Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2023

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Guru yang Tidak Tahu: Pendidikan yang Mengemansipasi Versi Jacques Rancière

  Mengajar dan mendidik adalah dua konsep yang bisa dibedakan. Terence W. Moore dalam bukunya yang berjudul Philosophy of Education menuliskan bahwa pendidikan adalah konsep yang melibatkan kegiatan mengajar yang lebih spesifik pada apa yang layak untuk diketahui dan sikap yang secara moral diterima (Moore, 2010: 33). Mengacu pada pengertian Moore tersebut, kita bisa saja menjadi guru yang mengajarkan cara untuk mencopet, misalnya, tetapi hal demikian bukanlah sesuatu yang mendidik.  Pengertian pendidikan sebagaimana dituliskan oleh Moore tersebut dapat dikritisi. Menurut siapa sesuatu itu layak diketahui? Dari sudut pandang siapa suatu sikap dapat dikatakan bermoral atau tidak? Tanpa perlu menjawabnya, kita dapat melihat bahwa Moore secara tidak langsung telah menempatkan guru atau pengajar dalam posisi “si paling tahu” - yang memutuskan mana ilmu yang layak diketahui dan mana sikap yang dianggap bermoral.  Pandangan Moore menjadi pandangan yang cukup umum dalam dunia pendidikan. Ali

Higuita

  Sudah lama tidak langganan Netflix. Saat berlangganan kembali, saya bukannya nonton film-film yang sedang tren seperti Gadis Kretek atau dokumenter tentang kopi sianida, malah tertarik pada dokumenter sepakbola, salah satunya yang berjudul Higuita: The Way of Scorpion (2023). Mengapa saya tertarik menonton film tersebut? Sederhana saja, film itu bercerita tentang kiper nyentrik bernama René Higuita dan meski saya belum menyukai sepakbola saat beliau sedang jaya-jayanya (tahun 80-an sampai 90-an awal), saya tetap mengidolakannya lewat rekaman video-video lawas dan bagi saya, Higuita pernah membuat sepakbola begitu menarik. Rasa-rasanya tidak ada seorang pun penggila sepakbola yang tidak tahu aksi gila Higuita di Wembley pada pertandingan persahabatan tahun 1995. Higuita, yang membela timnas Kolombia, menghalau sepakan tanggung Jamie Redknapp, gelandang Inggris, dengan sebuah tendangan di belakang kepala yang diberi nama tendangan kalajengking ( scorpion kick ).  Seperti umumnya film

Skena yang Kebetulan

Seorang filsuf sering ditampilkan sebagai penyendiri. Sokrates jalan-jalan sendirian di agora. Ia memang kerap menemukan teman bicara seperti Ion atau Euthypro, tetapi lawan bicaranya ini pada akhirnya menjadi "sarana eksperimen" Sokrates dalam mengeluarkan apa yang disebut sebagai "kebenaran dari dalam". Katanya Sokrates mempraktikkan gaya ironi atau pura-pura bodoh atau pura-pura tidak tahu saat bertanya-tanya pada rekan bicara. Namun benarkah demikian? Coba teman-teman baca dialog Sokrates manapun. Dia tidak sepenuhnya terlihat pura-pura bodoh. Bahkan dalam banyak kesempatan, Sokrates menggiring opini lawan bicaranya dengan cara yang agak menyebalkan!  Immanuel Kant jelas penyendiri. Kemana-mana ia diceritakan sendirian. Begitupun filsuf lainnya seperti Diogenes, Nietzsche, Schopenhauer (yang cuma ditemani anjingnya, Atman), rata-rata hanya diceritakan sedikit saja bersentuhan dengan masyarakat. Seolah-olah mereka ini berpikir seorang diri melampaui lingkungan se

??🙏

Dalam sebuah forum yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, 4 Desember lalu, Studio Pancaroba, kolektif seni aktivis yang didirikan tahun 2019 dan mendefinisikan dirinya sebagai sekumpulan orang yang terdiri dari "direktur seni yang egois, copywriter mabuk, desainer biasa-biasa saja, pembom grafiti, fotografer sembrono, videografer tanpa sensor, dan aktivis penuh waktu", menunjukkan salah satu karyanya yang dibuat 5 Januari 2023. Karya itu, boleh kita menyebutnya sebagai karya, "hanya"-lah semacam modifikasi atas logo .bdg dengan slogan " bandung emerging creative city " yang ditambahkan tanda baca dan emot "??🙏".  Kegiatan semacam itu mungkin lebih mudah untuk dilabeli sebagai aksi vandalis ketimbang kegiatan berkarya seni. Kalaupun berkarya seni, barangkali kita bisa sebut saja sebagai kegiatan berkarya seni yang receh dan main-main. Karena bukankah apa yang kita sepakati sebagai karya seni adalah objek yang mampu menggugah perasaan keindah

Musik Nasional dan Musik Nasionalis

1 Desember kemarin, saya diundang oleh seorang kawan, Sophan Ajie, untuk mengisi forum kuliah umum mata kuliah Kewarganegaraan dengan topik musik dan nasionalisme. Menariknya, dalam forum ini juga ada Rocky Gerung dan Ucok Homicide, dua orang yang saya idolakan dari bidang yang berbeda, satu filsafat, satu lagi musik. Boleh dibilang keduanya punya gagasan dan prinsip yang kuat, terutama dalam hal melakukan kritik terhadap kekuasaan. Dalam kesempatan ini, sebagai narasumber yang mendapat giliran bicara pertama, saya merasa perlu untuk menjernihkan konsep-konsep terlebih dahulu sebelum masuk pada pembahasan yang lebih kritis. Supaya enak disambungkan dengan tema musik dan nasionalisme, saya memulai materi dengan memilah antara musik nasional dan musik nasionalis.  Mengacu pada buku berjudul The Music of European Nationalism: Cultural Identity and Modern History (2004) yang ditulis oleh Philip V. Bohlman, musik nasional adalah musik yang disuling dari musik-musik rakyat sebagai usaha mem