Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Beberapa hari yang lalu, saya pindahan dari apartemen ke rumah peninggalan orang tua. Keduanya telah wafat dan setelah melalui sejumlah perundingan, diputuskan bahwa istri dan saya meninggali rumah tersebut setidaknya hingga setahun ke depan. Setelah hampir lima tahun berpindah-pindah kostan dan apartemen, akhirnya kami tinggal di sebuah rumah, lengkap dengan pekarangan dan tetangga-tetangga. Tinggal di apartemen tentu ada tetangga, tapi tidak bisa dikatakan bahwa mereka itu benar-benar tetangga. Mereka hanya tinggal bersebelahan, itu saja. Sementara di rumah ini, ada banyak tetangga yang sudah mengenal keluarga kami sejak lama. Mau tidak mau, kami harus (belajar kembali untuk) menyapa, bersikap ramah, dan ngobrol ini itu tentang kehidupan sehari-hari. Sempat berbulan-bulan tidak ditinggali, saya kira rumah tersebut menjadi asing. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir memang saya hanya sesekali saja berkunjung. Ternyata tidak. Rumah tersebut langsung terasa akrab. Memori tinggal bel