Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Kampung Halaman


Hari Minggu, minggu yang lalu, saya diajak orang tua untuk berkunjung ke Garut. Tempat tersebut tepatnya adalah kampung halaman bapak, yang sependek pengetahuan saya, jarang sekali dikunjungi. Tentu saja, kesok-sibuk-an urban istri dan saya membuat kunjungan semacam ini, terlebih di hari Minggu, terasa amat berat. Dalam kehidupan perkotaan yang segala-galanya mesti serba berguna, mengunjungi sebuah tempat dengan dalih romantisme kadang terdengar membuang-buang waktu. Namun setelah direnung-renungkan, terutama mengingat usia bapak sekarang sudah kepala tujuh, ajakan-ajakan semacam itu, bagi saya, tidak boleh disikapi dengan egois. Saya harus memikirkan juga dari sudut pandang bapak, yang di usia lansianya mungkin tiada lagi hal yang ingin dilakukan kecuali mengenang dan mengenang. Alhasil, kami pun memutuskan ikut berangkat ke Garut, menanggalkan segala pekerjaan yang seringkali masih harus digarap di hari Minggu. 

Bandung - Garut jaraknya tidak jauh. Bahkan lebih dekat dari yang saya bayangkan. Tidak sampai dua jam, kami sudah sampai di lokasi setelah melewati pemandangan mooi indie yang biasanya hanya bisa dilihat di gambar-gambar waktu SD. Iya, dua gunung yang dibelah jalanan, yang di samping-sampingnya ada sawah-sawah dengan latar belakang langit biru dan awan bergulung-gulung. Karena itu kampung halaman bapak, tentu secara tidak langsung itu juga kampung halaman saya. Meski mungkin saya menghubung-hubungkannya dengan cara yang romantis, dengan bayangan bahwa saya "dilahirkan di desa" seperti kisah masa kecil Soeharto. Kenyataannya, saya lahir dan besar di Bandung, dengan lingkungan yang telah terbuat dari beton, dengan pemandangan pegunungan indah permai yang hanya diketahui dari gambar-gambar anak SD. Garut bukanlah kampung halaman saya yang nyata, tetapi saya perlu mengidentifikasi sebagai "orang Garut", supaya ke-Sunda-an saya sah - karena "orang Bandung" belum tentu menggambarkan keabsahan sebagai orang Sunda. 

Apa yang saya temukan di Garut, tepatnya di wilayah Leles tersebut? Kita tidak perlu membicarakan pemandangan dan pemandangan lagi. Sekarang mari kita bicarakan manusia. Orang-orang Garut yang saya temui, umumnya adalah mereka kerabat bapak yang sudah sepuh-sepuh. Mereka saling menanyakan kabar, bercerita tentang si ini dan si itu, menunjukkan kalau anak ini yang tadinya kecil sekarang sudah besar, kerja di mana. Beberapa dari anak muda atau remaja bermain dengan ayam-ayam atau mengambil mangga dari pohon. Hal yang berbeda dari apa yang umumnya saya temui di perkotaan adalah cara mereka bergerak yang lebih santai. Tidak ada ketergesaan, harus membatasi pertemuan berapa lama karena "ada meeting lagi", atau bertanya "ada perlu apa" seolah-olah segala kunjungan mestilah bernilai praktis (yang terhubung dengan materi). 

Konsep waktu yang "mendesak" tentu ada juga di desa-desa, dalam artian usia berapa harus sekolah, usia berapa harus dapat kerja, usia berapa harus menikah, usia berapa harus punya anak, dan sebagainya. Bahkan hal-hal demikian dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah "kodrati" dan kegagalan seseorang dalam menepati ukuran-ukuran waktu tersebut akan menjadi gunjingan atau cibiran. Umumnya orang-orang di kota, karena paradigma individualisnya, yang menganggap segala sesuatu diukur oleh kehendak dirinya sendiri, melihat konsep pencapaian sebagai sesuatu yang bisa didekonstruksi waktu-waktunya (tidak perlu menikah di usia sekian, tidak perlu lulus di usia sekian). Namun tetap: orang kota selalu tertekan oleh pencapaian, meski jalur yang dilaluinya dapat beraneka ragam. Seberapa pun mereka berusaha santai, mereka tahu bahwa lingkungan urban selalu menekannya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang pencapaian material. 

Umumnya orang-orang di desa, sekali lagi, juga punya keharusan untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak melulu material. Hal-hal seperti sekolah, menikah, bekerja, mungkin bukan sekat-sekat waktu yang cuma sekadar tentang uang, tapi tentang sesuatu yang membuat kita mesti kembali pada pandangan bahwa hidup ya memang "begitu-begitu saja". Kalaupun terdapat uang yang dicari di dalamnya, uang itu hanyalah suatu prasyarat untuk mewujudkan seremoni-seremoni yang membawa kita pada renungan tentang hidup yang sebagaimana adanya, bukan dalam bentuk jargon-jargon bombastis sebagaimana dikumandangkan oleh orang-orang kota. Bahwa hidup manusia di usia sekian sudah "kodrat"-nya untuk sekolah, menikah, bekerja, yang entah berdasarkan apa, mungkin faktor psikologis, "kematangan jiwa", atau mungkin juga "formula yang sudah berhasil turun temurun". 

Memang ada kesan orang-orang di desa ini tidak ingin maju, atau fetish dengan kestagnanan hidup yang "begitu-begitu saja". Namun bisa jadi mereka punya visi yang sudah tercium jauh sebelum orang-orang kota sibuk dengan pencapaian ini itu: bahwa hidup pada akhirnya juga akan "begitu-begitu saja". Meski dalam varian yang seolah-olah begitu beragam, umumnya orang kota juga, pada titik tertentu, percaya bahwa sekat-sekat waktu itu penting, hanya saja disikapinya kurang santai, seperti tidak menyandarkan proses-prosesnya pada "kodrat", melainkan pada "keinginan pribadi". 

Namun bisa jadi saya keliru tentang orang-orang desa itu. Saya hanya sedang merenungkan bahwa orang-orang dalam kondisi "alamiah"-nya, lebih dekat pada pandangan Rousseau (yang percaya orang-orang dalam kondisi "alamiah"-nya lebih murni dan bening) ketimbang Hobbes (yang percaya orang-orang dalam kondisi "alamiah"-nya saling tikam satu sama lain).

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me