Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2023

Seperti Hewan, Seperti Mesin

Ilustrasi dihasilkan oleh AI Ada macam-macam pengandaian untuk manusia tertentu yang dianggap tak-lagi-seperti-manusia. Dalam sebuah pertarungan UFC (contoh ini dipilih karena saya sering menontonnya di Youtube), misalnya, seorang petarung yang begitu ganas dalam melancarkan pukulan dan bantingan bisa diibaratkan oleh komentator "seperti hewan". Mungkin karena petarung tersebut begitu "kehilangan akal", memanfaatkan hanya nalurinya untuk menerkam, memanfaatkan seluruh tubuhnya untuk menghabisi mangsa.  Ada juga perandaian lain yang non-manusia, yaitu mesin. Menyebut manusia sebagai mesin sama-sama memperlihatkan "kehilangan akal", tetapi lebih menunjuk pada suatu gerakan otomat, kadang repetitif, yang kelihatannya bisa dilakukan berulang-ulang tanpa mengenal rasa lelah. Mungkin bisa dibayangkan pada Cristiano Ronaldo muda yang larinya begitu kencang atau petinju yang bisa menghujamkan pukulan terus menerus seolah-olah dia diprogram demikian.  Tubuh adalah ...

Jalan Naluri Nan Sunyi Uly Siregar

Saya agak heran saat bisa menamatkan Nyanyi Sunyi (Cantrik Pustaka, 2023) karya Uly Siregar dalam sekali duduk. Cara berceritanya begitu mengalir, pemilihan katanya lincah, dan topik-topiknya menggoda. Jujur, tadinya saya tidak berharap banyak pada tulisan-tulisan berisi kisah pribadi. Dalam bayangan saya, itu kan catatan personal , mungkin berharga untuk si penulis sendiri, tapi mungkin kurang relevan bagi orang lain. Namun pikiran tersebut terbantahkan oleh perjalanan menulis saya sendiri. Saya menerjemahkan biografi Jacques Derrida (Puruá¹£a, 2022). Pada teks yang ditulis oleh Benoît Peeters tersebut, apa yang dipikirkan Derrida tidaklah seberapa menjadi titik berat. Hal yang lebih ditekankan adalah pergulatannya dengan masalah mental, perjumpaan pertamanya dengan calon istri di masa depan, Marguerite Aucotourier; kegalauannya saat dipanggil untuk wajib militer, hingga perjalanannya ke Amerika Serikat dengan kapal laut.  Poin berharga dari sebuah catatan personal justru bukan per...

Sasaran

Tidak berapa lama setelah saya mengetikkan kata "makanan kucing" di pesan WhatsApp untuk istri, di YouTube tiba-tiba muncul iklan Whiskas. Tidak berapa lama saya membicarakan soal pizza bersama teman lewat WhatsApp, di YouTube muncul juga iklan pizza. Di kendaraan saat mendengarkan Spotify, sedang asyik-asyiknya mendengarkan albumnya Michael Franks, iklan selalu menyela, yang mengarahkan kita pada playlist atau siaran lain (maklum, bukan premium). Saya tidak tahu, tapi pastilah dunia algoritma ini sudah canggih, mereka sudah mencatat tempat-tempat yang sering saya kunjungi di GMaps sehingga iklan-iklannya pun pasti menyesuaikan. Iya, iklan kopi.  Hampir setiap saat kita dibombardir iklan. Iklan-iklan tersebut tidak lagi seperti era media massa yang tembakannya membabibuta seperti machine gun . Iklan-iklan hari ini menembakkan sasarannya seperti sniper. Mengeceng dengan hati-hati, tapi tembakannya diusahakan langsung sekali mati. Lucunya, kita bukan benar-benar dicari oleh sni...

Demokrasi

Sebagai persiapan dalam mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Salihara, saya menjadi baca-baca pemikiran Jacques Rancière. Karena agak tergesa-gesa, saya tidak bisa dikatakan tuntas dalam membaca pemikiran Rancière (bukunya juga cukup banyak), tetapi setidaknya dalam tulisan ini saya mencoba untuk menuangkan apa yang saya dapatkan dari pembacaan yang seadanya itu.  Selama ini, pemikiran saya tentang demokrasi banyak dipengaruhi oleh Rousseau dan sedikit tentang Habermas. Dalam pandangan Rousseau, demokrasi adalah perkara kehendak umum ( general will ) yang dibentuk dalam suatu kesepahaman kolektif. Rousseau menganggap mereka yang punya kepentingan berbeda secara individu sebagai orang yang tercemar oleh peradaban modern yang mengunggulkan cinta-diri secara berlebihan. Artinya, peradaban modern adalah katalisator bagi sifat-sifat mau menang sendiri yang membuat kehendak umum menjadi rusak dan gagal mencapai tujuannya (untuk menjadi maslahat bagi kepentingan bersama).  Bagaiman...

Public Relation

Waktu saya dikontak Pak Bambang Sugiharto untuk mengajar di Fakultas Filsafat UNPAR empat tahun lalu, saya tidak diberi mata kuliah yang katakanlah, "khas filsafat". Saya diminta untuk mengajar mata kuliah Public Relation , yang mungkin lebih sesuai dengan gelar S2 saya di bidang ilmu komunikasi. Keberadaan mata kuliah tersebut di FF memang agak aneh. Namun saya tidak banyak bertanya-tanya karena kira-kira tahu maksudnya, yakni supaya anak-anak filsafat lebih gaul, bisa berkomunikasi lebih luas, dan tidak terjebak dalam menara gading.  Kaprodi FF, Pak Djunatan, ternyata juga tidak banyak memberi rambu-rambu atau arahan bagi materi kelas ini. Sepertinya dibebaskan saja, yang penting luarannya "jelas". Waktu itu murid di kelas hanya ada empat, yang mana salah satunya adalah Nino, yang kelak menjadi mitra pendiri Kelas Isolasi. Saya juga sebenarnya bingung apa yang harus diajarkan. Terkadang saya mengacu pada public relation sebagai sebuah profesi, terkadang saya memb...