Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Olahraga


Olahraga bukan suatu kegiatan yang akrab dengan hidup saya. Meski demikian, ada masa-masa saya menyukai praktik olahraga, tepatnya sepakbola, hingga masa-masa kuliah S1 sebelum akhirnya mesti "pensiun" karena mengalami cedera serius pada lutut. Belakangan, terutama dalam dua tahun terakhir, saya mulai kembali rutin berolahraga meski kecil-kecilan lewat aerobik via instruktur di YouTube. Dulu, berolahraga punya tujuan yang ambisius, yakni ingin menjadi pemain sepakbola profesional. Sekarang, berolahraga bertujuan supaya sehat saja, memperbesar peluang untuk tetap hidup, meski belum tentu juga. Setidaknya dengan berolahraga, badan menjadi lebih segar. 

Olahraga yang saya lakukan sekarang, tentu memerlukan waktu luang. Saya bisa berolahraga karena ada waktu santai, meski kadang memaksakan diri juga di tengah kesibukan. Namun saya memikirkan suatu masalah keadilan: apakah mereka yang tidak punya waktu luang, kemudian menjadi tidak punya waktu berolahraga, dan maka itu menjadi sama dengan kerap sakit-sakitan? Atau bagaimana dengan orang-orang yang lebih sering menggunakan fisik ketimbang pikirannya, seperti katakanlah, tukang panggul, apakah mereka sama dengan telah berolahraga dan maka itu menjadi sehat? 

Saya menanyakan perkara tersebut pada istri dan ia menjawab bahwa sebenarnya sama-sama saja antara mereka yang jogging di waktu senggang dan pekerjaannya tukang kuli panggul. Maksudnya sama saja: mereka sama-sama berolahraga, tanpa perlu membedakan apakah yang satu dilakukan di waktu senggang dan satu lagi dilakukan karena tuntutan pekerjaan (soal persisnya berapa kalori yang terbakar tentu mesti dihitung secara rinci dan itu bukan perkaranya). Namun apakah olahraga butuh kesadaran? Maksudnya, apakah mereka yang jogging, dengan menyadari bahwa dirinya sedang berolahraga, akan "lebih sehat" ketimbang kuli panggul yang tidak menyadari dan yang ada di pikiran mereka hanya sedang mengerjakan suatu pekerjaan? Jawabannya sama: mestinya tidak ada bedanya. Artinya, berolahraga bukan perkara intensi, bukan perkara kesengajaan, bukan perkara mengarahkan kegiatannya pada tubuh, berolahraga adalah murni soal gerakan tubuh yang bisa dikatakan lebih intens. 

Oke, jadi jika waktu senggang dan keterarahan pikiran bukanlah suatu hal yang menentukan apakah seseorang dapat dikatakan berolahraga atau tidak, lantas apa hal yang membedakannya? Jangan-jangan memang tidak ada. Misalnya, mereka yang tidak pernah olahraga secara disengaja, tetapi setiap hari berjalan ke kantornya dengan menempuh waktu lima belas menit dan harus naik turun tangga, tetap dapat dikatakan berolahraga. Jadi dengan demikian, untuk sementara gugur bahwa olahraga adalah problem kelas. Mereka yang bisa berolahraga bukan hanya mereka yang punya kemewahan waktu luang, mereka yang terdesak pekerjaan pun tetap berolahraga, dan bahkan tanpa sadar bisa muncul otot-otot yang diidamkan oleh orang-orang yang mesti bersusah payah di gym

Namun apakah benar-benar olahraga tidak bisa dibaca dari sudut pandang masalah kelas? Kita bisa melihat bagaimana orang-orang tertentu tidak hanya bersepeda, tapi juga menjadikannya semacam gaya hidup dengan menggunakan sepeda mahal dan kadang tidak perlu taat berlalu lintas karena mungkin merasa berkuasa. Orang-orang yang nge-gym tidak hanya menjadikan olahraga sebagai alat untuk menjadi sehat, tetapi supaya menjadi "keren", menjadi sesuatu yang mungkin mereka inginkan ada pada iklan-iklan atau film. Hal demikianlah yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang-orang yang berolahraga karena tuntutan pekerjaan atau melakukannya "tanpa disadari". Fokus mereka adalah bekerja, mencari uang, dan bertahan hidup, sementara otot-otot yang muncul hanyalah bonus, konsekuensi yang boleh ada dan boleh tidak. Masalah sehat mungkin sama-sama sehat, tetapi yang satu sudah memprediksinya (mereka yang punya waktu luang), sementara yang lain merasa itu tidak terlalu penting karena yang lebih diutamakan, mungkin, kesehatan dalam hal ekonomi. 

Akhirnya, meski punya luaran fisik yang sama-sama saja, tetap ada kelebihan bagi mereka yang berolahraga di waktu senggang ketimbang mereka yang berolahraga karena tuntutan. Karena tidak bisa ditampik, olahraga di waktu senggang membuat mereka yang melakukannya bisa memusatkan pikiran pada fisik itu sendiri, sekaligus mencita-citakan banyak hal yang turut memotivasi seperti memiliki tubuh layaknya artis Korea atau menunjukkan gaya pada sekitarnya. Sementara mereka yang dituntut pekerjaan, tujuannya mungkin agak satu dimensi. Namun justru melalui kelebihan yang dimiliki salah satu pihak tersebut, kita bisa menemukan ketimpangan: mereka yang sehat secara ekonomi, dapat juga fokus sehat secara badani; sebaliknya mereka yang kurang sehat secara ekonomi, akan berpotensi kurang sehat juga secara badani. Meski luarannya sama-sama "sehat" jika sama-sama berolahraga, tapi mereka yang masuk golongan pertama punya kemampuan menakar kalori, bercermin lebih banyak untuk melihat massa ototnya, dan mengatur jadwal rutin. Golongan kedua bisa jadi tidak punya privilese untuk itu semua, dan olahraga bisa menjadi kontraproduktif jika misalnya, tidak diimbangi oleh makan makanan bergizi atau jam tidur yang memadai. Lagi-lagi, waktu luang menciptakan ketimpangan.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat