Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2023

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Tentang Guru

Beberapa minggu lalu, saya memoderatori sebuah diskusi di UPI dengan Guru Gembul sebagai salah satu pembicaranya. Dalam forum tersebut, Guru Gembul mengritik guru di Indonesia sebagai kurang kompeten. Saya agak kurang ingat persisnya kritik tersebut seperti apa, yang pasti besok atau lusanya viral dimana-mana dan menimbulkan kemarahan sejumlah guru sampai-sampai Guru Gembul disomasi. Selang beberapa hari kemudian, diadakan semacam diskusi (lebih tepatnya debat) antara Guru Gembul dan empat orang lain yang kelihatannya semuanya adalah guru-guru. Diskusi ini dapat ditonton via YouTube.  Sebelum mengomentari muatan debatnya, saya terlebih dahulu mengritik posisi duduknya yang begitu buruk. Dalam debat, tidak mungkin orang didudukkan secara sejajar dan berdekatan. Edward T. Hall sudah lama memikirkan ini, bahwa jarak fisik dan komunikasi adalah saling berkaitan. Tidak mungkin kita bisa berjarak sangat intim dengan orang yang kita benci. Sebaliknya, pada orang yang kita rindukan, kita tidak

Pertaruhan

Apakah Heidegger tahu bahwa Nazi nantinya akan melakukan kejahatan kemanusiaan? Apakah Sartre tahu bahwa Uni Soviet ujung-ujungnya akan bubar? Apakah Cioran tahu bahwa gerakan yang ia bela, Garda de Fier , membantai orang-orang Yahudi dalam perebutan kekuasaan? Bukan maksudnya memaklumi langkah-langkah mereka, tapi apakah mereka sudah tahu sejak awal bahwa pilihannya tersebut adalah pilihan historis yang keliru?  Dosa-dosa mereka akan terus diingat dalam sejarah. Heidegger terbilang "beruntung" karena pemikirannya terlalu canggih sehingga sebagian orang tetap mempelajarinya. Mereka tahu bahwa Heidegger berdosa, tetapi memilih untuk memisahkan pemikirannya dari aktivitas politiknya. Bukan maksud membenarkan Heidegger, tetapi mumpung menjelang tahun politik, kita akan lebih mudah membayangkan hal ini: mungkin kita sedang dihadapkan pada pilihan presiden, caleg, dan partai untuk berkuasa di pemerintahan. Beberapa dari kita tidak cuma memberikan dukungan dari luar, tapi ada juga

Reuni

Beberapa waktu lalu, di grup WA sekolah saya dulu (entah SMP entah SMA atau bisa jadi keduanya), muncul ajakan untuk reuni. Tentu saja saya tidak tertarik menghadirinya. Dan ternyata benar, dari foto pasca reuni, yang datang ya itu lagi-itu lagi: mereka yang mungkin tidak kesulitan untuk memasuki ring pergaulan mainstream pada masa sekolah. Namun kita tahu tidak semua orang bisa seperti itu. Ada orang-orang yang sepanjang sekolah begitu tertutup sehingga sukar sekali bergaul. Bahkan beberapa diantaranya menjadi korban perundungan. Bagi mereka, reuni yang sifatnya besar-besaran bisa jadi merupakan mimpi buruk, semacam panggilan atas kenangan lama yang tidak mau diingat-ingat lagi.  Tentu saja orang-orang tereksklusi ini bisa jadi melakukan reuni, tetapi antar mereka sendiri. Bagi mereka yang melabeli diri sebagai outcast atau "orang-orang buangan", undangan "reuni akbar" bisa jadi tidak pernah terdengar benar-benar "akbar", karena yang terjadi adalah &quo

Siklus

Begitulah manusia. Di usia muda saat sedang kuat-kuatnya, mereka sibuk mencari uang, menumpuk kekayaan, sampai sadar bahwa waktunya tinggal sebentar. Di saat kepala empat, saat tenaga perlahan-lahan menuju penurunan, mulailah mereka memikirkan apa yang disebut sebagai warisan. Mereka tahu bahwa mereka akan lenyap, maka itu harus ada sesuatu yang ditinggalkan bagi dunia. Mereka yang memiliki anak dalam arti tertentu sudah punya sasaran tetap pada siapa warisan tersebut ditinggalkan.  Namun terlepas punya anak atau tidak, seseorang biasanya berpikir keras tentang apa yang seharusnya ditinggalkan bagi dunia. Di situlah uang yang telah dikumpulkannya mulai dibelanjakan sedikit demi sedikit, untuk apa yang dibayangkan sebagai " legacy ". Seseorang tidak lagi melulu menikmati kegiatan menerima, melainkan mulai memperbanyak kegiatan memberi. Tentu dasarnya bukan selalu kemuliaan dan kebaikan hati, tapi juga perasaan bersalah, perasaan ingin menebus segala kerakusan masa mudanya dan

Sesuatu di Yogya

Pada tanggal 30 Mei lalu, saya berangkat ke Yogya untuk memenuhi ajakan penerbit Edisi Mori. Ajakan tersebut adalah berupa bedah buku karya Muhammad al-Fayyadl berjudul Derridean. Perjalanan ini begitu istimewa karena forum ini diisi oleh, selain Gus Fayyadl tentunya, Martin Suryajaya dan Hizkia Yosie Polimpung. Ketiga pembicara tersebut adalah pembicara top yang mungkin terbaik di generasinya. Saya senang bisa "nyempil" di tengah-tengah mereka, meski sadar bahwa saya tidak bisa dikatakan pantas karena baik Gus Fayyadl, Bung Martin, dan Bung Yosie, ketiganya sudah jauh lebih lama menekuni filsafat dan bergulat dalam perdebatan-perdebatannya. Mungkin di masa-masa saya masih menekuni musik dan sepakbola, mereka sudah duluan berkutat dengan teks-teks filsafat yang rumit-rumit.  Acara yang diadakan di Langgeng Art Foundation tersebut berjalan lancar dengan jumlah peserta yang banyak, terutama jika dibandingkan dengan umumnya peserta diskusi di Bandung. Mungkin ada seratusan orang