Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2024

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Uang

Cita-cita punya banyak uang bukanlah hal yang aneh dan bahkan sudah menjadi motif tertinggi dalam hidup. Orang yang tidak ingin banyak uang kemudian dianggap aneh. Di sisi lain, ada juga ajaran asketik yang melihat uang sebagai sumber segala persoalan. Penolakan terhadap uang menjadi ekstrem dan bahkan kepemilikannya secara berlebihan dipandang sebagai dosa atau malapetaka. Menariknya, Georg Simmel, penulis Philosophy of Money melihat bahwa asketisisme soal uang lahir dari fenomena keberadaan uang itu sendiri. Artinya, tanpa adanya uang, tidak akan ada orang yang begitu serius mempertahankan diri dari godaan uang. Lalu, kenapa uang begitu dikejar sekaligus ditolak? Apa yang sebenarnya dikejar atau ditolak dari sekadar kertas bergambar atau kepingan logam? Bayangkan kita membawa uang kertas satu milyar dalam sebuah kantong lalu terdampar di pulau terpencil yang kita tidak tahu negara mana yang berdaulat atas pulau tersebut. Terdapat ratusan penghuni asli pulau tetapi mereka hanya men

Kenyataannya, Hidup Kita Memerlukan Spoiler

Belakangan tengah marak status, cuitan, ataupun meme tentang hujatan bagi mereka yang melakukan spoiler. Apa itu spoiler ? Spoiler adalah kegiatan menceritakan atau membocorkan sesuatu dalam cerita atau tontonan, sehingga orang yang belum melihatnya menjadi mengetahui sebuah plot atau alur.  Kegiatan spoiler dianggap menyebalkan karena bagi mereka yang belum menyaksikannya, spoiler merusak imajinasi dan hasrat untuk menyaksikan keseluruhan pertunjukkan beserta elemen-elemen kejutannya. Rasa tidak tahu dan kemudian menemukan sendiri adalah gairah yang mungkin diidam-idamkan bagi mereka penyaksi tontonan sejati.  Bertepatan dengan rilis film baru tahun 2019, Avengers: End Game , hukuman sosial terhadap para pelaku spoiler ini kian diangkat, terutama di kalangan warganet. Hukuman tersebut tidak hanya dalam bentuk celaan singkat, tapi juga ada argumentasi yang panjang dan serius, tentang betapa para pelaku spoiler telah menyia-nyiakan uang, waktu, dan tenaga yang disisihkan oleh publik

Hidup yang (Tidak) Dilindungi

Setiap hari kita bertemu macam-macam orang tak dikenal. Kita tidak tahu apakah orang-orang tersebut baik atau jahat. Mereka bisa saja tiba-tiba memukul atau bahkan saling menusuk satu sama lain. Kita tidak pernah tahu. Bahkan pada orang yang dikenal pun, kita tidak pernah tahu kalau ternyata tetangga kita, misalnya, sudah merencanakan sejak lama untuk menggarong rumah kita (padahal sehari-harinya tetangga tersebut tampak sangat ramah). Manusia kemudian berandai-andai, bahwa terdapat semacam aturan yang membuat orang tidak bisa serta merta berbuat semaunya terhadap sesama. Misalnya, aturan persaudaraan (dia itu adikku, masa tiba-tiba memukul?), aturan yang diberlakukan oleh agama (menjadi berdosa jika seseorang menyakiti orang lain), atau aturan masyarakat (memukul orang yang tidak bersalah itu tidak baik). Aturan lainnya adalah hukum dan tadinya saya tidak pernah benar-benar memikirkan faktor ikatan semacam ini.   Mengapa saya tiba-tiba memikirkan perkara aturan hukum ini? Sering kit

Pemilu

Apa pilihan kalian untuk pemilu yang akan berlangsung kurang dari dua minggu lagi? Saya sudah memutuskan untuk memberikan suara bagi Partai Buruh pada pemilihan umum legislatif (pileg), sementara untuk pemilihan umum presiden (pilpres) saya belum punya pilihan atau bisa saja tidak memilih. Tidakkah menarik andaikata saya tidak memilih siapapun atau ternyata pilihan saya kalah, saya mesti dipimpin oleh pemimpin hasil pilihan orang lain? Sebaliknya, jika pemimpin yang menang adalah hasil pilihan saya, tidakkah ada orang lain yang mesti rela dipimpin oleh orang yang tidak dipilihnya? Padahal bukankah mandat seorang pemimpin dari sebuah sistem bernama demokrasi mestilah berasal dari rakyatnya? Inilah hal yang unik dari demokrasi agregatif sebagaimana diterapkan oleh pemilu kita, dan juga pada banyak pemilu di negara-negara lain. Demokrasi agregatif mendasarkan pengambilan keputusan pada aspek kuantitatif. Dalam konteks pemilihan umum, suatu kontestan dikatakan menang jika mendapatkan suara