Pada tanggal 21 Agustus 2024, seorang perempuan, mantan mahasiswi, menjangkau saya via DM Instagram untuk mengucapkan simpati atas hal yang menimpa saya. Singkat cerita, kami berbincang di Whatsapp dan janjian untuk berjumpa tanggal 6 September 2024 di Jalan Braga. Tidak ada hal yang istimewa. Dia sudah punya pacar dan juga memiliki mungkin belasan teman kencan hasil bermain dating apps . NK baru saja bercerai dengan membawa satu anak lelaki. Dia adalah mahasiswi yang saya ajar pada sekitar tahun 2016 di sebuah kampus swasta. Dulu saya tidak punya perhatian khusus pada NK karena ya saya anggap seperti mahasiswa yang lainnya saja. Namun belakangan memang dia tampak lebih bersinar karena perawatan diri yang sepertinya intensif. Selain itu, bubarnya pernikahan selama sebelas tahun membuatnya lebih bebas dan bahagia. Sejak pertemuan di Jalan Braga itu, saya tertarik pada NK. Tentu saja NK tidak tertarik pada saya, yang di bulan-bulan itu masih tampak berantakan dan tak stabil (fisik, ...
Hampir tiga bulan saya menjadi pejalan. Mengarungi satu per satu peristiwa untuk memahami maksudnya. Sebenarnya mungkin saja segalanya terjadi tanpa suatu maksud. Namun dengan menerka-nerka maksud, setidaknya peristiwa seburuk apapun tak menjadi terlampau mengecewakan. Jika kematian tak memiliki maksud apa-apa kecuali semata-mata keniscayaan biologis, maka narasi hidup bisa kehilangan maknanya. Bahkan usaha para nihilis untuk menganggap kematian sebagai semata-mata ketiadaan juga adalah semacam usaha menemukan maksud. Terlebih lagi dalam suatu peristiwa yang katakanlah penderitaan, memberi maksud memang terkesan eskapis, tapi setelah dipikir-pikir: apa salahnya bersikap eskapis? Sama saja, seseorang belajar, bekerja, berkeluarga, dalam arti tertentu juga menjadi eskapis, bentuk pelarian dari kecemasan eksistensinya. Jadi tak melulu hal-hal "abstrak" seperti "hikmah", "makna", atau bahkan "kehendak Tuhan" bisa dituding sebagai eskapis, karena d...