Jalan beberapa hari jaga, saya mulai bosan. Rasanya berat sekali menunggui dagangan yang pembelinya terhitung sedikit. Lebih menderita lagi jika melihat barang dagangan sebelah lebih ramai dibeli. Hal yang menjadi hiburan adalah menulis terus menerus, supaya tidak terlihat bengong. Supaya tidak mati gaya. Beberapa hari yang lalu, pas hari awal-awal saya mulai jaga, tiba-tiba saya punya keberanian untuk posting foto di Instagram. Setelah itu mulai merambah ke Facebook, lalu mulai semangat untuk posting sejumlah story di Instagram, mulai dari tentang jalannya kasus sejauh ini sampai kegiatan sehari-hari. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saya mem-posting story tentang tulisan-tulisan yang diturunkan dari berbagai website. Saya menuliskan, "Siapa yang mau tulisan saya? Gratis, akan saya kirimkan via e-mail". Ternyata banyak juga yang menginginkan tulisan-tulisan itu, ada lebih dari 90 orang. Kemudian saya terpikir untuk membuat grup lagi, bersama orang-orang yang bisa di
Beberapa minggu lalu, saya memoderatori sebuah diskusi di UPI dengan Guru Gembul sebagai salah satu pembicaranya. Dalam forum tersebut, Guru Gembul mengritik guru di Indonesia sebagai kurang kompeten. Saya agak kurang ingat persisnya kritik tersebut seperti apa, yang pasti besok atau lusanya viral dimana-mana dan menimbulkan kemarahan sejumlah guru sampai-sampai Guru Gembul disomasi. Selang beberapa hari kemudian, diadakan semacam diskusi (lebih tepatnya debat) antara Guru Gembul dan empat orang lain yang kelihatannya semuanya adalah guru-guru. Diskusi ini dapat ditonton via YouTube. Sebelum mengomentari muatan debatnya, saya terlebih dahulu mengritik posisi duduknya yang begitu buruk. Dalam debat, tidak mungkin orang didudukkan secara sejajar dan berdekatan. Edward T. Hall sudah lama memikirkan ini, bahwa jarak fisik dan komunikasi adalah saling berkaitan. Tidak mungkin kita bisa berjarak sangat intim dengan orang yang kita benci. Sebaliknya, pada orang yang kita rindukan, kita tidak