Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Tentang Sedekah dan Zakat


Ilmu agama saya, terus terang, tidak terlalu bagus. Lebih tepatnya, apa yang saya dapatkan selama ini tentang Islam, berasal dari dogma-dogma dan ajaran yang ditanamkan sejak kecil. Saya tidak pernah belajar agama secara formal atau mendalaminya dengan ilmu yang memadai. Modal saya ya hanya filsafat inilah, yang membuat saya berani mengorek-ngorek secara kritis perihal agama, terutama agama yang saya anut. Selama ini, saya menganggap sedekah adalah sesuatu yang mulia dan memang benar, mulia. Ibu mengajarkan untuk bersedekah sambil berpesan: jangan takut harta berkurang, karena sebaliknya, justru akan bertambah. Jika kita berhenti sampai di sana, tentu segalanya aman dan sentosa, tetapi, sialnya, nalar filsafati ini ingin saja mengejar dan mempertanyakan: apakah benar sesederhana itu? 

Kunci sedekah adalah "seikhlasnya". Setahu saya, tidak ada keharusan untuk memberikan sedekah sebanyak sekian persen dari harta yang dimiliki atau penghasilan rutin. Seikhlasnya berarti ada prasyarat moral di sana: si pemberi harus memberi atas dasar "kebaikan". Dalam sedekah, pemberi diberi pilihan untuk tidak memberi dan itu sah-sah saja, tidak membuatnya menjadi berdosa. Memberi atas dasar "kebaikan", dan bukan "keharusan" ini, bisa menjadi masalah tersendiri bagi keadilan distributif. Misalnya, A mempunyai uang 100 juta, sementara B, C, dan D, memiliki uang 1 juta. Atas dasar "kebaikan" A, maka ia bersedekah sebesar 1 juta pada masing-masing B, C, dan D sehingga uang A tersisa 97 juta sementara B, C, dan D memiliki masing-masing 2 juta. Apakah A merasa "bersalah" dengan ketimpangan ini? Kemungkinan besar tidak, bahkan ia merasa sudah sangat mulia karena bersedekah. 

Persoalan lebih pelik adalah ketika ajaran mengaji tertentu menganggap balasan atas sedekah ini sifatnya kontan dan langsung di dunia. Misalnya, jika kita sedekah 1 juta, maka akan mendapat uang kembali sebesar 10 juta. Jika kita percaya balasan yang semacam itu, maka motif sedekah menjadi semakin menjauh dari keadilan distributif, melainkan untuk kekayaan pribadi yang lebih berlipat. Ia tidak memberi untuk membuat keadaan ekonomi orang lain menjadi lebih "baik", tapi untuk membuat dirinya sendiri lebih kaya. Jadi, bagaimana sedekah itu "seharusnya"? Saya tidak bisa mengatakan yang seharusnya karena persoalan ini bisa jadi berada di area transenden. Namun bagi saya, sedekah itu mungkin mestinya bersifat deontologis. Artinya, kita memberi karena merasa perlu untuk memberi, bukan karena konsekuensi dari memberi: aku memberi karena beriman pada Allah, bukan agar mendapat keuntungan pribadi. Kalaupun setelah memberi ini, misalnya, aku tertimpa musibah, atau menjadi tidak punya uang, maka aku tidak usah protes karena aku memberikan sedekah itu dengan ikhlas (dalam arti tidak berharap kembali dalam bentuk apapun). Sedekah tentu dianjurkan dan tetap keren, baik, tapi hati-hati ilusi yang mengarahkan kita pada sikap rakus (ujung-ujungnya penumpukan harta) dan perlu juga mempertimbangkan dalam kacamata makro: akankah sedekah menyelesaikan persoalan ketimpangan? 

Lantas, bagaimana dengan zakat? Menariknya, zakat tidak hanya punya kalkulasi tersendiri, tapi juga bersifat "memaksa". Ini sebabnya Abu Bakar dan Umar, sahabat Nabi, pernah memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Saya pikir waktu itu: kenapa diperangi? Bukankah "suka-suka" pemilik harta saja mau berbagi atau tidak? Saya sepertinya mengerti: Abu Bakar dan Umar tengah mengusahakan keadilan distributif karena asumsinya, tidak mungkin ada kepemilikan pribadi yang murni atas dasar kerja keras sendiri. Di dalam setiap harta, ada hak orang lain. Dilematisnya, zakat memang mengusahakan keadilan distributif dengan cara memaksa, tapi jumlahnya juga mungkin "tidak terlalu besar". Misalnya, untuk zakat fitrah, angka yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 kilogram dari bahan makanan pokok atau 3,5 liter per jiwa, atau jika dibayar menggunakan uang tunai, maka kira-kira setara dengan 1 sha' gandum, beras atau kurma. 

Jika disederhanakan, mungkin sedekah terkesan "liberal" karena tergantung pada "kebaikan individu", sementara zakat lebih ke arah "sosialis" karena diwajibkan demi terjadinya keadilan distributif (meski angkanya agak "kurang ideal"). Sekurang-kurangnya, meski keadilan distributif, saya percayai, tidak mungkin benar-benar tercapai, tapi setidaknya Islam mengusahakan lewat berbagai jalur, baik berupa kebaikan moral maupun keharusan secara struktural. Pengakuan atas kepemilikan pribadi tetap ada, tetapi berulangkali ditekankan, bahwa pertama, harta tidak dibawa mati dan kedua, tidak ada harta yang murni milik pribadi, selalu ada hak orang lain di dalamnya.Jadi, Islam itu mungkin bukan liberal, bukan juga sosialis. Islam adalah bukan keduanya, tapi juga sekaligus keduanya.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1