Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi. Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,
Pada suatu dini hari aku terjaga. Di rumahku. Ada teman-teman menginap, tiga orang, mereka terlelap. Suasana saat itu sangat tenang. Bukan karena jam segitu memang jam-jam sepi, tapi ini perkara batin yang tenang. Aku merasakan rumah seperti di masa aku kecil. Damai. Aku merenung dalam-dalam, memikirkan peristiwa yang belakangan terjadi. Tak ada perasaan yang terlalu menggelisahkan. Semuanya itu datang dan pergi . And when I awoke I was alone This bird had flown So I lit a fire Isn't it good Norwegian wood? Perpisahan dengan apapun memang sulit, tapi juga sekaligus simpel. Karena semua itu niscaya. Cepat atau lambat akan terjadi. Kita hanya berusaha sekuat tenaga agar perpisahan berlangsung pada momen yang pas, pada saat kita siap, pada saat kita pikir "sudah waktunya". Tapi hidup tak berjalan sesederhana itu. Perpisahan seringkali tak peduli "momen yang pas". Seringkali cara-caranya begitu kasar, merenggut begitu saja, ketika kita sedang tak siap, r