Tulisan suplemen untuk acara Pesta Pinggiran di Taman Ismail Marzuki, 25 November 2023
Tesis pertama: Filsafat Melahirkan Orang-Orang Menyebalkan
Dalam Apology, disebutkan bahwa tugas filsafat adalah “menyengat kuda besar yang pemalas”. Sengatan Sokrates itulah yang membuat dirinya dibenci oleh sebagian warga Athena. Alasan Sokrates dihukum mati memang karena “menyebarkan pengaruh buruk bagi generasi muda”, tetapi mengacu pada perilakunya yang sering kepo pada orang-orang, sangat mungkin Sokrates dilaporkan karena “menyebalkan”. Cara Sokrates mengajukan pertanyaan memang di satu sisi, kelihatan berpura-pura tidak tahu, tetapi di sisi lain, ada unsur jebakan: membuat lawan bicaranya terpojok pada maksud yang diinginkan oleh Sokrates.
Masih dari skena Yunani Kuno, nama Aristoteles tentu sangat familiar. Terdapat pernyataan terkenal Aristoteles yang diparafrasekan dari Nichomachean Ethics yang bunyinya seperti ini: Amicus Plato, sed magis amica veritas (Plato adalah temanku, tetapi kebenaran adalah teman yang lebih baik). Kata-kata Aristoteles tersebut menunjukkan bahwa bagi dirinya, kebenaran lebih tinggi dari pertemanan. Artinya juga, bagi Aristoteles, tak apa-apa jika pergulatan dengan kebenaran berujung pada mengorbankan teman sendiri.
Sokrates dan Aristoteles baru dua contoh filsuf yang menjustifikasi sikap menyebalkan. Masih banyak filsuf lain yang menunjukkan sikap menyebalkan. Bahkan dapat dikatakan: sejarah filsafat adalah sejarah orang-orang menyebalkan. Lihatlah dalam Ecce Homo, Nietzsche memberi judul pada bab-babnya dengan mempertanyakan, “Mengapa aku begitu bijak?”, “Mengapa aku begitu pintar?”, “Mengapa aku menulis buku-buku yang keren?” Wittgenstein menulis satu buku tipis berjudul Tractatus lalu bersantai sepanjang hidupnya karena merasa sudah menyelesaikan seluruh problem filsafat. Derrida adalah mahasiswa tak tahu diri. Dosennya sendiri, Foucault, dikritik sampai ngambek.
Begitulah para filsuf. Narsis, over-pede, dan senang menyulut perselisihan. Keyakinannya yang berlebihan tentang “yang hakiki” membuat para filsuf melihat hubungan sosial kadang hanya sebatas pesona permukaan yang tak stabil (jangan lupakan Kant yang kemana-mana selalu sendiri). Ketekunannya dalam memecahkan persoalan dunia membuat para filsuf merasa lebih penting untuk sendirian di kamar ketimbang memelihara relasi dengan sesama.
Tentu saja terdapat filsuf-filsuf yang merenungkan ulang apa arti berbuat baik pada sesama. Orang-orang seperti Levinas atau Gilligan misalnya, membangun tesis tentang kepedulian pada “yang lain” demi menyelamatkan filsafat dari citra ansos. Namun filsafat tak pernah memberi tempat untuk keyakinan abadi sehingga gagasan Levinas dan Gilligan pun tidak luput dari berbagai serangan.
Tesis kedua: Kapitalisme Melahirkan Orang-Orang Menyebalkan
Supaya sistem kapitalisme bisa bertahan, ongkos produksi mesti ditekan demi menghasilkan laba sebanyak-banyaknya. Salah satu cara menekan ongkos produksi adalah dengan memeras tenaga kelas pekerja. Buatlah mereka bekerja semaksimal mungkin dengan upah yang seminimal mungkin. Namun kapitalisme di era Marx berbeda dengan kapitalisme di masa sekarang. Kapitalisme hari ini mampu membuat tenaga kerja tidak merasa dieksploitasi salah satunya berkat kalimat-kalimat motivasi. Eksploitasi dihaluskan dengan kalimat penyemangat seperti “tanggung jawab”, “sense of belonging”, “pegawai teladan”, sampai “pahala”. Dengan demikian, rupa kapitalisme hari ini bukanlah rupa yang bengis seperti dua abad ke belakang. Kapitalisme jauh dari kesan menyebalkan. Lewat puja puji motivasi, kapitalisme telah menampilkan diri sebagai sistem paling baik hati, bermoral, dan saleh.
Kapitalisme bahkan mampu membuat framing bahwa orang-orang menyebalkan adalah orang-orang yang bakal gagal dalam persaingan. Orang-orang menyebalkan adalah mereka yang tidak berpikiran positif terhadap kemajuan, selalu mengeluh dan menyalahkan pihak lain, tanpa punya keinginan untuk introspeksi dan mengembangkan diri. Untuk semakin menyudutkan orang-orang semacam ini, dibuatlah paradigma self-help agar orang-orang menyebalkan “menyelamatkan dirinya sendiri”. Struktur tidak boleh disalahkan karena semua problem yang dialami kelas pekerja adalah buah dari kegagalan mereka dalam memantaskan diri untuk tetap kompetitif. Dalam paradigma self-help, mereka yang gagal menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana dirumuskan oleh nabi-nabi seperti Wallace D. Wattles, Napoleon Hill, Robert Kiyosaki, sampai yang lokal-lokal seperti Ippho Santosa, Yusuf Mansur, dan Mardigu Bosman, dicap sebagai orang yang menyebalkan alias orang yang tidak-bisa-kooperatif-dalam-menyukseskan-sistem-kapitalisme.
Dalam hal ini, kapitalisme berhasil mengarahkan perhatian sejarah pada siapa yang menyebalkan, alih-alih menunjuk dirinya sendiri sebagai biang keladi dari segala hal yang menyebalkan. Kapitalisme jelas menyebalkan karena (1) menumpukkan kekayaan pada pihak yang sedikit dengan menyengsarakan orang yang lebih banyak, (2) merusak sumber daya alam dengan dalih pengelolaan, (3) menyukai sedekah atau charity karena menjamin pemberinya masuk surga ketimbang bertindak keadilan dengan mensejahterakan kelas pekerja, (4) menyuburkan cara pandang bahwa segala-galanya adalah objek komodifikasi termasuk relasi sosial, serta (5) merumuskan paradigma motivasional supaya kapitalisme disucikan sebagai sistem yang hanya mampu dijalani oleh orang-orang berpikiran positif dan mau bekerja keras.
Jadi, siapa di sini yang sebenarnya menyebalkan?
Tesis ketiga: Demokrasi Melahirkan Orang-Orang Menyebalkan
Demokrasi sebagai “musyawarah untuk mufakat” atau demokrasi konsensus adalah cara pengambilan keputusan yang seolah memfasilitasi semua pihak padahal menyingkirkan mereka yang menyebalkan. Orang-orang menyebalkan dalam demokrasi macam ini adalah mereka yang bebal dalam melakukan kompromi. Rousseau menyebut orang-orang demikian sebagai orang-orang yang terjebak dalam rasa bangga terhadap diri sendiri (amour propre).
Sebagai kritik atas demokrasi konsensus, dirumuskanlah demokrasi radikal sebagaimana dipikirkan diantaranya oleh Mouffe, Laclau, dan Rancière. Dalam demokrasi semacam ini, kuncinya bukan pada kesepahaman, melainkan justru ketidaksepahaman atau dissensus. Demokrasi bukan bertujuan mencari mufakat, melainkan membuat segala perbedaan “menjadi tampak”.
Konsekuensi dari demokrasi radikal adalah kemunculan “orang-orang menyebalkan” yang mau tidak mau mesti diterima sebagai bagian dari kehidupan politik. Setiap harinya, orang-orang menyebalkan menampakkan diri dalam bentuk suara yang mau didengar. Yang harus didengar.
Maka itu demokrasi radikal bukanlah demokrasi yang penuh ketenangan seperti di era Orde Baru yang segala pendapat dipaksa untuk mufakat. Orde Baru memaksa kita untuk sepakat bahwa komunis adalah bahaya laten dan perbedaan dalam Pemilu tidak boleh ditampakkan karena akan mengganggu rencana kemenangan partai Golkar (yang mendominasi pemilu selama tiga dekade). Di era Orde Baru, kita dibawa pada ilusi keamanan dan ketertiban yang senyap dari gangguan orang-orang menyebalkan – orang-orang yang berbeda dalam versi demokrasi yang ditetapkan oleh penguasa.
Demokrasi radikal adalah demokrasinya orang-orang menyebalkan, yang kita bisa lihat salah satu contohnya di Twitter/ X: serba pendapat dikemukakan, yang bodoh bisa tenar, yang pintar bisa tenggelam, semua saling baku hantam tanpa perlu rasional. Itulah demokrasi.
Demokrasi radikal tak perlu menjadikan kepemimpinan melalui pemilu sebagai tujuan akhir. Demokrasi tidak pernah merupakan suatu proyek yang final, melainkan terus berproses dalam menerima yang plural. Penerimaan atas yang plural adalah penerimaan atas orang-orang yang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Demokrasi yang hanya menerima orang-orang menyenangkan adalah demokrasi yang fetish akan keseragaman. Ini adalah demokrasi pilih kasih yang menganut pluralisme malu-malu.
Melalui tiga tesis di atas, terlihatlah bahwa dalam tesis pertama, para filsuf adalah orang-orang menyebalkan yang mengganggu segala yang stabil. Para filsuf rela untuk tidak menjadi orang menyenangkan demi memenuhi naturnya sebagai penyengat kondisi yang mapan. Pada tesis kedua, kapitalisme mengaburkan label menyebalkan pada dirinya dengan mengalihkan citra tersebut pada kaum pekerja yang malas mengembangkan diri dalam kerangka paradigma motivasional dan self help. Pada tesis ketiga, orang-orang menyebalkan dalam demokrasi justru mesti diterima sebagai efek dari demokrasi radikal yang bertopang pada dissensus.
Pertanyaannya, apa jadinya dunia tanpa orang-orang yang menyebalkan?
Comments
Post a Comment