Beberapa kali memberi materi tentang filsafat pendidikan, membuat saya semakin bingung tentang bagaimana seharusnya pendidikan itu dilakukan (tipikal belajar filsafat, semakin dipelajari semakin bingung). Awalnya, saya mudah untuk mengatakan bahwa pendidikan yang bersifat perenialistik dan esensialistik itu "berbahaya". Perenialisme, secara sederhana, diartikan sebagai pendidikan yang mengacu pada "teks-teks babon", belajar dari yang lampau, klasik, dan terbukti "abadi" (seperti arti kata "perenial" itu sendiri). Dalam satu kalimat, kita bisa mengartikan perenialisme seperti apa yang dikatakan oleh Isaac Newton: "Standing on the shoulders of giant". Esensialisme kurang lebih mirip, tetapi dalam konteks pengetahuan atau skill tertentu yang dianggap lebih "mendasar", seperti yang dipraktikkan dalam artes liberales di Abad Pertengahan atau mungkin jika diilustrasikan di masa sekarang lebih seperti "MKU". Bedanya, esensialisme lebih pada pengetahuan atau skill yang "babon", sementara perenialisme lebih pada tokoh atau teks, misalnya, menganggap teks-teks Aristoteles, Plato, Freud, hingga Dostoyevsky sebagai sesuatu yang primer untuk dipelajari, sementara teks-teks berikutnya dianggap lebih sekunder. Mengapa "berbahaya"? Gampangnya, karena kita cenderung terpatok pada hal-hal di masa silam yang mungkin sudah kekurangan relevansinya di masa kini. Bagaimana teks Plato menjawab persoalan pencurian data digital? Apakah The Brothers Karamazov-nya Dostoevsky dapat mengerti persoalan algoritma?
Tentu "maksud" dari perenialisme tidak sesimplistik demikian. Bahkan mereka yang menganut filsafat pendidikan lainnya, yang bisa dikatakan berseberangan, seperti progresivisme (contohnya, J.J. Rousseau, John Dewey, atau Rabindranath Tagore), mungkin juga adalah seorang perenialis dan esensialis dalam artian, mereka pembaca-pembaca yang hebat, teoritisi jempolan, yang kemungkinan besar pernah sangat tekun membaca "teks-teks babon". Progresivisme mengandaikan bahwa murid-murid bukanlah "proyek masa lalu", melainkan mesti dihadapkan langsung dengan kondisi tempatnya hidup. Jika dahulu orang belajar berburu hewan atau bercocok tanam untuk bertahan hidup, di masa kini mungkin orang mesti dibekali kemampuan bermedsos agar bisa bertahan hidup. Bagi progresivisme, untuk apa kembali ke cara berpikir masa silam? Murid-murid ini bukan suksesi pemikir sebelumnya, melainkan mesti diajari cara berpikir yang lebih baru, relevan, dan progresif. Pertanyaannya, apakah perenialisme dan esensialisme mesti dipertentangkan dengan progresivisme?
Keadaan menjadi bertambah rumit jika kita tambahkan beberapa gagasan lain seperti pedagogi kritis-nya Paulo Freire yang menolak "pendidikan gaya bank", yaitu gaya pedagogi yang membuat murid-murid hanya dicekoki apa kata guru tanpa bisa benar-benar bersikap kritis dan mempertanyakan. Sekilas, memang perenialisme dapat membuat kita membayangkan "pendidikan gaya bank" karena memang doktrinnya mengharuskan guru menjadi orang yang berwibawa, dihormati, dan menjadi sentral dalam kegiatan belajar - mengajar. Freire mengajak guru untuk menjadi fasilitator, mengajak murid-muridnya untuk mengritisi keadaan sekitarnya, dan tidak terjebak pada pelajaran-pelajaran teoritis yang tidak ada hubungannya dengan lingkungan tempat murid-murid itu hidup. Freire berpendapat: “The reading of the world must precede the reading of the word.” Tentu saja, sebagai seorang Marxis, ia tidak hanya menginginkan pedagogi yang kritis dan relevan, tapi juga mesti berbasis kesadaran kelas. Posisinya jelas, bahwa pendidikan di sini bertujuan membebaskan, terutama dari kungkungan kebodohan yang sifatnya struktural dan bermodus penindasan. Pandangan Freire di sini menarik, karena guru, tidak seperti di aliran perenialisme, esensialisme, ataupun progresivisme, mungkin tidak perlu banyak-banyak memberikan materi, tetapi lebih banyak "memancing", "memprovokasi", membuat murid-murid bertanya dan merenungkan suatu isu. Lagi-lagi saya mengajukan pertanyaan yang sama, apakah perlu pedagogi kritis dipertentangkan dengan aliran lainnya yang seolah berseberangan?
Tentunya, dengan ditambah pandangan dari Noam Chomsky misalnya, yang melihat kelompok intelektual sebagai "kelompok terspesialisasi" yang cenderung memihak rezim (meski diembel-embeli "demokrasi"), konstruktivisme Jean Piaget, yang melihat tahapan perkembangan anak dalam kategorisasi tertentu, pandangan eksistensialisme yang melihat pendidikan sebagai "eksistensi mendahului esensi", atau pemikiran radikal Ivan Illich tentang deschooling society, Rudolf Steiner dengan pendekatan spiritualnya, jadi, bagaimana "semestinya" pendidikan itu? Masing-masing dari para pemikir itu, pada dasarnya, memiliki asumsi tersendiri tentang kodrat manusia dan ke mana mereka mesti diarahkan. Pertanyaan dari para peserta yang belajar filsafat pendidikan ini, awalnya, dapat diprediksi: "Jadi, kita harus memilih yang mana?" Namun lama-kelamaan, saat opsi itu kian banyak dan tak terbendung, hingga mereka mempelajari lebih dari empat atau lima pemikiran, pertanyaan "harusnya bagaimana" itu tidak muncul lagi. Mereka, termasuk juga saya, sadar bahwa belajar filsafat bukanlah tentang memilih yang mana untuk dianut, tapi kebijaksanaan yang muncul dari "tegangan antara keseluruhan yang 'benar'" dan "kemampuan untuk memilih manapun secara sadar dan bertanggungjawab".
Jadi, bagaimana seharusnya pendidikan itu? Bagi saya, bekali mereka dengan "teks-teks babon", karena tulisan-tulisan tersebut terbukti sudah "dibaptis oleh waktu" (kesampingkan terlebih dahulu faktor kolonialisme), perkuat dengan kemampuan dasar a la esensialis seperti logika, retorika (agar mampu menalar dengan tertib dan koheren), bekali kemampuan kritis yang mampu melihat ke balik segala seperti yang diajarkan Freire dan Chomsky, dan lain-lainnya dalam porsi yang berimbang, sehingga murid, siapapun itu, bisa menyetel pandangan tergantung situasi. Bahkan dalam kondisi yang semakin matang, -isme -isme itu tak lagi diperlukan, karena tidakkah pendidikan itu, alih-alih mengarahkan kita menjadi pakar, justru mengarahkan kita untuk menjadi manusia?
Comments
Post a Comment