Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Surat Cinta dari Korea (4)


Patung Boddhisatva, koleksi paling berharga National Museum of Korea



Pertama-tama, bersyukurlah karena kamu punya ibu yang berprofesi sebagai guru sejarah. Sejarah, menurutku, adalah hal yang sangat penting. Kenapa? Karena tiada sesuatupun di luar sejarah. Masa depan kita semua berpijak dari sejarah. Dan kita hari ini sedang berusaha membuat sejarah, agar siapapun di masa depan kelak mengenang kita. Manusia mesti secara teratur mempunyai waktu untuk melihat ke masa lalu. Selain kontemplasi diri, tentunya ada cara lain yang lebih "sederhana" untuk melakukan itu, yaitu pergi menengok ke museum, atau belajar dari guru sejarah yang cakap seperti ibumu.

Aku mengunjungi museum tadi pagi. Namanya standar tapi kita bisa membayangkan keluasan isinya: National Museum of Korea. Museum ini, Sayang, Masya Allah, besarnya luar biasa. Hotel Hilton mungkin yang paling mewah di Bandung, tapi museum ini beberapa kali lipat lebih besar dan mewah. Sang pemandu berkata, "Ini museum nomor empat terbesar di dunia, untuk mengelilinginya kamu butuh delapan belas jam."

Tahukah kamu, Sayang, bahwa sejarah, meskipun penting, tapi kita agaknya setuju bahwa hal tersebut mesti disajikan secara menarik. Rupanya hal ini sudah sangat dipikirkan dalam museum mega itu. Display artefaknya sangat bagus, sign system-nya sangat informatif, dan penerangannya begitu anggun dan elegan. Kalaupun iya (kita boleh curiga), bahwa sejarah yang disajikannya bukan suatu kebenaran, maka itu tak jadi soal karena aku pribadi sudah terpikat pada segala-gala yang ada di tempat itu.

Lagipula, ada satu hal yang sangat menarik. Sang tour guide, bercerita dengan sangat bergairah. Seolah-olah ia berada di masa lampau dan menyaksikan benda-benda yang ia ceritakan itu dalam kondisi asli pada jamannya berada. Membuat aku ternyata menyimpan cita-cita ingin seperti dia, ingin seperti ibumu, menjadi seseorang yang mengajak siapapun menaiki mesin waktu ke masa lalu. Hanya saja, tour guide sedikit lebih beruntung dari segi penyajian ketimbang guru sejarah. Karena barang-barangnya ada tersedia di sana. Lagipula, perjuangan ibumu patut diacungi jempol. Karena ibu mendatangkan sejarah ke kelas yang mungkin berisi anak-anak yang siap menguap di tengah pelajaran. Sedangkan tour guide, pengunjunglah yang mendatangi sejarah. Sehingga mungkin antusiasmenya sudah ditumbuhkan dari awal. Jadi, sekali lagi, bersyukurlah punya ibu yang sedemikian hebatnya. Tanpa barang-barang display, ibumu menyajikan masa lampau murni melalui bahasa.


Sang
tour guide menerangkan pagoda sepuluh tingkat.

Setelah dari sana, kami mengunjungi istana raja Korea purba bernama Gyeongbokgung Palace. Esensinya sama, kami mengunjungi masa lalu dari suatu bangsa. Hanya saja kalau museum nasional diliputi suasana modern, sedangkan yang ini sangat tradisional dan segalanya betul-betul dipelihara keasliannya. Mulai dari bentuk bangunan hingga interiornya. Membuat alam imajinasi kita terlempar, membayangkan betul-betul ada raja duduk di sana beserta para pengawal-pengawalnya. Meski demikian, tempat ini ternyata pernah nyaris dibumihanguskan oleh Jepang. Sehingga banyak bagian sudah direvitalisasi oleh pemerintah Korea.


Demikian, sayang, betapa sejarah yang dikelola secara serius, punya andil dalam membentuk bangsa yang hebat. Apa yang bisa kita lakukan sekarang? Tidak perlu repot-repot menembok bangunan museum di Indonesia yang menyedihkan. Kita cukup mengenang masa lalu kita, dari mulai PDKT, masa-masa bertengkar, hingga persiapan pernikahan macam belakangan ini. Dengan demikian kita akan sanggup menjadi pasangan yang menebar energi positif bagi sesama.

Dan itulah awal mula, cikal bakal, perbaikan dunia.

Comments

  1. And now I love my mom and u much much more.. =)
    Mari kita membangun museum untuk anak2 kita nanti! =D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1