Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Purifikasi

 
Manusia pada dasarnya punya sifat malas. Itu sebabnya dianugerahi kita cara berpikir generalisasi. Kant mengatakan sudah fitrahnya manusia berpikir secara generalisasi. "Jika batu dijatuhkan dua kali dan ia memang jatuh ke bumi, maka sudah pasti manusia akan berpikir bahwa demikian halnya yang ketiga kalinya," begitu kira-kira ujarnya. Cara berpikir semacam ini berlanjut pula ke bagaimana ia memahami lingkungan sosialnya. Tidak banyak manusia yang mau dengan sungguh-sungguh menelaah individu per individu untuk mengetahui kedalamannya. Rata-rata mereka mengambil satu dua sampel saja untuk dijadikan apa yang disebut: stereotip. Ketika misalnya saya pernah mendapati orang Arab yang ramah, saya akan katakan: orang Arab ramah-ramah. Sebaliknya ketika ada orang Arab yang jahil, saya akan bilang: orang Arab jahil-jahil. Begitu pemalasnya saya untuk mengatakan: Ada orang Arab yang jahil, ada orang Arab yang ramah. Rupanya kalimat semacam itu terlalu abu-abu untuk diceritakan pada orang lain -kurang bombastis, kurang bernilai pengetahuan-.

Kita akan mengetahui bahwa kemalasan memahami lingkungan sosial tersebut -jika kebetulan lingkungan sosialnya ditinggali berbagai macam ras- membawa kepada rasisme. Rasisme jelas merupakan suatu kemalasan berpikir seperti Atticus Finch dalam novel To Kill a Mockingbird, "Kita tidak akan pernah paham seseorang sebelum kamu berdiri dari sudut pandangnya." Malcolm X misalnya, pejuang kulit hitam di Amerika Serikat, pernah punya masa dalam hidupnya ketika ia begitu rasis -membalas perlakuan orang kulit putih yang rasis kepada mereka-. Ia memperjuangkan black supremacy dan melakukan stereotip bahwa semua orang kulit putih, dimanapun, adalah iblis. "Pernahkah kalian lihat orang kulit putih yang baik?" begitu tanyanya pada setiap wartawan yang ditemuinya. Ia kemudian bersikap purifikatif secara politis: Malcolm X ingin pemisahan total antara kulit hitam dan kulit putih. Ia justru berkebalikan dengan rata-rata aktivis kulit hitam yang ingin memperjuangkan kesamaan hak-hak dengan orang kulit putih.

Upaya purifikasi seringkali terbentur suatu dilema. Misalnya begini, apakah betul kita bisa melepaskan diri dari pengaruh ras yang kita lawan? Apakah misalnya, perlawanan itu sendiri, seringkali menggunakan elemen-elemen dari ras yang berseberangan sebagai senjatanya? Misalnya di twitter ada akun yang cukup terkenal dengan purifikasi islam (islam bukan sejenis ras tentunya, tapi kita bisa ambil ini sebagai analogi dari purifikasi) bernama @hafidz_ary. Ia terus-terusan berkata Islam adalah eksklusif, Islam adalah agama yang paling benar dan silakan komparasikan kebenarannya dengan agama lain. Ia persis seperti Malcolm X ketika masih aktif di Nation of Islam membela guru spiritualnya, Elijah Muhammad. @hafidz_ary dan Malcolm X sama-sama disayang oleh sebangsanya tapi dianggap oleh di luarnya sebagai sumber hate speech. Mereka disayang oleh sebangsanya karena menawarkan purifikasi. Namun upaya purifikasi itu "ditertawakan" karena menggunakan medium-medium dari lawan-lawannya. @hafidz_ary menggunakan twitter yang notabene merupakan produk dari Barat yang ia jelek-jelekkan peradabannya. Malcolm X? Pertama, secara personal, ia berpakaian seperti orang kulit putih. Lalu ia juga menggunakan media cetak orang-orang kulit putih untuk memperkuat corong aspirasinya. 

Artinya, isu purifikasi adalah juga isu kekuasaan. Kita sering mendapat mereka-mereka yang hendak melepaskan diri dari kekuasaan sebelumnya, terbentur pada dilema ideologis apakah mereka harus "berdamai" dengan lawan untuk mencapai tujuannya, atau berseberangan sepenuhnya dengan lawan tersebut dalam segala hal? Apakah orang-orang muslim yang ingin membangun negara Khilafah sebagai upaya purifikasi agama, harus melalui jalur demokrasi yang ia benci, atau justru melawan dengan sistemnya sendiri? Maka itu isu purifikasi juga adalah isu utopis. Kita selalu membayangkan apa yang pure itu sebagai hal yang ilusif saja. Misalnya, "Islam murni" adalah sekumpulan orang-orang muslim yang berkumpul mengenakan pakaian Arab dan berbicara bahasa Arab dan shalat bersama-sama sehari lima kali ke masjid. Apakah betul itu yang murni? Bahkan kita bisa curigai orang-orang muslim di Arab sana pun berkutat dengan apa yang dimaksudkan dengan kemurnian. 

Apa yang murni selalu punya masalah: Apakah murni secara esensi dikatakan sebagai murni seutuhnya, atau murni harus pula secara eksistensi? Apakah seseorang yang berjanggut sudah dikatakan murni mengacu pada syari'at Islam karena secara eksistensi fisik ia menyerupai, atau sesungguhnya janggut itu adalah simbol dari kebijaksanaan maka itu tidak perlu dipahami secara literal? Apakah seorang yang anti-kulit putih itu lebih bagus jika ia anti semuanya yang berbau kulit putih, atau ia boleh berdamai dengan kulit putih selama itu demi kesejahteraan kulit hitam sendiri? Sejarah peradaban, kata Marx, adalah selalu tentang perjuangan kelas. Namun mari menambahkan bahwa sejarah peradaban adalah juga tentang perjuangan mencari kemurnian.

Comments

  1. Menarik banget kang, sama saya juga selalu mikir kenapa manusia selalu ngejar kemurnian suatu ideologi.. tp jdnya kynya ga akan ada suatu hal yg "murni" di dunia ini, karena bakal selalu ada perlawanan dari pihak yg "berbeda". Jadi kehidupan itu ya dialektika terus (singkatnya sih gt kali ya)

    ReplyDelete
  2. Saya sedikit tambahkan, bahwa pihak-pihak yang mengajukan purigikasi di dalam Islam, generalnya (ini kemalasan berfikir juga hihi) tidak menganggap pemanfaatan terhadapa apapun hasil teknologi sebagai sebuah hal yang cela.

    Karena apa? Karena kaum puritan diluar sana, termasuk saya memiliki pemahaman terhadap ijtihad bahwa semua benda baru bisa dimanfaatkan kecuali benda tersebut terkait sebuah pemahaman religius tertentu diluar Islam Misal, menjadi haram ketika seorang yang mengaku muslim mengenakan salib, menggunakan bintang david sebagai pernak-perniknya.

    Atau, ketika dalam penggunaannya ternyata penggunaan hal tersebut secara tidak langsung terkait dengan eksistensi kaum muslim yang tengah tertindas. Boikot produk-produk perusahaan yang mensupport zionis misalnya, meski barang-barang tersebut halal akan tetapi dalam situasi perang yang halal bisa menjadi haram,

    Hal ini sudah dibahas oleh para mujtahid dengan menarik.

    Nah mengenai purifikasi yang Syarif tuliskan saya juga kurang sreg, karena sepemahaman saya (dan segaul-gaulnya saya di kalangan islam yang disebut garis keras selama ini), purifikasi itu maknanya bukan menggunakan gamis, bersongkok, dsb. tetapi lebih pada meneladani Rasulullah, dan...sahabat, thabiin serta thabiuttabiin (Rasulullah, sahabat yang berguru pada Rasulullah, generasi yang berguru pada para sahabat, generasi yang berguru pada generasi yang berguru pada sahabat) diluar tiga generasi itu tidak menjadi rujukan. Diluar generasi itu berarti tidak bisa dimasukan kedalam pihak yang mempurifikasi dien-nya.

    Itulah mengapa, penafsiran bahasa, penafsiran 'nafsu', penafsiran hermeneutika tidak mendapat tempat di kalangan muslim yang dianggap garis keras. Karena apa? karena tidak memiliki dasar yang bisa dipertanggung jawabkan dalam mengakses jawaban Rasulullah mengenai permasalahan dalam kehidupan.

    Hal itu pun sangat logis, siapapun yang menafsirkan pemikiran seseorang, misal pemikiran Bakunin maka siapakah yang memiliki otoritas lebih?

    1. Orang yang hidup sehari-hari, dan berjuang bersama bakunin sampai akhir hayat
    2. Orang yang hidupnya berada di ruang-ruang kelas, di perpustakaan filsafat, di batu api atau di tobucil atau entah dimana.
    3. Orang yang hidupnya terpaut jauh.

    Hal ini pun banyak terjadi di kalangan pemikir dan penterjemah langkah perjuangannya, tak heran ada banyak penafsiran mengenai ide Marx tapi saya yakin siapapun yang merasa memiliki, memperjuangkan pemikiran tertentu akan memahami 1, 2, 3 point diatas yang saya sampaikan.

    Seperti itulah ide Islam diperjuangkan oleh kalangan yang disebut puritan (ah tapi kalangan puritan ini sebenarnya tidak tepat juga sebab sejarahnya puritan itu dekat dengan kau Luddite)

    Apapun itu, mudah-mudahan Syarif bisa menangkap maksudnya. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1