Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Apartemen



Sejak menikah dengan Puspa Agustus 2020, kami selalu tinggal di apartemen. Hingga sekarang, kami sudah lima kali berpindah unit, dua di antaranya di Jakarta. Pernah kami menyewa tahunan, tapi sekarang kami lebih nyaman menyewa bulanan. Mungkin karena kami sudah terbiasa hidup tidak pasti, sehingga membayar sewa jangka pendek lebih masuk akal untuk mengantisipasi berbagai perubahan rencana dalam hidup. Sebelum menikah dengan Puspa, saya terbiasa hidup rumahan. Apartemen adalah bentuk tempat tinggal yang asing bagi saya. Namun setelah dijalani, saya mulai kerasan hidup di apartemen dan bahkan belum terpikirkan untuk membeli rumah (selain karena juga belum ada uangnya). 

Apartemen adalah tempat yang nyaman untuk orang yang malas bersosialisasi dengan tetangga-tetangga. Saat tinggal di rumah, biasanya kita diharuskan untuk bersosialisasi. Tetangga adalah semacam "keamanan organik". Kita dijejali semacam prinsip rukun warga yang kira-kira menyatakan, "Kalau bukan dengan tetangga, dengan siapa kita saling melindungi?" Namun di apartemen, tugas keamanan dipegang oleh satpam dan akses pribadi. Di apartemen juga, sejauh kami tinggal di sini, tidak ada keharusan untuk kumpul pengajian, makan-makan, arisan, atau rapat warga yang kadang menyita waktu dan tenaga. Apartemen adalah perkara membayar, dan serta merta segala bentuk paksaan untuk bersosialisasi menjadi tereliminasi. 

Ada kalanya saya merindukan halaman yang luas dengan aneka tanaman. Hal semacam itu hanya dimungkinkan terjadi jika kita tinggal di rumah. Bagaimanapun, urban farming di balkon apartemen tidak bisa menggantikan keindahan halaman rumah. Namun hal-hal demikian kadang menjadi sebentuk romantisme. Romantisme tentang rumah, halaman, tumbuh-tumbuhan, beserta keluarga di dalamnya. Apartemen, apalagi apartemen yang kami tinggali dengan hanya satu kamar tidur, tidak menawarkan "ekosistem organik" semacam itu, melainkan lebih tepat dikatakan sebagai "ekosistem material": tempat segalanya dijalankan secara transaksional. Kita bisa memenuhi kebutuhan karena mau membayar, bukan karena mau berbasa-basi dan "berbuat baik". 

Apartemen adalah tempat yang memungkinkan kita untuk menghayati bahwa orang lain adalah neraka. Bertemu orang lain terkadang begitu membuat curiga, khawatir bahwa langkahnya di lorong mengarah pada niat jahat yang membahayakan kita; berada di lift adalah ketidaknyamanan tersendiri, saling bertatapan sejenak, berharap tidak berlama-lama bersama-sama di kotak sempit itu. Di apartemen yang kami tinggali saat di Kemayoran, bahkan kami menemukan bagaimana sebagian orang enggan untuk satu lift bersama kami. Entah kenapa, mereka memilih menggunakan lift lainnya. Mungkin pikir mereka, lebih baik menunggu (lift lain) sedikit lebih lama daripada harus bersama-sama orang lain. Mungkin takut virus, atau kamilah virusnya. Di apartemen juga, tidak ada keinginan untuk mencampuri urusan orang lain. Apa yang dilakukan di balik kamarnya, atas dasar apa ia berada di sana, apakah untuk bercinta atau narkoba, bukanlah urusan orang di sekitarnya. Baru menjadi urusan kalau urusan dirinya menjadi terganggu (misalnya, karena terlalu gaduh). Selebihnya, tiada yang peduli. 

Namun hal rumit pernah terjadi saat saya mengalami sakit di apartemen di Jakarta. Tiada yang peduli. Sekeliling cuek saja, ambulans pun tidak tersedia. Bayangannya, orang di apartemen adalah orang-orang produktif, tidak cocok untuk orang sakit. Beda dengan di perumahan, di mana tetangga-tetangga langsung bisa dimintai tolong. Apartemen mungkin juga menyediakan bantuan semacam itu, tetapi sekali lagi, hadir lewat ekosistem material. Selama ada uang, "atmosfer perumahan" bisa langsung dihadirkan, meski mungkin bukan oleh tetangga-tetangga unit, melainkan oleh orang-orang yang memang bekerja di sana seperti satpam, OB atau petugas kebersihan.

Saya tidak tahu apakah tinggal di apartemen adalah ideal untuk menghabiskan masa tua. Mungkin saat usia relatif muda, tempat ini cocok untuk memupuk jiwa individualis. Namun lama-lama, kala tubuh semakin renta, mungkin kita perlu orang lain yang membantu ini itu. Ekosistem material apartemen mungkin tidak seberapa cocok. Pada akhirnya, saya membayangkan tempat tinggal konvensional untuk menghabiskan masa tua, dengan ekosistem organik yang siap membawa kita ke rumah sakit dan menguburkan jika meninggal. Ekosistem organik cocok jika persediaan uang kian menipis, sehingga harta yang tersisa tinggal keramahan dan harapan atas penghormatan orang lain. Karena kita sudah tua.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1