Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
“There is more wisdom in your body than in your deepest philosophy.” (Nietzsche)
Pernahkah kita, yang berpendidikan tinggi, menuduh secara tak berdasar bahwa tukang becak tidak punya pengetahuan sedikitpun tentang filsafat Kant? Pernahkah kita, anak muda penuh gelora yang segala wawasan adalah bagai anggur kebenaran, menuduh ibu kita tak punya pemahaman tentang filsafat Sartre, apalagi Hegel? Pernahkah kita, melihat tukang martabak manis dan menganggap konyol bahwa dia punya secuil pengetahuan tentang filsafat Plato? Bahkan kalau ia ditanya tentang Plato, mungkin akan bertanya balik: keju merk baru ya?
Saya pernah, dan barangkali masih, menganggap ibu saya terutama, tidak punya pengetahuan apapun tentang filsafat. Beliau berpikiran common, hanya ingin anaknya soleh, berhasil, selamat, sukses, dan berbakti. Tidak ada mungkin suatu pikiran bahwa anaknya harus jadi seorang yang misalnya: Mengguncang urat nadi metafisika Jerman. Setiap saya tidak setuju dengan ibu, saya kerap mendebat dan saya selalu memenangkannya oleh sebab perpustakaan logika saya lebih unggul.
Namun pada perkembangannya, saya merenungkan banyak hal soal pengetahuan filsafat setiap orang. Apakah betul dengan apa yang digembar-gemborkan oleh Barat, bahwa citra filsuf adalah yang misalnya, berpikir kritis, sistematis, radikal, lantas sanggup berpikir ontologis, epistemologis, dan aksiologis? Saya punya orang yang bekerja di rumah, namanya Yampan. Perawakannya jauh dari stereotip akademisi ataupun filsuf. Tapi gerak geriknya sungguh mengagumkan. Sederhana saja saya menilai ini, bahwa kenyataan ia tidak pernah mengeluh, tidak pernah ingin terlihat pintar, dan selalu berbuat hal manis semisal menelpon istrinya di rumah hanya untuk mendengarkan anak bayinya menangis. Pertanyaan saya agak tragis:
Maka itu saya mengakui bahwa ibu barangkali tidak punya pengetahuan tentang runutan sejarah filsafat Barat, tapi beliau tidak perlu itu untuk bertindak bijaksana, bertindak sesuai dengan definisi filsafat itu sendiri: cinta kebijaksanaan. Bahwa anak yang soleh dan berbakti, adalah tampak seperti sebuah tujuan sederhana, namun itulah sesungguhnya buah dari keluhuran budi dan kejernihan batin yang tidak sedikitpun datang melalui pikiran yang bertele-tele. Ibu adalah intuitive philosopher.
Jika kita menganggap bahwa filsafat hanya sebatas kegiatan olah nalar yang terpisah, maka bisa jadi tiada satupun kebijaksanaan yang bisa kita ambil dari tukang becak, tukang martabak, atau Yampan sekalipun. Filsafat menjadi suatu wilayah yang asing dari kehidupan manusia dan hanya berisikan pernyataan kosong seperti "dualisme Cartesian", "benda dalam dirinya sendiri", atau "dunia yang dilipat".
Saya menerawang ke masa-masa kehidupan pernikahan saya nantinya. Ketika saya sibuk memikirkan apa yang seharusnya dilakukan umat manusia, istri saya dengan tenangnya mengingatkan, "Jangan lupa kembalikan pulpen ke tempatnya lagi."
Saya pernah, dan barangkali masih, menganggap ibu saya terutama, tidak punya pengetahuan apapun tentang filsafat. Beliau berpikiran common, hanya ingin anaknya soleh, berhasil, selamat, sukses, dan berbakti. Tidak ada mungkin suatu pikiran bahwa anaknya harus jadi seorang yang misalnya: Mengguncang urat nadi metafisika Jerman. Setiap saya tidak setuju dengan ibu, saya kerap mendebat dan saya selalu memenangkannya oleh sebab perpustakaan logika saya lebih unggul.
Namun pada perkembangannya, saya merenungkan banyak hal soal pengetahuan filsafat setiap orang. Apakah betul dengan apa yang digembar-gemborkan oleh Barat, bahwa citra filsuf adalah yang misalnya, berpikir kritis, sistematis, radikal, lantas sanggup berpikir ontologis, epistemologis, dan aksiologis? Saya punya orang yang bekerja di rumah, namanya Yampan. Perawakannya jauh dari stereotip akademisi ataupun filsuf. Tapi gerak geriknya sungguh mengagumkan. Sederhana saja saya menilai ini, bahwa kenyataan ia tidak pernah mengeluh, tidak pernah ingin terlihat pintar, dan selalu berbuat hal manis semisal menelpon istrinya di rumah hanya untuk mendengarkan anak bayinya menangis. Pertanyaan saya agak tragis:
- Apakah dengan ia tidak pernah membicarakan Kant dan kawan-kawan, lantas ia bukan filsuf?
- Bukankah filsuf itu memikirkan sesuatu tentang kehidupan agar kehidupan ini menerima manfaat darinya?
- Lantas jika seseorang sudah memberikan suatu manfaat bagi kehidupan tanpa memikirkannya, ia bukan filsuf?
Maka itu saya mengakui bahwa ibu barangkali tidak punya pengetahuan tentang runutan sejarah filsafat Barat, tapi beliau tidak perlu itu untuk bertindak bijaksana, bertindak sesuai dengan definisi filsafat itu sendiri: cinta kebijaksanaan. Bahwa anak yang soleh dan berbakti, adalah tampak seperti sebuah tujuan sederhana, namun itulah sesungguhnya buah dari keluhuran budi dan kejernihan batin yang tidak sedikitpun datang melalui pikiran yang bertele-tele. Ibu adalah intuitive philosopher.
Jika kita menganggap bahwa filsafat hanya sebatas kegiatan olah nalar yang terpisah, maka bisa jadi tiada satupun kebijaksanaan yang bisa kita ambil dari tukang becak, tukang martabak, atau Yampan sekalipun. Filsafat menjadi suatu wilayah yang asing dari kehidupan manusia dan hanya berisikan pernyataan kosong seperti "dualisme Cartesian", "benda dalam dirinya sendiri", atau "dunia yang dilipat".
Saya menerawang ke masa-masa kehidupan pernikahan saya nantinya. Ketika saya sibuk memikirkan apa yang seharusnya dilakukan umat manusia, istri saya dengan tenangnya mengingatkan, "Jangan lupa kembalikan pulpen ke tempatnya lagi."
Comments
Post a Comment