Suatu ketika saya menolak Adorno, karena idenya tentang emansipasi lewat musik Schoenberg itu terlalu elitis. Siapa bisa paham Schoenberg, kecuali telinga-telinga yang terlatih dan pikiran-pikiran yang telah dijejali teori musik? Bagaimana mungkin teknik dua belas nada yang tak punya "jalan pulang" tersebut dapat membebaskan kelas pekerja dari alienasi? Namun setelah ngobrol-ngobrol dengan Ucok (Homicide/ Grimloc) awal April kemarin, tiba-tiba saya terpantik hal yang justru berkebalikan. Kata Ucok, memang seni itu mestilah "elitis". Lah, apa maksudnya? Lama-lama aku paham, dan malah setuju dengan Adorno. Pembebasan bukanlah sebentuk ajakan atau himbauan, dari orang yang "terbebaskan" terhadap orang yang "belum terbebaskan" (itulah yang kupahami sebelumnya). Pembebasan bukanlah sebentuk pesan, seperti misalnya musik balada yang menyerukan ajakan untuk demo, meniupkan kesadaran tentang adanya eksploitasi, atau dorongan untuk mengguncang oligarki.
Imajinasi mungkin bisa diduga sebagai kemampuan khas manusia. Imajinasi membuat kita mampu membayangkan hal-hal yang tidak ada di hadapan atau bahkan belum ada. Kita bisa mengimajinasikan bagaimana masa depan hidup bersama seseorang meski hal tersebut belum terjadi. Kita bisa mengimajinasikan kebahagiaan meski kebahagiaan itu belum dirasakan sekarang. Kita bisa mengimajinasikan Tuhan dan hidup setelah mati meskipun sebagian dari bayangan tersebut dibangun dari unsur-unsur yang pernah kita ketahui secara pasti: wujud Tuhan mungkin kita bayangkan sebagai cahaya yang besar (maka itu harus pernah melihat cahaya) dan kehidupan setelah mati kita bayangkan sebagai suatu tempat yang indah dengan sungai mengalir (maka itu harus pernah berada di sebuah tempat yang indah dan pernah melihat sungai mengalir). Imajinasi juga dapat berupa suatu kondisi masyarakat yang ideal. Misalnya, masyarakat yang setiap individunya tidak memiliki suatu properti pun secara pribadi karena semuanya dikelola bersama