Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Pandemi dari Sudut Pandang Filsafat

(Ditulis untuk rubrik Opini Pikiran Rakyat, tapi ditolak)

Dalam sejarah peradaban manusia, wabah yang menyerang manusia dalam jumlah banyak semacam pandemi yang sedang kita alami ini tentu bukan yang pertama kali. Misalnya, yang paling terkenal, tentu saja wabah yang menyerang Eropa di abad ke-14, yang diakibatkan oleh bakteri yersinia pestis atau disebut juga dengan pes. Wabah yang berlangsung sekitar tujuh tahun tersebut, membunuh 75 hingga 200 juta orang dan masih dianggap sebagai pandemi terburuk sepanjang sejarah. Pandemi lain, yang muncul dalam dua ratus tahun terakhir, adalah kolera. Pandemi kolera diketahui muncul tujuh kali (salah satunya di Indonesia tahun 1961) dan dianggap masih mengancam hingga hari ini.

Pada setiap wabah yang terjadi, tentu saja setiap manusia berhak menafsirnya dari berbagai sudut pandang. Albert Camus (1913 – 1960), filsuf asal Prancis, menuliskan pemikirannya tentang wabah dalam bukunya berjudul La Peste (1947), yang menggambarkan situasi di Kota Oran yang diserang oleh wabah pes. 

Dalam kondisi ancaman wabah mengerikan tersebut, Camus dapat melihat bagaimana reaksi yang beragam, yang dalam novel digambarkan sebagai berikut: ada yang melihatnya sebagai kutukan Tuhan, ada yang melihatnya sebagai sesuatu yang rasional – persoalan medis semata -, dan ada juga yang menganggapnya sebagai berkah – karena katanya, sebuah penderitaan, menghindarkan kita dari penderitaan yang lainnya -. 

Camus kemudian mengajukan pertanyaan yang barangkali menantang kita semua: Pada titik di mana manusia ada di bawah situasi yang mematikan seperti wabah, apa yang kira-kira akan kita lakukan? Di sini lah pemikiran Camus tujuh puluh tahun silam dan situasi kita hari ini menemukan hubungannya. Pada situasi semacam ini, insting dasar manusia untuk bertahan hidup kemudian ditampakkan, dengan misalnya, memborong bahan makanan, dan melihat orang lain sebagai ancaman. 

Berdasarkan dua premis di atas yang diambil dari novel La Peste karya Albert Camus tersebut, maka pandemi dalam hal ini, pertama, mencerabut kita untuk sementara dari rutinitas keseharian yang normal dan tertib, untuk kemudian sejenak merenungkan keseluruhan kehidupan. Kedua, kita, di sisi lain, diajak untuk mengenali insting purba yang oleh Thomas Hobbes disinggung sebagai homo homini lupus atau diartikan sebagai “manusia adalah serigala bagi sesamanya”. 

Teodise 

Sebagaimana ditulis oleh Camus di atas, perkembangan virus Corona menimbulkan reaksi juga dari kalangan agamawan. Sebelum virus ini mewabah di Indonesia seperti sekarang ini, ada yang sempat menyebut virus ini sebagai tentara Tuhan untuk menghukum suatu kaum (maksudnya, orang-orang Tiongkok), dan ada juga yang mengatakan bahwa Indonesia tidak mungkin terjangkiti Corona karena banyaknya orang yang berwudhu.

Pernyataan-pernyataan semacam itu menjadi semacam ditantang, ketika fakta yang terjadi justru tidak sesuai. Masalah ini, dalam tradisi filsafat disebut dengan teodise – sebuah istilah yang diangkat pertama kali oleh pemikir asal Jerman, Gottfried Leibniz (1646 – 1716) -.

Pada teodise, dibahas masalah terkait hubungan antara Tuhan yang Maha Sempurna, dengan kenyataan dunia yang serba tidak sempurna. Pertanyaannya, jika Tuhan Maha Sempurna, bagaimana bisa, di dunia ini ada kejahatan dan penderitaan – termasuk juga, wabah -? Mengapa Tuhan, dengan segala kuasanya, tidak menghentikannya? Apalagi, melihat korelasinya dengan contoh di atas, Tuhan ternyata juga membiarkan wabah tersebut menyerang orang-orang beragama.

Terhadap pertanyaan tersebut, berbagai respons diajukan dalam sejarah pemikiran, yang mungkin dapat menjadi acuan dalam bagaimana kita melihat virus Corona ini, dalam kacamata yang lebih filosofis. John Hick (1922 – 2012), teolog asal Inggris, mencoba menjawab hal tersebut dengan mengatakan bahwa pada dasarnya, Tuhan menciptakan dunia ini tanpa kejahatan dan penderitaan. Iblis kemudian masuk ke dunia melalui “dosa asal” Adam dan Hawa. Ini hampir senada dengan pernyataan ulama besar dalam sejarah Islam, yaitu Imam Al-Ghazali (1058 – 1111) yang mengatakan bahwa apa yang diciptakan dan terjadi di dunia, merupakan hal yang sudah demikian sempurna adanya (perfect world).

Tentu tidak ada jawaban yang bisa benar-benar memuaskan kita, terlebih dari bagaimana karakter pertanyaan filosofis memang bukan untuk dijawab secara pasti. Hal yang lebih penting adalah kegiatan mengajukan pertanyaan itu sendiri, yang menimbulkan refleksi dan kesadaran yang lebih mendalam pada cara kita memandang sesuatu.

Bagaimanapun, situasi pandemi adalah situasi yang serba tidak pasti. Kita bahkan juga tidak tahu kapan wabah ini berakhir dan akan berkembang hingga seberapa luas. Selain tetap menjaga kesehatan, kita bisa memilih untuk tetap hidup tenang dan berbahagia, tanpa harus larut dalam ledakan kepanikan.

Camus memberi contoh dengan baik, masih dari novelnya berjudul La Peste. Melalui tokoh dr. Bernard Rieux, Camus mengajak kita untuk mementahkan beragam tafsir yang berseliweran. Di tengah wabah yang mematikan sekaligus membingungkan, ia berpendapat bahwa sikap yang benar adalah menerima dengan lapang dada segala ketidakmampuan manusia untuk memaknai kejadian tersebut, dan mencoba hidup berbahagia saja. Pada akhirnya, virus ini menyadarkan kita, bahwa realitas selalu lebih besar dari pikiran kita, dan bahkan dari tafsir agama sekalipun.

Sampul buku La Peste karya Albert Camus

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1