Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Varian


Meski minum kopi setiap hari, saya tidak terlalu paham dengan varian kopi yang banyak itu. Mungkin saya tahu sedikit tentang vietnam drip, V60, karena keduanya begitu mencolok dari tampilannya. Atau saya juga tahu ciri khas espresso yang kuat dan bisa diminum sekali teguk itu. Namun sisanya saya tidak terlalu tahu bedanya dan bahkan tidak terlalu tertarik untuk mengetahuinya. Hal yang lebih penting bagi saya adalah kopi itu jangan manis karena masalah gula darah saya yang tinggi. Jadi pesan kopi apapun saya cuma menambahkan pesan, "Jangan manis ya." Jangan tanya perbedaan cappuccino dan caffe latte, saya paling bingung, meski sudah dijelaskan berkali-kali oleh Si Barista. 

Justru saya jadi bertanya-tanya, mengapa segala sesuatu mesti memiliki varian? Kopi ya kopi, mengapa harus ada detail yang membedakan antar jenis kopi? Supaya apa? Tidak hanya pada kopi, tapi juga pada es krim, rokok, steak, bahkan teh. Mengapa kita tidak kembali saja pada fungsi esensial dari masing-masing makanan itu? Tentu ada soal rasa, ada soal selera, tetapi mengapa perlu diciptakan rasa yang rumit, apakah supaya selera itu sendiri menjadi rumit? Apakah supaya terjadi perbedaan kelas dalam hal selera? Misalnya, saya yang tidak mengerti varian kopi, apakah kemudian menjadi harus merasa inferior terhadap mereka yang lebih paham? 

Saya kira, meski tidak tahu bersumber dari mana, salah satu jargon kapitalisme yang patut dibanggakan adalah mereka bisa memfasilitasi beraneka selera. Mereka mampu memenuhi kebutuhan manusia yang secara "kodrati" unik, ingin berbeda, dan khas. Itu sebabnya, serangan yang sering muncul dari kapitalisme terhadap masyarakat kolektif atau sosialis adalah penolakannya terhadap "kodrat" manusia yang unik secara individual itu, "Masa iya manusia dibuat sama semua, seragam, kan dari segi selera saja sudah berbeda-beda." Bagi kapitalisme, kebebasan memilih adalah koentji, dan mereka menyediakan pilihan yang banyak dan beragam. Bahkan ragam yang tak terbatas ini bisa menjadi sumber kreativitas untuk melepaskan sesuatu dari "kodrat"-nya, misalnya: serabi dengan selai kacang, nasi goreng dengan nanas, kopi dengan keju, dan banyak lagi. 

Pertanyaannya, apakah hal demikian adalah benar-benar kodrati? Atau kita bisa berpikir sebaliknya, bahwa varian tersebut sengaja diciptakan, supaya fokus konsumsi menjadi menyebar tidak hanya secara horizontal, tapi juga vertikal, atau kita sebut saja, perbedaan kelas. Mereka yang datang ke tempat kopi dan memesan dengan penuh detail, tentu dianggap lebih punya citarasa ketimbang mereka yang memesan "apa saja yang penting kopi". Mereka yang datang ke tempat serabi dengan berbekal pengetahuan kuno tentang dua varian yakni "oncom" dan "kinca", tentu lebih terdengar kolot ketimbang pesanan yang lebih kontemporer dengan campuran ini-itu. 

Namun rasanya argumen kelas belum terlalu memadai untuk menjawab "problem varian" ini. Bagaimana jika kita beralih pada seni? Mungkinkah apa yang dimaksud dengan "kodrat" unik, ingin berbeda, dan khas itu, lebih tepat dikenakan pada kemungkinan bahwa setiap orang selalu menginginkan kreasi, suatu karya seni, yang merepresentasikan gagasannya, rasa karsanya, dan hal demikian kemudian dihargai oleh konsumen sebagai suatu ciri penting yang melekat pada identitas tertentu? Artinya, munculnya varian adalah hal yang tak terbantahkan sebagai "konsekuensi estetik" baik dari si kreator maupun si apresiator. Saya adalah seorang pembuat kopi, tetapi membuat kopi tubruk selama sepuluh tahun saja membuat saya menjadi "robot pembuat kopi". Saya harus membuat sesuatu, yang menjadikan kopi tubruk ini lebih bernilai, sehingga orang mengenang saya tidak hanya sebagai "robot pembuat kopi", tapi juga "seniman pembuat kopi" yang punya kekhasan misalnya, karena menambahkan sedikit susu pada kopinya. 

Kedua argumen tersebut (kelas dan estetik) bisa jadi tidak perlu dipertentangkan: varian sebagai produk estetik, kemudian dikomodifikasi, sebagai kekhasan yang pantas dibeli dengan suatu harga. Itu sebabnya, kopi tertentu bisa dihargai lebih dari lima puluh ribu rupiah dengan harga bahan baku yang jauh lebih murah, akibat faktor estetik dan faktor kelas itu sekaligus, "Lihat, kopi semacam ini tidak akan kalian temukan di tempat lain, varian ini hanya kami yang punya, dan wajar kalau kalian mesti membelinya dengan harga mahal." Apakah pembeli benar-benar paham alasan rasional di balik harga tersebut? Rasa-rasanya tidak banyak yang paham, tapi juga tidak banyak yang peduli (untuk paham). Keterpesonaan konsumen terhadap estetika, mengaburkan faktor komodifikasi, sehingga kita tidak perlu tawar menawar harga di tempat yang sudah kita terima apa adanya sebagai "tempat estetika diproduksi". 

Saya memang lebih sering merasa heran jangankan untuk kopi yang harganya lebih dari lima puluh ribu, yang dua puluh ribuan saja saya tidak paham: "Ini kan cuma kopi?" Namun saya tidak mungkin mengatakan hal demikian di sebuah kafe atau restoran. Mengapa tidak mungkin, saya juga tidak tahu, mungkin karena mitos yang dibuat kapitalisme bahwa harga-harga tertentu sudah harus diimani begitu saja. Kalau saya mempertanyakannya, malah terlihat bahwa kelas saya tidak sesuai untuk berada di sana. Demikian halnya dengan persoalan varian. Varian kopi memang banyak dan seolah dibuat demikian adanya sebagai respons atas selera yang beragam. Kalau saya mempertanyakan terlalu jauh, argumen estetik selalu menjadi jawaban pamungkas, agar komodifikasi bisa dihaluskan atas nama "kreasi individu yang khas".

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me