Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

How to Become a Tyrant (2021): Diktator Bersalin Rupa


Sebenarnya film dokumenter ini sudah agak lama saya tonton, mungkin sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Namun entah kenapa, saya baru terpikir untuk menuliskannya sekarang, dengan ingatan yang agak samar-samar. How to Become a Tyrant (2021) adalah docu-series produksi Netflix yang menceritakan kiprah para diktator yaitu Adolf Hitler, Saddam Hussein, Idi Amin, Joseph Stalin, Muammar Gaddafi, dan dinasti Kim. Dengan masing-masing penayangan antara 25 sampai 30 menit, dokumenter ini sangat informatif dengan narasi yang dibuat agak satir, seolah-olah para diktator tersebut punya semacam buku pedoman sebagai acuan tertulis dalam melanggengkan kekuasaan absolutnya. Bagi saya pribadi, How to Become a Tyrant, yang dinaratori oleh Peter Dinklage, memberikan banyak informasi dan juga renungan. Renungan paling mula-mula tentu bayangan akan kengerian totalitarianisme, yang membuat saya memikirkan segala cara agar para pemimpin fasis tidak pernah naik ke tampuk kepemimpinan lagi, di manapun itu. 

Dalam renungan berikutnya saya tiba-tiba teringat pandangan Jacques Ellul dalam Anarchy and Christianity yang mengatakan bahwa posisi negara adalah selalu "jahat". Kita tidak berbicara lagi individu mana yang naik ke tampuk kekuasaan, tapi bagi Ellul, siapapun itu, pasti akan termakan oleh struktur dan ujung-ujungnya, "sebaik" apapun seseorang, negara akan selalu berhasil mengubahnya. Bahkan Ellul menggunakan aneka argumen dari Alkitab untuk mengukuhkan pendapatnya bahwa Yesus adalah seorang anarkis, yang dari tindak-tanduk serta perkataannya selalu tidak setuju dengan kekuasaan, dalam bentuk apapun. Tuhan-nya Kristen, kata Ellul, bukanlah seperti pemimpin militer yang otoriter mengatur ini itu, tapi lebih persisnya, berperan sebagai pembebas (liberator). Artinya, kekejaman diktator bukanlah perkara moral individual, tetapi posisi negara itu sendiri yang "pasti" menciptakan diktator. Tentu kita bisa mempertanyakannya: kenyataannya, ada pemimpin yang tidak bersikap totaliter, kan? Bagi Ellul, totaliter atau tidak, diktator atau bukan, itu cuma peristilahan saja karena negara akan selalu menggiring siapapun pada sikap-sikap yang "bertentangan dengan kekuasaan Tuhan". Ellul mungkin ada benarnya: kita tidak bisa mengatakan bahwa pada negara yang menganut sistem demokrasi, fasisme tidak benar-benar terjadi. Bahkan fasisme ini bisa diselubungi, bisa dibuat cantik, oleh istilah-istilah seperti "konstitusi" atau "kehendak rakyat" yang sebenarnya lebih kabur. 

Fasisme adalah buruk. Itu jelas. Kita tidak mau berada di bawah bayang-bayang kekuasaan yang membelenggu karena sudah seyogianya, manusia, sekurang-kurangnya, berada dalam kondisi "bebas dari" (negative liberty). Film dokumenter tersebut berhasil membingkai kondisi masyarakat yang sengsara di bawah para diktator, yang segala-galanya diatur, diarahkan, ditekan, dipaksa. Namun pertanyaannya, apa itu kebebasan? Apakah mereka yang tidak berada di bawah bentuk pemerintahan totalitarian, dijamin mengalami kebebasan? Apakah mereka yang berada di bawah fasisme, tahu bahwa dirinya tidak bebas, atau tidak tahu dan bagi sebagian orang, hal demikian baik-baik saja? 

Pada tahun 2016, saya pernah berkesempatan mengunjungi Guangzhou dan di sana, akses internet begitu dibatasi. Kita tidak bisa masuk ke Google (termasuk Gmail, Gmap, dan varian lainnya) dan beraneka medsos seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. Line atau Whatsapp, jika beruntung, bisa sesekali diakses. Sependek yang saya lihat, sebagian orang-orang di sana tidak merasa keberatan dan oke-oke saja dengan opsi mesin pencari atau medsos yang diberikan pemerintah Tiongkok. Saya pernah bertanya pada salah seorang di sana, apakah ada cara "rahasia" untuk mengakses Google? Mereka tidak tahu dan bahkan secara implisit hendak mengatakan, "Untuk apa Google?" Saya tentu tidak membenarkan pembatasan-pembatasan semacam itu, yang mungkin membuat orang-orang sukar berkembang (mungkin?), tapi di sisi lain, jika dibandingkan dengan negara ini, yang boleh jadi begitu bebas mengakses apapun yang ada di internet, tidakkah "tidak lebih baik"? Atau dalam arti kata lain, tidakkah kebebasan itu semacam belenggu tersendiri? Semua orang bebas bicara, semua orang bebas "merujak", melaporkan, meng-cancel, yang di satu sisi dapat dipandang sebagai kegembiraan berdemokrasi tapi di sisi lain juga menciptakan "labirin kebebasan" yang tak bertujuan, tidak terarah, yang berhasil "bebas dari", tapi tidak jelas dalam memanfaatkan "bebas untuk"-nya. Pada satu titik, saya sampai pada pertanyaan: memang berpikir bebas itu, untuk apa, sih? 

Saya kira jika kita hendak melihat lebih kritis perkara pembingkaian diktator dalam How to Become a Tyrant, jelas bahwa fasisme yang dimaksud, adalah fasisme yang dilakukan oleh individu atau kelompok kecil tertentu (seperti dinasti Kim). Film tersebut tengah menyalahkan "orang gila" yang tidak mungkin ada dalam sistem yang demokratis, karena dalam demokrasi, "orang gila" tidak akan dibiarkan berada di atas "kehendak umum". Namun kita juga seringkali dibutakan oleh "orang gila yang banyak", yang melakukan praktis fasisme atas nama "kehendak umum". Hari-hari ini kita seperti tidak berada di bawah totalitarianisme politik, tapi mungkin dibelenggu oleh totalitarianisme ekonomi, yang seperti memberikan kebebasan bicara, berpendapat, berperilaku sesuai kehendak pribadi, tapi sebenarnya dikontrol dengan halus, dicatat data-data pribadinya, dan sewaktu-waktu dapat dipersekusi, dengan cara-cara yang tidak sekasar para diktator di masa lampau, melainkan elegan, membunuh karakter pelan-pelan. Jadi, apa itu kebebasan? Bisakah berbicara kebebasan, di bawah entitas bernama negara, di tengah perusahaan raksasa yang terus menggurita? Fasisme hanya berganti nama, diktator hanya bersalin rupa, totalitarianisme cuma bertransformasi menjadi dirinya sendiri. Semuanya tetap sama.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1