Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Olahraga


Olahraga bukan suatu kegiatan yang akrab dengan hidup saya. Meski demikian, ada masa-masa saya menyukai praktik olahraga, tepatnya sepakbola, hingga masa-masa kuliah S1 sebelum akhirnya mesti "pensiun" karena mengalami cedera serius pada lutut. Belakangan, terutama dalam dua tahun terakhir, saya mulai kembali rutin berolahraga meski kecil-kecilan lewat aerobik via instruktur di YouTube. Dulu, berolahraga punya tujuan yang ambisius, yakni ingin menjadi pemain sepakbola profesional. Sekarang, berolahraga bertujuan supaya sehat saja, memperbesar peluang untuk tetap hidup, meski belum tentu juga. Setidaknya dengan berolahraga, badan menjadi lebih segar. 

Olahraga yang saya lakukan sekarang, tentu memerlukan waktu luang. Saya bisa berolahraga karena ada waktu santai, meski kadang memaksakan diri juga di tengah kesibukan. Namun saya memikirkan suatu masalah keadilan: apakah mereka yang tidak punya waktu luang, kemudian menjadi tidak punya waktu berolahraga, dan maka itu menjadi sama dengan kerap sakit-sakitan? Atau bagaimana dengan orang-orang yang lebih sering menggunakan fisik ketimbang pikirannya, seperti katakanlah, tukang panggul, apakah mereka sama dengan telah berolahraga dan maka itu menjadi sehat? 

Saya menanyakan perkara tersebut pada istri dan ia menjawab bahwa sebenarnya sama-sama saja antara mereka yang jogging di waktu senggang dan pekerjaannya tukang kuli panggul. Maksudnya sama saja: mereka sama-sama berolahraga, tanpa perlu membedakan apakah yang satu dilakukan di waktu senggang dan satu lagi dilakukan karena tuntutan pekerjaan (soal persisnya berapa kalori yang terbakar tentu mesti dihitung secara rinci dan itu bukan perkaranya). Namun apakah olahraga butuh kesadaran? Maksudnya, apakah mereka yang jogging, dengan menyadari bahwa dirinya sedang berolahraga, akan "lebih sehat" ketimbang kuli panggul yang tidak menyadari dan yang ada di pikiran mereka hanya sedang mengerjakan suatu pekerjaan? Jawabannya sama: mestinya tidak ada bedanya. Artinya, berolahraga bukan perkara intensi, bukan perkara kesengajaan, bukan perkara mengarahkan kegiatannya pada tubuh, berolahraga adalah murni soal gerakan tubuh yang bisa dikatakan lebih intens. 

Oke, jadi jika waktu senggang dan keterarahan pikiran bukanlah suatu hal yang menentukan apakah seseorang dapat dikatakan berolahraga atau tidak, lantas apa hal yang membedakannya? Jangan-jangan memang tidak ada. Misalnya, mereka yang tidak pernah olahraga secara disengaja, tetapi setiap hari berjalan ke kantornya dengan menempuh waktu lima belas menit dan harus naik turun tangga, tetap dapat dikatakan berolahraga. Jadi dengan demikian, untuk sementara gugur bahwa olahraga adalah problem kelas. Mereka yang bisa berolahraga bukan hanya mereka yang punya kemewahan waktu luang, mereka yang terdesak pekerjaan pun tetap berolahraga, dan bahkan tanpa sadar bisa muncul otot-otot yang diidamkan oleh orang-orang yang mesti bersusah payah di gym

Namun apakah benar-benar olahraga tidak bisa dibaca dari sudut pandang masalah kelas? Kita bisa melihat bagaimana orang-orang tertentu tidak hanya bersepeda, tapi juga menjadikannya semacam gaya hidup dengan menggunakan sepeda mahal dan kadang tidak perlu taat berlalu lintas karena mungkin merasa berkuasa. Orang-orang yang nge-gym tidak hanya menjadikan olahraga sebagai alat untuk menjadi sehat, tetapi supaya menjadi "keren", menjadi sesuatu yang mungkin mereka inginkan ada pada iklan-iklan atau film. Hal demikianlah yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang-orang yang berolahraga karena tuntutan pekerjaan atau melakukannya "tanpa disadari". Fokus mereka adalah bekerja, mencari uang, dan bertahan hidup, sementara otot-otot yang muncul hanyalah bonus, konsekuensi yang boleh ada dan boleh tidak. Masalah sehat mungkin sama-sama sehat, tetapi yang satu sudah memprediksinya (mereka yang punya waktu luang), sementara yang lain merasa itu tidak terlalu penting karena yang lebih diutamakan, mungkin, kesehatan dalam hal ekonomi. 

Akhirnya, meski punya luaran fisik yang sama-sama saja, tetap ada kelebihan bagi mereka yang berolahraga di waktu senggang ketimbang mereka yang berolahraga karena tuntutan. Karena tidak bisa ditampik, olahraga di waktu senggang membuat mereka yang melakukannya bisa memusatkan pikiran pada fisik itu sendiri, sekaligus mencita-citakan banyak hal yang turut memotivasi seperti memiliki tubuh layaknya artis Korea atau menunjukkan gaya pada sekitarnya. Sementara mereka yang dituntut pekerjaan, tujuannya mungkin agak satu dimensi. Namun justru melalui kelebihan yang dimiliki salah satu pihak tersebut, kita bisa menemukan ketimpangan: mereka yang sehat secara ekonomi, dapat juga fokus sehat secara badani; sebaliknya mereka yang kurang sehat secara ekonomi, akan berpotensi kurang sehat juga secara badani. Meski luarannya sama-sama "sehat" jika sama-sama berolahraga, tapi mereka yang masuk golongan pertama punya kemampuan menakar kalori, bercermin lebih banyak untuk melihat massa ototnya, dan mengatur jadwal rutin. Golongan kedua bisa jadi tidak punya privilese untuk itu semua, dan olahraga bisa menjadi kontraproduktif jika misalnya, tidak diimbangi oleh makan makanan bergizi atau jam tidur yang memadai. Lagi-lagi, waktu luang menciptakan ketimpangan.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1