Sebenarnya film dokumenter ini sudah agak lama saya tonton, mungkin sekitar tiga atau empat bulan yang lalu. Namun entah kenapa, saya baru terpikir untuk menuliskannya sekarang, dengan ingatan yang agak samar-samar. How to Become a Tyrant (2021) adalah docu-series produksi Netflix yang menceritakan kiprah para diktator yaitu Adolf Hitler, Saddam Hussein, Idi Amin, Joseph Stalin, Muammar Gaddafi, dan dinasti Kim. Dengan masing-masing penayangan antara 25 sampai 30 menit, dokumenter ini sangat informatif dengan narasi yang dibuat agak satir, seolah-olah para diktator tersebut punya semacam buku pedoman sebagai acuan tertulis dalam melanggengkan kekuasaan absolutnya. Bagi saya pribadi, How to Become a Tyrant, yang dinaratori oleh Peter Dinklage, memberikan banyak informasi dan juga renungan. Renungan paling mula-mula tentu bayangan akan kengerian totalitarianisme, yang membuat saya memikirkan segala cara agar para pemimpin fasis tidak pernah naik ke tampuk kepemimpinan lagi, di manapun itu.
Dalam renungan berikutnya saya tiba-tiba teringat pandangan Jacques Ellul dalam Anarchy and Christianity yang mengatakan bahwa posisi negara adalah selalu "jahat". Kita tidak berbicara lagi individu mana yang naik ke tampuk kekuasaan, tapi bagi Ellul, siapapun itu, pasti akan termakan oleh struktur dan ujung-ujungnya, "sebaik" apapun seseorang, negara akan selalu berhasil mengubahnya. Bahkan Ellul menggunakan aneka argumen dari Alkitab untuk mengukuhkan pendapatnya bahwa Yesus adalah seorang anarkis, yang dari tindak-tanduk serta perkataannya selalu tidak setuju dengan kekuasaan, dalam bentuk apapun. Tuhan-nya Kristen, kata Ellul, bukanlah seperti pemimpin militer yang otoriter mengatur ini itu, tapi lebih persisnya, berperan sebagai pembebas (liberator). Artinya, kekejaman diktator bukanlah perkara moral individual, tetapi posisi negara itu sendiri yang "pasti" menciptakan diktator. Tentu kita bisa mempertanyakannya: kenyataannya, ada pemimpin yang tidak bersikap totaliter, kan? Bagi Ellul, totaliter atau tidak, diktator atau bukan, itu cuma peristilahan saja karena negara akan selalu menggiring siapapun pada sikap-sikap yang "bertentangan dengan kekuasaan Tuhan". Ellul mungkin ada benarnya: kita tidak bisa mengatakan bahwa pada negara yang menganut sistem demokrasi, fasisme tidak benar-benar terjadi. Bahkan fasisme ini bisa diselubungi, bisa dibuat cantik, oleh istilah-istilah seperti "konstitusi" atau "kehendak rakyat" yang sebenarnya lebih kabur.
Fasisme adalah buruk. Itu jelas. Kita tidak mau berada di bawah bayang-bayang kekuasaan yang membelenggu karena sudah seyogianya, manusia, sekurang-kurangnya, berada dalam kondisi "bebas dari" (negative liberty). Film dokumenter tersebut berhasil membingkai kondisi masyarakat yang sengsara di bawah para diktator, yang segala-galanya diatur, diarahkan, ditekan, dipaksa. Namun pertanyaannya, apa itu kebebasan? Apakah mereka yang tidak berada di bawah bentuk pemerintahan totalitarian, dijamin mengalami kebebasan? Apakah mereka yang berada di bawah fasisme, tahu bahwa dirinya tidak bebas, atau tidak tahu dan bagi sebagian orang, hal demikian baik-baik saja?
Pada tahun 2016, saya pernah berkesempatan mengunjungi Guangzhou dan di sana, akses internet begitu dibatasi. Kita tidak bisa masuk ke Google (termasuk Gmail, Gmap, dan varian lainnya) dan beraneka medsos seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. Line atau Whatsapp, jika beruntung, bisa sesekali diakses. Sependek yang saya lihat, sebagian orang-orang di sana tidak merasa keberatan dan oke-oke saja dengan opsi mesin pencari atau medsos yang diberikan pemerintah Tiongkok. Saya pernah bertanya pada salah seorang di sana, apakah ada cara "rahasia" untuk mengakses Google? Mereka tidak tahu dan bahkan secara implisit hendak mengatakan, "Untuk apa Google?" Saya tentu tidak membenarkan pembatasan-pembatasan semacam itu, yang mungkin membuat orang-orang sukar berkembang (mungkin?), tapi di sisi lain, jika dibandingkan dengan negara ini, yang boleh jadi begitu bebas mengakses apapun yang ada di internet, tidakkah "tidak lebih baik"? Atau dalam arti kata lain, tidakkah kebebasan itu semacam belenggu tersendiri? Semua orang bebas bicara, semua orang bebas "merujak", melaporkan, meng-cancel, yang di satu sisi dapat dipandang sebagai kegembiraan berdemokrasi tapi di sisi lain juga menciptakan "labirin kebebasan" yang tak bertujuan, tidak terarah, yang berhasil "bebas dari", tapi tidak jelas dalam memanfaatkan "bebas untuk"-nya. Pada satu titik, saya sampai pada pertanyaan: memang berpikir bebas itu, untuk apa, sih?
Saya kira jika kita hendak melihat lebih kritis perkara pembingkaian diktator dalam How to Become a Tyrant, jelas bahwa fasisme yang dimaksud, adalah fasisme yang dilakukan oleh individu atau kelompok kecil tertentu (seperti dinasti Kim). Film tersebut tengah menyalahkan "orang gila" yang tidak mungkin ada dalam sistem yang demokratis, karena dalam demokrasi, "orang gila" tidak akan dibiarkan berada di atas "kehendak umum". Namun kita juga seringkali dibutakan oleh "orang gila yang banyak", yang melakukan praktis fasisme atas nama "kehendak umum". Hari-hari ini kita seperti tidak berada di bawah totalitarianisme politik, tapi mungkin dibelenggu oleh totalitarianisme ekonomi, yang seperti memberikan kebebasan bicara, berpendapat, berperilaku sesuai kehendak pribadi, tapi sebenarnya dikontrol dengan halus, dicatat data-data pribadinya, dan sewaktu-waktu dapat dipersekusi, dengan cara-cara yang tidak sekasar para diktator di masa lampau, melainkan elegan, membunuh karakter pelan-pelan. Jadi, apa itu kebebasan? Bisakah berbicara kebebasan, di bawah entitas bernama negara, di tengah perusahaan raksasa yang terus menggurita? Fasisme hanya berganti nama, diktator hanya bersalin rupa, totalitarianisme cuma bertransformasi menjadi dirinya sendiri. Semuanya tetap sama.
Comments
Post a Comment