Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Tentang Membaca Pemikiran Latour


Untuk kepentingan sebuah forum, saya diharuskan membahas pemikiran Bruno Latour yang sebelumnya hanya saya terima tipis-tipis dari diskusi antar teman dan kuliah Bu Karlina Supelli. Saya menerima tantangan tersebut dengan hanya mempunyai waktu dua minggu. Iya, dua minggu untuk mengkaji pemikiran dari seorang filsuf yang saya tidak pernah akrabi sebelumnya. Mengapa saya bersedia? Mungkin karena forumnya tidak filsafat-filsafat amat, dan juga Latour adalah pemikir kontemporer yang baru meninggal bulan lalu, sehingga tentu mudah untuk mengakses video-video kuliahnya. Memang tidak sukar menemukan videonya yang cukup banyak itu, baik saat ia memberikan ceramah maupun menjawab wawancara, tetapi ternyata gagasannya tidak mudah juga untuk dicerna. Bahkan dalam beberapa hari pertama saya mulai menggeluti pemikiran filsuf Prancis itu, saya nyaris putus asa. 

Setelah menyerah dengan buku primer, saya mengalihkan bacaan ke buku sekunder yang ditulis oleh Gerard de Vries. Pengantar yang diberikannya sangat membantu, terutama dari bagaimana ia menjelaskan cara kerja Latour yang antropologis. Apa yang dimaksud dengan cara kerja antropologis? Berdasarkan penjelasan de Vries, Latour bukanlah "filsuf di balik meja" yang merenungkan dunia dari tempat duduknya sambil bertopang dagu. Latour melakukan riset lapangan, melakukan observasi dan wawancara secara sungguh-sungguh, dan membangun argumen filosofis berdasarkan data. Setidaknya kita bisa melihat kecenderungan semacam itu dalam dua bukunya, Laboratory Life dan Paris Ville Invisible

Dalam Laboratory Life, Latour ingin memperlihatkan pada kita bahwa sains bukanlah suatu kerja murni yang bersentuhan dengan realitas, melainkan berakar pada jejaring yang justru tidak ada hubungannya dengan realitas. Latour bukan hendak mengatakan bahwa sains itu subjektif, tetapi objektivitasnya dikonstruksi sedemikian rupa "supaya tampak" dengan cara-cara yang bisa jadi "subjektif". 

Setelah memperoleh landasan cara kerja berfilsafat Latour, saya menjadi lebih paham saat kembali ke buku primer. Tulisan Latour tidak mudah dipahami dan seperti halnya filsuf panutannya, Gilles Deleuze, ia menggunakan cara-cara "rhizomatik" untuk memperlihatkan kerumitan jejaring. Atas dasar gaya yang "rhizomatik" itu juga, rasanya sukar untuk merumuskan gagasan paling pokok dalam filsafat Latour. Namun jika terpaksa mesti memampatkan pemikiran Latour, kuncinya ada pada pertama, pengamatan antropologis itu tadi, lalu kedua, perkara keterlibatan aktor non-manusia yang bersifat interrelasional satu sama lain sebagai actant, dan ketiga, argumennya soal pemisahan yang tidak pernah terjadi antara natur dan kultur sehingga dengan demikian, kita tidak pernah menjadi modern (yang mengklaim sukses melakukan dikotomi natur dan kultur). 

Namun rasanya memampatkan pemikiran Latour pada ketiga unsur tersebut malah terasa memiskinkan kompleksitas gagasannya. Latour dikenal sebagai pemikir yang menerabas sana-sini sehingga ia sendiri menyebut buku-bukunya seringkali ditempatkan di macam-macam rak di toko buku. Bahkan Paris Ville Invisible tetap cocok kalaupun dikategorikan sebagai buku pariwisata (akibat banyak foto di dalamnya)! Sekali lagi, seperti halnya Deleuze, Latour ingin agar usaha peleburan batas-batas antar wilayah seperti sains, filsafat, budaya, lingkungan, teknologi, politik, agama, tidak hanya dituliskan sebagai representasi, tetapi ditunjukkan dalam "gaya tulisan". Deleuze kerap memuja Nietzsche sebagai filsuf yang tidak hanya menuliskan tentang gerak, tetapi filsafatnya itu sendiri "bergerak". Tidak seperti Hegel yang membicarakan gerak dengan gaya-gaya representasional yang justru tidak mencerminkan gerak itu sendiri. 

Atas kepentingan forum yang lebih dekat pada pembahasan tentang persoalan iklim tersebut, maka saya merasa perlu untuk memfokuskan bacaan pada teks-teks Latour yang berkenaan dengan lingkungan yakni Politics of Nature dan Facing Gaia (meski sejatinya, buku-buku Latour manapun selalu ada persinggungannya dengan banyak topik termasuk lingkungan). Saran Latour selalu konsisten dari tulisan ke tulisan, tentang keharusan setiap wilayah untuk fokus pada dirinya sendiri (agama, sains, politik, lingkungan dan sebagainya), tetapi mesti sekaligus merentangkan dirinya ke wilayah lain (Latour mengistilahkan, filsafat mesti mampu berbicara "dari Plato hingga NATO"). 

Artinya, dalam konteks lingkungan, usaha penyelamatan lingkungan bukan hanya tugas saintis dan aktivis, tapi juga seluruh pihak dalam kapasitasnya masing-masing. Selain itu, konsistensi lain yang hendak ia tunjukkan, adalah pelibatan aktor non-manusia dalam politik berkenaan dengan lingkungan. Latour tidak hanya berbicara tentang makhluk hidup secara umum, tetapi seluruh yang bukan manusia, yang biasa kita sebut sebagai "benda mati". Hanya lewat keberadaan dari seluruh representasi itu, kita bisa duduk bersama membicarakan kelangsungan bumi bukan lagi sebagai sebuah universe, melainkan pluriverse.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1