Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Pseudosains


Mungkin tampak jelas bagi sebagian dari kita untuk membedakan mana yang sains dan mana yang bukan. Pawang hujan jelas bukan sains karena seorang pawang bisa bicara tentang "kekuatan pikiran" dan "alat pengendali langit" untuk mengatur turunnya hujan tanpa bisa ditunjukkan apakah fakta bahwa hujan turun atau tidak benar-benar tergantung dari "metode" yang ia praktikkan atau bukan. Katakanlah seorang pawang hujan sudah melakukan ritual ini itu dan ternyata hujan tidak terjadi, maka dengan demikian "metode"-nya tersebut bisa dianggap sahih. Namun di sisi lain, bisa juga kejadian: pawang hujan sudah melakukan ritual ini itu tapi hujan tetaplah terjadi. Jika ditanya, pawang hujan tersebut biasanya menjawab, "Awan sudah kepenuhan dan harus dikurangi bebannya, maka itu dia tidak bisa tidak menurunkan hujan." Apapun yang ia katakan, semuanya tidak bisa dibuktikan. Bahkan meskipun ia menceritakan metodenya secara rinci, toh tidak semua orang bisa begitu saja mereplikasinya. 

Replikasi, itulah salah satu ciri sesuatu dikatakan saintifik atau bukan. Jika suatu komunitas ilmiah menghasilkan temuan bahwa air mendidih pada seratus derajat celcius, maka temuan tersebut dapat direplikasi oleh komunitas ilmiah lain atau bahkan orang umum tanpa perlu memiliki "kemampuan khusus". Lewat replikasi tersebut, sains kemudian juga mesti memiliki kemampuan memprediksi. Prediksi berasal dari keberhasilan temuan saintifik bahwa unsur "itu"-lah yang menyebabkan sesuatu, sehingga jika "itu" mampu dikendalikan, maka sesuatu itu juga bisa dalam genggaman. Misalnya, jika ditemukan bahwa "itu" yang menyebabkan gempa bumi adalah pergeseran lempengan bumi, maka pencegahan terhadap pergeseran lempengan bumi membuat gempa bumi mampu dikendalikan. Temuan tentang "itu" oleh satu komunitas, dapat direplikasi oleh komunitas lainnya, dan bisa jadi mereka bisa saling bekerjasama untuk melakukan prediksi. 

"Itu" yang dimaksud sebagai temuan saintifik, berbeda dengan "itu" sebagaimana bayangan komunitas non-saintifik yang mungkin mempunyai penjelasan yang berbeda, misalnya, dengan menyatakan bahwa gempa bumi disebabkan oleh raksasa yang sedang berjalan. Raksasa yang berjalan mungkin saja "masuk akal" untuk menjelaskan gempa bumi, tetapi kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk memprediksi kapan raksasa berjalan dan kapan raksasa diam, semata-mata karena ternyata tidak ada raksasa! Sejauh ini sains memang belum bisa mencegah pergeseran lempengan bumi, tetapi karena pengetahuan akan "itu" yang saintifik itulah, sains bisa mengira-ngira tentang gempa bumi dan bagaimana mitigasi yang bisa dilakukan untuk mencegah banyaknya korban manusia yang bermukim di atas bumi. 

Sains adalah produk manusia yang harus diakui, begitu penting sampai-sampai bagi sebagian orang, berpikir non-saintifik adalah sesuatu yang tidak hanya tidak bertanggung jawab, tapi juga berbahaya. Seperti halnya contoh pawang hujan di atas, mempercayai pawang hujan bisa jadi merupakan kepercayaan yang buruk dan menggantungkan nasib banyak orang pada ketidakjelasan. Ketidakjelasan atau kekaburan inilah yang dihindari oleh sains. Supaya membedakan mana yang sains dan mana yang bukan, mana yang jelas dan mana yang kabur, mana yang mampu memprediksi dan mana yang hanya tebak-tebakan, dibuatlah apa yang dinamakan garis demarkasi, dalam rangka memisahkan mana yang sains dan mana yang "seolah-olah sains" atau "pura-pura sains" yang disebut juga sebagai pseudosains. 

Sains bukanlah temuan yang muncul dari sejak awal mula peradaban manusia. Sebelum manusia punya kemampuan untuk mengujicobakan segala sesuatu lewat eksperimen yang bersifat empirik, apa yang dimaksud sebagai "sains" adalah juga semacam dugaan-dugaan. Misalnya, saat Thales mengatakan bahwa alam semesta mungkin saja terbuat dari air, dari kacamata hari ini, pernyataannya sama sekali tidak saintifik. Namun ditinjau dari masa ia hidup di sekitar lima ratus tahun sebelum masehi, pernyataannya tersebut dinilai "lebih saintifik" ketimbang mereka yang percaya bahwa alam semesta diciptakan oleh dewa. Mengapa demikian? Sesederhana karena air adalah unsur yang bisa kita cerap secara empirik. Pun jika kita ujicobakan, pernyataan Thales tersebut tidak salah-salah amat karena air ternyata mendominasi unsur di bumi ini, termasuk dalam diri manusia. Namun bagaimana Thales mengetahui hal demikian, itulah yang kemudian menjadi permasalahan bagi sains. Kalau Thales hanya menduga-duga, itu bukanlah sains. Tapi kalau Thales telah melakukan ujicoba dan hasilnya tersebut dapat dibuktikan untuk kemudian direplikasi, bisa jadi pernyataannya menjadi lebih bersifat saintifik. 

Itu sebabnya, di masa Yunani Kuno, muncul pembagian antara episteme dan doxa. Episteme adalah pengetahuan sejati, yang muncul dari penalaran yang benar, sementara doxa adalah pernyataan berdasarkan opini (kerap disebut juga berdasarkan kepercayaan umum dan pendapat populer). Episteme dalam pandangan Aristoteles menjadi landasan bagi cara berpikir saintifik. Dalam Posterior Analytics, ia menuliskan bagaimana episteme berarti kita mengetahui suatu sebab yang menjadi akibat, yang tidak bisa tidak, bahwa memang sebab itulah yang menjadi akibat dan tidak mungkin yang lainnya. Dalam istilah lain, apa yang dimaksud sebagai kriteria saintifik di masa Yunani Kuno berdasarkan pandangan Aristoteles adalah infalibilitas atau tidak mungkin keliru. Jika saya melempar batu pada seseorang dan ia kesakitan, maka batu itulah yang menjadi penyebab seseorang itu kesakitan dan pengetahuan ini tidak mungkin keliru. Berdasarkan pemisahan episteme dan doxa tersebut, terjadilah garis demarkasi mula-mula dalam sejarah sains, untuk memisahkan mana yang sains dan mana yang pseudosains (meski bisa jadi istilah demikian belum ada). 

Pandangan Aristoteles tentang infalibilitas memang terlihat kokoh, tetapi mendapat tantangan dari para astronom seperti misalnya Ptolemy yang mencoba memprediksi gerak benda-benda langit. Bagaimana hal demikian bisa dibuktikan? Tidakkah para astronom ini juga hanya menduga-duga saja? Meski dugaan astronom itu juga didasari atas perhitungan tertentu, tetapi tetap saja tidak bisa dikatakan bahwa dugaan mereka "tidak dapat keliru" jika didasarkan pada prinsip infalibilitas. Jika salah benarnya tidak dapat benar-benar dibuktikan, lantas, apa bedanya astronomi dengan doxa? Dalam perkembangan berikutnya, apa yang sains dan apa yang pseudosains juga tidak sedemikian mudah untuk dipisahkan secara tegas. Mulai abad ke-19 misalnya, apa yang disebut sains ditunjukkan lewat metode pembuktiannya (bukan hasilnya yang tidak dapat keliru). Lalu di abad ke-20, muncul gagasan tentang kriteria sains sebagai pernyataan yang bisa diverifikasi (Lingkaran Wina) dan kriteria sains sebagai pernyataan yang bisa difalsifikasi (Karl Popper). 

Dengan berbagai kriteria saintifik yang ternyata berubah-ubah dalam sejarah, apakah kriteria demarkasi yang memisahkan sains dengan pseudosains juga menjadi bermasalah? Tentu saja! Katakanlah kita golongkan akupuntur sebagai pseudosains. Namun agak gegabah juga jika kita katakan bahwa praktisinya tidak memiliki metode (jika metode menjadi acuan kriteria demarkasi). Titik-titik dalam akupuntur mungkin tidak bisa dibuktikan secara empirik, tetapi bisa jadi dapat diandalkan bahwa titik A mengacu pada efek di bagian B dan itu bisa diulang-ulang sehingga memenuhi prinsip infalibilitas. Dengan demikian, dalam tulisannya yang berjudul Demise of Demarcation Problem (1983), Larry Laudan menolak pembagian sains dan pseudosains, untuk kemudian menawarkan pemisahan antara "dapat diandalkan" dan "tidak dapat diandalkan". Bahkan lebih jauh ia mengklaim bahwa pemisahan sains dan pseudosains lebih pada alasan di luar sains ketimbang unsur intrinsik dari sains itu sendiri (metode, pembuktian, dan sebagainya). Laudan menyebutnya sebagai "machine de guerre" atau mesin penghancur yang berasal dari mereka yang merasa berhak menentukan mana yang sains dan mana yang bukan. 

Oke sekarang saya akan masuk pada pendapat pribadi terkait pseudosains. Bahwa memang ada pseudosains yang benar-benar pseudo, itu adalah hal yang tidak bisa ditampik. Laudan juga terlalu mensimplifikasi bahwa problem demarkasi adalah hanya perkara "machine de guerre". Pseudosains benar-benar ada dan kebenarannya bukan hanya dimanipulasi, tapi juga dimanfaatkan sekelompok orang untuk mendapatkan keuntungan tertentu yang bisa saja mengorbankan nyawa orang lain. Intinya, pseudosains yang tipu-tipu itu benar-benar terjadi. 

Namun di sisi lain, saya juga merasa bahwa pembedaan sains dan pseudosains ini juga seringkali gegabah dalam artian, mengabaikan bahwa memang benar-benar ada orang yang memiliki pengetahuan khusus lewat serangkaian latihan yang juga khusus. Singkatnya, penganut sains atau katakanlah, "Barat", agak terlalu malas untuk memahami hal-hal demikian. Mereka ingin agar sains adalah sesuatu yang bisa dipraktikkan semua orang, bahkan orang bodoh sekalipun. Padahal misalnya dalam tradisi "Timur", terdapat "orang pintar" yang memang pengetahuannya di atas rata-rata orang pada umumnya, dan dia punya keahlian khusus yang tidak bisa dipelajari oleh sembarang orang. Orang bodoh jelas tidak bisa melakukan hal yang sama dengan "orang pintar", sama halnya dengan saintis "Barat" yang tentu punya kualifikasi khusus yang membuat ia tidak bisa disamai orang pada umumnya. 

Kita tidak bicara pawang hujan karena saya pun mengakui profesi demikian sepertinya problematik (banyak yang mengaku-aku dan susah sekali membedakan mana yang asli dan mana yang palsu). Kita juga tidak bicara astrologi atau pakar tarot yang meski dalam beberapa hal ada benarnya, tetapi kadang sifatnya sangat sugestif. Kita membicarakan sejumlah "pseudosains" yang hanya menjadi "pseudosains" karena mereka sebenarnya memiliki kriteria saintifik yang ketat, tetapi tidak dalam pengertian yang sama dengan yang dipunyai "Barat". "Pseudosains" semacam ini punya prinsip infalibilitas yang menunjuk "itu" sebagi penyebab utama sebuah akibat (misalnya, keseimbangan dalam tubuh manusia), punya juga metode yang bisa diterapkan dan direplikasi demi menghasilkan hasil yang kurang lebih sama, serta yang terpenting: dapat diandalkan. 

Apa saja "pseudosains" yang termasuk ke golongan itu? Nah, saya tidak sanggup menyebutkannya secara rinci karena saya pribadi tidak berpraktik di wilayah tersebut. Namun meski ungkapan saya juga berbau "klenik", saya tetap bertahan dengan pendapat bahwa, "Masa sih, segala klaim yang kita tidak dapat pahami kemudian bisa dituding sebagai sains palsu?" Kita sebut saja contoh dari bagaimana Ibnu Sina merumuskan empat unsur kosmologi yakni air, tanah, udara, dan api sebagai fondasi kesehatan medis dalam The Canon of Medicine. Dalam kacamata kedokteran hari ini, mungkin hal demikian lebih terdengar seperti pseudosains ketimbang sains sejati. Tapi pertanyaannya dibalik: apakah dunia kedokteran "Barat" bisa diandalkan untuk menyembuhkan penyakit jika hanya mengacu pada hal-hal yang material? Atau jangan-jangan yang disembuhkan cuma gejalanya saja dan tidak benar-benar masuk ke wilayah yang justru lebih kompleks sekaligus holistik. Artinya, jangan-jangan bukannya Ibnu Sina itu "keliru" karena menghadirkan pernyataan yang mengawang-awang, tetapi karena daya eksplanasinya terdengar sukar bagi sebagian orang yang "tidak tertarik ke arah sana". Ibnu Sina bisa jadi, hanya "kurang material" dalam memberikan penjelasan. 

Artinya, demarkasi "dapat diandalkan" atau "tidak dapat diandalkan" sebagaimana usulan Laudan, juga dapat didukung oleh "daya eksplanasi kuat" dan "daya eksplanasi lemah". "Daya eksplanasi kuat" ini adalah yang dimaksud sebagai sains sebagaimana kita pahami dianut oleh "Barat" dengan sejumlah penjelasan yang mengarah pada eksplanasi material sehingga "orang bodoh pun dapat memahaminya". Di sisi lain, terdapat "daya eksplanasi lemah" yang memerlukan pra-pemahaman ekstra untuk dapat menangkapnya. Hal tersebut sebenarnya bukanlah semata-mata milik "pseudosains", tetapi sebagaimana telah disinggung, "sains" pun punya cara tersendiri untuk membatasi daya eksplanasinya hanya pada mereka yang paham. Itu sebabnya, istilah-istilah teknis yang khusus tetap diproduksi (meski dalam beberapa hal bisa diturunkan menjadi bahasa sehari-hari). Nah, pada "daya eksplanasi lemah" ini, memang terjadi beberapa kemungkinan, bisa juga dianggap lemah karena subjek (yang menerima pernyataan) belum mampu memahaminya, bisa juga dianggap lemah karena subjek "ditipu" oleh retorika yang dibuat-buat. Dalam arti kata lain, subjek tidak dapat menjadi "orang bodoh" yang menunggu disuapi produsen pernyataan saintifik, ia juga mesti secara aktif mencoba memahami supaya bisa membedakan daya eksplanasi dan juga keandalan.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1