Meski menerimanya di waktu hampir berjauhan, kebetulan saya membaca dua buku ini di waktu nyaris bersamaan: Seni sebagai Pembebasan-nya Syakieb Sungkar dan Trocoh-nya Budi Warsito. Walaupun sama-sama menyinggung soal seni, keduanya melakukan pendekatan yang sangat berbeda. Di sini justru saya menemukan jukstaposisi yang menarik: Apa yang dibahas oleh Pak Syakieb, yang berkenaan dengan estetika Theodor Adorno, justru dengan "jenaka", secara tidak langsung, dibatalkan oleh tulisan Mas Budi. Gagasan Adorno, sebagaimana dibahas oleh Pak Syakieb dan saya ulas di tulisan sebelum ini, secara umum menolak musik pop karena sifat fabrikasinya yang mengarah pada pembentukan masyarakat yang homogen - sebagaimana dicita-citakan oleh fasisme. Trocoh-nya Mas Budi justru hendak menunjukkan: musik pop tidak sefabrikatif itu. Sebaliknya, kesadaran-kesadaran kritis justru bisa muncul melalui budaya populer, sebagaimana diperlihatkan oleh Mas Budi, misalnya, dalam tulisan mengenai Senam Kesegaran Jasmani dan pendisiplinan tubuh komunal.
Apa isi buku Trocoh? Ini adalah kumpulan esai Mas Budi, pengelola toko buku dan perpustakaan Kineruku yang kelihatannya, bagi sebagian besar pegiat komunitas di Bandung, sangat tidak asing. Jumlah esainya ada 41 dan saya bisa menerka dari mana angka tersebut berasal: Mas Budi menyebut tahun lahirnya di biodata, lalu berdasarkan fakta bahwa buku tersebut terbit tahun 2021, maka jumlah esai tersebut disesuaikan dengan usia Mas Budi di tahun penerbitan. Bukankah begitu, Mas? Esai itu punya beragam tema dan tidak bisa dikatakan sebuah tulisan yang sistematis dan serius. Rupanya ini semacam catatan tentang hal-hal yang menjadi kenangan Mas Budi: ingatannya tentang merakit cita-cita di masa SD, masa-masa mengagumi Gombloh, pengalamannya mengikuti kuis sepakbola di radio saat Piala Dunia 1994, romantisme tentang Sheila on 7 dan banyak tema lainnya. Rasanya tidak terlalu keliru jika Trocoh ini isinya lebih seperti "racauan" ketimbang tulisan sistematis dan berupaya menganalisis. Mas Budi hanya sedang ingin bercerita, menggali apa-apa saja yang menubuhinya hingga hari ini, sembari berdamai dengan perasaan yang berkecamuk: bahwa semua itu tidak mungkin kembali, hanya bisa dikunjungi sewaktu-waktu sebagai sebuah "tempat persembunyian" dari realitas yang mungkin kejam. Kenangan, kata Kahlil Gibran, adalah sebentuk pertemuan.
Tentu saja, implikasi dari tulisan personal semacam ini, adalah tiadanya pengetahuan yang bisa kita tarik untuk "kebaikan bersama": "Itu pengalaman personalmu, yang tentu saja berbeda dengan pengalaman personalku." Pengalamannya Mas Budi adalah milik Mas Budi. Meski sama-sama katakanlah, bersentuhan dengan Piala Dunia 1994, saya tidak benar-benar bisa mengerti pengalaman mengikuti kuis di radio pada masa itu (karena yang saya ingat hanya tendangan penalti Roberto Baggio yang melambung). Kendati demikian, bukan artinya tulisan tentang kisah hidup semacam itu menjadi tiada makna sama sekali yang bisa ditarik, selain oleh si penulis sendiri. Justru bagi saya ini menjadi perkara serius: tiada pengetahuan yang lebih pasti dari masa lalu yang menjadi milik masing-masing. Membaca Trocoh bukan semata-mata memasuki semesta pengalaman Mas Budi, yang juga tidak bisa sepenuhnya diselami, melainkan lebih pada semesta pengalaman saya sendiri: sudah sejauh mana saya memaknai pengalaman yang sudah-sudah?
Di usia saya yang saya menyebutnya sebagai "peralihan dari muda ke tua", memang ada renungan yang aneh, yang sebenarnya mudah dipahami dengan logika sederhana: apakah mereka yang tua, pernah benar-benar muda? Saya menonton piala dunia yang lalu-lalu, terutama piala dunia jadul pas saya masih kecil atau bahkan belum lahir. Dulu saya akan menyebut mereka sebagai "wah jadul banget, sekarang zaman udah lebih maju, udah berubah, lebih enak ditonton maen bolanya." Saya malu dengan pikiran semacam itu belakangan. Para pemain dari Piala Dunia '82, '86, '90, '94 itu bukannya ketinggalan, mereka hebat-hebat pada masanya, dengan konteks yang sejalan dengannya (taktik, teknik, pemberitaan media, peraturan FIFA). Kita tidak bisa membandingkan Lionel Messi dan Johann Cruyff hanya karena kita lebih banyak menerima informasi tentang Messi di era yang memang banjir informasi.
Poin dari renungan tersebut adalah ini: kita tidak bisa memasuki pengalaman Mas Budi, tapi kita bisa berempati bahwa Mas Budi pernah bergulat dengan aneka fenomena urban di masa mudanya, merenungkannya sungguh-sungguh, dan terlepas apakah pergulatan dan renungan itu gagal atau berhasil (karena bagaimana mengukurnya?), ia telah "berhasil", sebagai suatu catatan hidup yang tak terbantahkan. Cruyff mungkin tidak peduli kalaupun Messi lebih hebat dari dirinya. Hal yang lebih penting adalah Cruyff hebat bagi dirinya sendiri, dalam pergulatannya, dalam konteksnya, dalam hal yang Messi belum tentu sanggup menghadapinya jika hidup di zamannya. Pernyataan sederhana tentang masa lalu ini menohok saya, datang dari salah satu anggota tim basket The Dream Team Barcelona '92 (saya lupa persisnya), saat mengomentari para juniornya seperti LeBron James dan Kobe Bryant: mereka belajar dari kami, kami tidak belajar dari mereka. Suatu pernyataan tentang linearitas waktu yang tegas.
Alih-alih mengomentari isi esai, yang menurut saya sangat personal, saya lebih senang menenggelamkan diri pada kegalauan pasca membaca Trocoh. Bahwa iya, saat ini saya sedang berambisi ini-itu, ingin mencapai ini-itu, agar kelak... agar kelak apa? Mungkin, agar kelak saya bisa membuat catatan seperti Mas Budi, tentang hidup yang pernah dialami, diperjuangkan, sebelum akhirnya menyimpannya jadi kenangan berharga. Hiduplah, bukan untuk masa kini, bukan untuk masa depan, melainkan ... masa lalu. Terima kasih atas Trocoh-nya, Mas Budi, selamat bernostalgia, tidakkah itu ujung hidup kita semua, yang kelak dikecam oleh "anak-anak muda"?
Comments
Post a Comment