Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Trocoh dan Semesta Pengalaman yang Selalu Irelevan, tapi Pasti


Meski menerimanya di waktu hampir berjauhan, kebetulan saya membaca dua buku ini di waktu nyaris bersamaan: Seni sebagai Pembebasan-nya Syakieb Sungkar dan Trocoh-nya Budi Warsito. Walaupun sama-sama menyinggung soal seni, keduanya melakukan pendekatan yang sangat berbeda. Di sini justru saya menemukan jukstaposisi yang menarik: Apa yang dibahas oleh Pak Syakieb, yang berkenaan dengan estetika Theodor Adorno, justru dengan "jenaka", secara tidak langsung, dibatalkan oleh tulisan Mas Budi. Gagasan Adorno, sebagaimana dibahas oleh Pak Syakieb dan saya ulas di tulisan sebelum ini, secara umum menolak musik pop karena sifat fabrikasinya yang mengarah pada pembentukan masyarakat yang homogen - sebagaimana dicita-citakan oleh fasisme. Trocoh-nya Mas Budi justru hendak menunjukkan: musik pop tidak sefabrikatif itu. Sebaliknya, kesadaran-kesadaran kritis justru bisa muncul melalui budaya populer, sebagaimana diperlihatkan oleh Mas Budi, misalnya, dalam tulisan mengenai Senam Kesegaran Jasmani dan pendisiplinan tubuh komunal. 

Apa isi buku Trocoh? Ini adalah kumpulan esai Mas Budi, pengelola toko buku dan perpustakaan Kineruku yang kelihatannya, bagi sebagian besar pegiat komunitas di Bandung, sangat tidak asing. Jumlah esainya ada 41 dan saya bisa menerka dari mana angka tersebut berasal: Mas Budi menyebut tahun lahirnya di biodata, lalu berdasarkan fakta bahwa buku tersebut terbit tahun 2021, maka jumlah esai tersebut disesuaikan dengan usia Mas Budi di tahun penerbitan. Bukankah begitu, Mas? Esai itu punya beragam tema dan tidak bisa dikatakan sebuah tulisan yang sistematis dan serius. Rupanya ini semacam catatan tentang hal-hal yang menjadi kenangan Mas Budi: ingatannya tentang merakit cita-cita di masa SD, masa-masa mengagumi Gombloh, pengalamannya mengikuti kuis sepakbola di radio saat Piala Dunia 1994, romantisme tentang Sheila on 7 dan banyak tema lainnya. Rasanya tidak terlalu keliru jika Trocoh ini isinya lebih seperti "racauan" ketimbang tulisan sistematis dan berupaya menganalisis. Mas Budi hanya sedang ingin bercerita, menggali apa-apa saja yang menubuhinya hingga hari ini, sembari berdamai dengan perasaan yang berkecamuk: bahwa semua itu tidak mungkin kembali, hanya bisa dikunjungi sewaktu-waktu sebagai sebuah "tempat persembunyian" dari realitas yang mungkin kejam. Kenangan, kata Kahlil Gibran, adalah sebentuk pertemuan

Tentu saja, implikasi dari tulisan personal semacam ini, adalah tiadanya pengetahuan yang bisa kita tarik untuk "kebaikan bersama": "Itu pengalaman personalmu, yang tentu saja berbeda dengan pengalaman personalku." Pengalamannya Mas Budi adalah milik Mas Budi. Meski sama-sama katakanlah, bersentuhan dengan Piala Dunia 1994, saya tidak benar-benar bisa mengerti pengalaman mengikuti kuis di radio pada masa itu (karena yang saya ingat hanya tendangan penalti Roberto Baggio yang melambung). Kendati demikian, bukan artinya tulisan tentang kisah hidup semacam itu menjadi tiada makna sama sekali yang bisa ditarik, selain oleh si penulis sendiri. Justru bagi saya ini menjadi perkara serius: tiada pengetahuan yang lebih pasti dari masa lalu yang menjadi milik masing-masing. Membaca Trocoh bukan semata-mata memasuki semesta pengalaman Mas Budi, yang juga tidak bisa sepenuhnya diselami, melainkan lebih pada semesta pengalaman saya sendiri: sudah sejauh mana saya memaknai pengalaman yang sudah-sudah? 

Di usia saya yang saya menyebutnya sebagai "peralihan dari muda ke tua", memang ada renungan yang aneh, yang sebenarnya mudah dipahami dengan logika sederhana: apakah mereka yang tua, pernah benar-benar muda? Saya menonton piala dunia yang lalu-lalu, terutama piala dunia jadul pas saya masih kecil atau bahkan belum lahir. Dulu saya akan menyebut mereka sebagai "wah jadul banget, sekarang zaman udah lebih maju, udah berubah, lebih enak ditonton maen bolanya." Saya malu dengan pikiran semacam itu belakangan. Para pemain dari Piala Dunia '82, '86, '90, '94 itu bukannya ketinggalan, mereka hebat-hebat pada masanya, dengan konteks yang sejalan dengannya (taktik, teknik, pemberitaan media, peraturan FIFA). Kita tidak bisa membandingkan Lionel Messi dan Johann Cruyff hanya karena kita lebih banyak menerima informasi tentang Messi di era yang memang banjir informasi. 

Poin dari renungan tersebut adalah ini: kita tidak bisa memasuki pengalaman Mas Budi, tapi kita bisa berempati bahwa Mas Budi pernah bergulat dengan aneka fenomena urban di masa mudanya, merenungkannya sungguh-sungguh, dan terlepas apakah pergulatan dan renungan itu gagal atau berhasil (karena bagaimana mengukurnya?), ia telah "berhasil", sebagai suatu catatan hidup yang tak terbantahkan. Cruyff mungkin tidak peduli kalaupun Messi lebih hebat dari dirinya. Hal yang lebih penting adalah Cruyff hebat bagi dirinya sendiri, dalam pergulatannya, dalam konteksnya, dalam hal yang Messi belum tentu sanggup menghadapinya jika hidup di zamannya. Pernyataan sederhana tentang masa lalu ini menohok saya, datang dari salah satu anggota tim basket The Dream Team Barcelona '92 (saya lupa persisnya), saat mengomentari para juniornya seperti LeBron James dan Kobe Bryant: mereka belajar dari kami, kami tidak belajar dari mereka. Suatu pernyataan tentang linearitas waktu yang tegas. 

Alih-alih mengomentari isi esai, yang menurut saya sangat personal, saya lebih senang menenggelamkan diri pada kegalauan pasca membaca Trocoh. Bahwa iya, saat ini saya sedang berambisi ini-itu, ingin mencapai ini-itu, agar kelak... agar kelak apa? Mungkin, agar kelak saya bisa membuat catatan seperti Mas Budi, tentang hidup yang pernah dialami, diperjuangkan, sebelum akhirnya menyimpannya jadi kenangan berharga. Hiduplah, bukan untuk masa kini, bukan untuk masa depan, melainkan ... masa lalu. Terima kasih atas Trocoh-nya, Mas Budi, selamat bernostalgia, tidakkah itu ujung hidup kita semua, yang kelak dikecam oleh "anak-anak muda"?

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat