang berkegiatan filsafat sambil minum-minuman sehat. Entah kenapa terdapat kecenderungan seperti itu dan fenomena semacam ini tentu tidak memuaskan jika hanya dijawab dengan "urusan selera masing-masing". Padahal secara umum tentu kita tahu: alkohol, kopi, rokok, adalah sesuatu yang tidak sehat, yang cepat atau lambat akan menjadi penyakit dalam tubuh kita. Namun mengapa, terutama saat berdiskusi filsafat, seseorang bisa mengonsumsinya dengan gembira, dengan perasaan yang "adil" bahwa memang itu semualah yang diperlukan bagi proses pemerasan pikiran?  Mungkin problem ini bisa

Kampung Halaman

Hari Minggu, minggu yang lalu, saya diajak orang tua untuk berkunjung ke Garut. Tempat tersebut tepatnya adalah kampung halaman bapak, yang sependek pengetahuan saya, jarang sekali dikunjungi. Tentu saja, kesok-sibuk-an urban istri dan saya membuat kunjungan semacam ini, terlebih di hari Minggu, terasa amat berat. Dalam kehidupan perkotaan yang segala-galanya mesti serba berguna, mengunjungi sebuah tempat dengan dalih romantisme kadang terdengar membuang-buang waktu. Namun setelah direnung-renungkan, terutama mengingat usia bapak sekarang sudah kepala tujuh, ajakan-ajakan semacam itu, bagi saya, tidak boleh disikapi dengan egois. Saya harus memikirkan juga dari sudut pandang bapak, yang di usia lansianya mungkin tiada lagi hal yang ingin dilakukan kecuali mengenang dan mengenang. Alhasil, kami pun memutuskan ikut berangkat ke Garut, menanggalkan segala pekerjaan yang seringkali masih harus digarap di hari Minggu.  Bandung - Garut jaraknya tidak jauh. Bahkan lebih dekat dari yang saya b

Ideologi

Bermula dari pertemuan dengan Pak Awal Uzhara tahun 2013 hingga wafatnya beliau tahun 2016, cara pandang saya terhadap ideologi yang melekat pada seseorang menjadi begitu berbeda. Mungkin perlu diceritakan kembali, bahwa Pak Awal adalah mantan eksil yang pernah tinggal enam puluh tahun di Rusia karena alasan politik. Pergi ke Moskow tahun 1958 untuk sekolah film di Institut Sinematografi Gerasimov (dulu namanya VGIK), paspornya dicabut akibat pergolakan politik tahun 1965 di tanah air. Kita tahu bahwa orang-orang yang pergi ke negara-negara Eropa Timur atau negara-negara sosialis pada masa itu adalah "orang-orang utusan Soekarno" yang perlu disingkirkan oleh rezim orde baru, termasuk salah satunya adalah Pak Awal. Pak Awal berhasil pulang tahun 2011 ke Indonesia dan tinggal di Bandung hingga akhir hayatnya.  Meski sering ketakutan bahwa ia masih "diincar" selama di Indonesia, Pak Awal, di usianya yang kepala delapan, tidak kehilangan keyakinannya atas ideologi yang

Kegaduhan

Sesekali, jika sedang luang, saya menonton pertandingan NBA. NBA selalu menarik. Tidak hanya tentang aksi dari para pemainnya, tetapi juga bagaimana pertandingan-pertandingannya kerap dikemas layaknya pertunjukan dengan teknik kamera yang "hidup". Bagi saya, NBA adalah "keberhasilan" kapitalisme. NBA bukan hanya berhasil menjual olahraga basket, tetapi juga membuat mutu basket di Amerika juga menjadi terdepan. Intinya, NBA bukan hanya menjual bungkus, citra, tetapi juga kualitas.  Ada hal menarik dalam setiap pembukaan pertandingan NBA, yakni MC yang selalu meneriakkan, " Make some noise !" sebagai tanda bagi penonton untuk membuat keriuhan. MC tersebut juga akan memprovokasi penonton untuk meneriakkan " defense !" saat tim tuan rumah diserang, atau memprovokasi penonton untuk memberikan dukungan lebih gaduh jika dirasa tim tuan rumah sedang lesu atau justru tengah mengejar poin. Intinya, ada usaha membuat gaduh, membuat berisik keadaan. Supaya a