Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
O, Tuhan, untuk apa engkau menciptakan manusia?
Untuk membuatku tertawa-tawa, Nak. Agar aku tak sepi sendiri.
Apakah manusia itu sendiri harus ikut tertawa-tawa?
Harusnya iya, karena apalah hidup itu kalau bukan komedi.
Hanya itu?
Dan tragedi.
Jika sedemikian menyedihkannya, apa yang kau harapkan dari manusia, ya Rabbi?
Tidak ada. Menurutmu?
Jadi kehidupan ini sia-sia saja?
Kamu bisa pura-pura tidak, jika mau.
Bagaimana caranya?
Harapan.
Lalu, apa yang bisa dibanggakan dari manusia?
Mungkin, kebudayaan.
Apa itu kebudayaan, Ilahi?
Sesuatu yang membedakan kalian dari binatang.
Aku punya pertanyaan lain, apa itu agama?
Aku tak tahu. Bukan aku yang menciptakan.
Siapa?
Tanya saja temanmu.
Mengapa banyak yang kamu tak tahu, Rabb?
Karena aku menciptakan manusia mula-mula, dan membiarkan mereka melakukan apa saja yang dimaui.
Apakah kamu menciptakan seperangkat aturan juga?
Tidak. Aku hanya menciptakan manusia.
Kalau begitu, kapan itu kiamat?
Aku belum bosan, sepertinya masih lama.
O, Tuhan, tolonglah aku!
Dari apa?
Dari kamu!
Comments
Post a Comment