Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Saya agak heran saat bisa menamatkan Nyanyi Sunyi (Cantrik Pustaka, 2023) karya Uly Siregar dalam sekali duduk. Cara berceritanya begitu mengalir, pemilihan katanya lincah, dan topik-topiknya menggoda. Jujur, tadinya saya tidak berharap banyak pada tulisan-tulisan berisi kisah pribadi. Dalam bayangan saya, itu kan catatan personal , mungkin berharga untuk si penulis sendiri, tapi mungkin kurang relevan bagi orang lain. Namun pikiran tersebut terbantahkan oleh perjalanan menulis saya sendiri. Saya menerjemahkan biografi Jacques Derrida (Puruṣa, 2022). Pada teks yang ditulis oleh Benoît Peeters tersebut, apa yang dipikirkan Derrida tidaklah seberapa menjadi titik berat. Hal yang lebih ditekankan adalah pergulatannya dengan masalah mental, perjumpaan pertamanya dengan calon istri di masa depan, Marguerite Aucotourier; kegalauannya saat dipanggil untuk wajib militer, hingga perjalanannya ke Amerika Serikat dengan kapal laut. Poin berharga dari sebuah catatan personal justru bukan perkara