Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2024

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Pejalan (6)

Kata kedua orang tua saya (yang telah wafat), Syarif Maulana artinya "pemimpin yang bijaksana". Meski menyukai nama tersebut, saya tak terlalu peduli pada artinya. Saya kira, makna semacam itu hanya sugesti saja, tidak mencerminkan suatu karakter atau nasib tertentu. Sampai suatu ketika, saya berjumpa dengan seseorang yang saya anggap sebagai pembimbing spiritual. "Saya mau membimbingmu," katanya kira-kira, "karena namamu Maulana." Alasan yang aneh dan tidak rasional, tetapi sekurang-kurangnya memperlihatkan bahwa nama ternyata punya tuah juga.  Sampai suatu ketika pula, setelah berbagai kejadian belakangan ini, Guru di kabupaten P2 kemudian mengungkapkan pendapatnya tentang nama saya, "Namamu itu maknanya lumayan berat. Artinya kira-kira setara raja, tetapi bukan cuma raja, melainkan raja para raja, alias raja diraja." Guru lalu melanjutkan, "Karena nama itu, kau menjadi seseorang dengan ego yang tinggi." Agak sedih mendengarnya, karen

Alasan Mengapa Inglourious Basterds adalah Film yang Sangat Keren

Inglourious Basterds adalah film tahun 2009 berlatar Perang Dunia II yang disutradarai dan ceritanya ditulis oleh Quentin Tarantino. Saya adalah penggemar film-film Tarantino, tetapi hanya Basterds yang membuat saya bisa berkali-kali menonton klip-klipnya karena demikian kagum dengan karyanya yang satu ini. Pertama, tentu saja, karena tokoh Hans Landa yang diperankan secara brilian oleh Christoph Waltz. Landa adalah Kolonel SS yang dikenal karena kemampuannya dalam mengetahui segala informasi terkait orang-orang Yahudi yang diburu oleh Nazi. Selain skill multibahasanya yang mengagumkan (dalam Basterds , Landa diperlihatkan mampu berbicara bahasa Jerman, Inggris, Itali, dan Prancis), Landa juga mampu membangun percakapan yang ramah dan intimidatif sekaligus. Adegan pembuka dalam Basterds memperlihatkan pesona akting Waltz yang membuat kita merasakan ketegangan dalam setiap gerakan, perubahan mimik, dan intonasi yang diperagakan oleh Landa.  Kepiawaian Tarantino dalam menyutradarai j

Pejalan (5)

  Kemampuan berimajinasi membuat kita mampu membayangkan tempat manapun tanpa harus pernah benar-benar ke sana. Kita bisa membayangkan berada di puncak gunung, berpindah sejauh ribuan kilometer, hingga mengkonstruksi dalam pikiran: suatu tempat di masa lalu atau masa yang akan datang. Imajinasi membuat manusia bisa jauh mengembara melampaui dirinya. Meski usia seseorang katakanlah, hingga sampai tujuh puluhan tahun, imajinasi bisa membuat siapapun mampu merenungkan waktu-waktu yang lebih panjang dari masa hidupnya, bahkan bisa sampai jutaan kali lipat. Imajinasi bahkan bisa sampai pada merenungkan: keabadian.  Pengetahuan adalah modal lain yang kita punya. Melalui pengetahuan, kita bisa menguasai suatu perkara dan mencari jalan keluar tentangnya. Mirip dengan imajinasi, pengetahuan juga bisa berupa sesuatu yang tak perlu kita alami langsung. Pengetahuan tentang hukum, misalnya, tidak mensyaratkan kita mesti menjalani proses hukum. Pengetahuan tentang suatu penyakit bukan artinya kita m

Algoritma Youtube Membawaku pada Film tentang Tank Misterius

Suatu hari, saya mendapati algoritma Youtube menawarkan film perang berjudul White Tiger (2012). Saya menyambutnya, karena memang selama ini punya ketertarikan pada hal-hal yang berhubungan dengan Perang Dunia II. Beberapa film terkait Perang Dunia II yang berkesan bagi saya antara lain Downfall (2004), The Pianist (2002), Black Book (2006), Letters from Iwo Jima (2006), Life is Beautiful (1997) dan tentu saja, The Inglourious Basterds (2009). White Tiger adalah film Rusia yang disutradarai oleh Karen Shakhnazarov. Film yang skenarionya ditulis oleh Shakhnazarov bersama dengan Aleksandr Borodyansky tersebut dibuat berdasarkan novel Tankist, ili "Byeli tigr" karya Ilya Boyashov.   White Tiger berlatar Perang Dunia II, tepatnya panggung pertempuran Timur antara Nazi Jerman dan Uni Soviet. Film ini menceritakan rumor seputar tank Nazi tipe Tiger I bercat putih yang kerap muncul dan menghilang secara misterius. Tank yang dijuluki dengan sebutan "White Tiger "

Pejalan (4)

  Suatu waktu saya berjanji dalam hati, untuk tidak kembali ke dunia itu lagi. Namun setelah dipikir-pikir, kenapa saya harus menggunakan kata "kembali"? Selama ini saya berjalan terus, membawa dunia saya sendiri: untuk orang-orang mendekat, menjauh, tinggal, nongkrong, check in , check out , di dalam dunia yang saya bawa. Seorang pejalan semestinya tak pernah " stuck " dalam suatu perhentian dan bermukim untuk waktu yang terlalu lama. Pejalan selalu bergerak, menanggalkan perasaan nyamannya karena sekaligus tahu, kenyamanan dapat membunuh kepenasaranan, keinginan untuk terus mencari.  Pertanyaannya, sampai kapan harus terus mencari? Sampai kapan muncul perasaan untuk tak harus bermukim di suatu tempat? Bukankah jiwa ini bisa kelelahan jika terus-terusan mencari? Sejujurnya, saya juga tak tahu hingga entah kapan. Hanya saja saya merasa tak sanggup lagi berpegang pada yang sudah-sudah. Hubungan dengan manusia begitu rapuh. Seseorang bisa jadi kawan dekat bertahun-tah

Pejalan (3)

  Seorang pejalan tidak hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pejalan adalah orang yang menghayati perpindahan tersebut. "Saya akan pergi ke minimarket yang jaraknya seratus meter," seseorang bisa mengatakan demikian, tetapi tak bisa dikatakan pejalan jika seratus meter dipandang sebagai jarak yang menghalangi dirinya dan tujuannya. Bagi sang pejalan, minimarket itu tentu penting, tetapi lebih penting lagi: seratus meter yang diarunginya. Seorang juru sampan bernama Vasudeva dalam novel Siddhartha karya Herman Hesse pernah membicarakan tentang "jarak yang memisahkan". Saya lupa persisnya, tetapi kira-kira Vasudeva mengatakan semacam ini, "Banyak orang menganggap sungai hanyalah penghalang bagi tujuannya, padahal kita bisa dengarkan banyak suara dari sungai ini."  Selama ini saya tak paham apa arti menjadi pejalan. Alasannya, sebagai orang yang pernah begitu aktif bermedia sosial, perjalanan adalah sekaligus kesempatan untuk membuat konten. Saya

Bertemu Euro Lagi

Ini adalah pertemuan saya dengan Piala Eropa kesekian setelah pertama kali menontonnya tahun 1996. Sejak Euro '96 di Inggris hingga Euro edisi kali ini di Jerman, saya tak pernah putus mendukung Itali. Seperti halnya keputusan siapapun dalam memilih tim sepakbola kesayangannya (di luar tim dari kota kelahiran atau tempat tinggal), alasannya seringkali tidak rasional, nyaris seperti jatuh cinta untuk pertama kali. Saya suka Itali karena suka saja. Padahal di Euro '96 itu, Itali gagal lolos dari fase grup setelah mendapat hasil imbang dengan Jerman. Saya menonton langsung di televisi momen Gianfranco Zola gagal mengeksekusi penalti. Padahal penalti tersebut, jika gol, bisa saja membuat Itali melenggang ke perempat final. Itali tersingkir, tetapi saya memilih untuk mendukung Itali. Padahal bisa saja saya mendukung Jerman, tim yang menjadi juara Euro '96 pada akhirnya. Tapi ternyata tidak, entah kenapa.  Banyak pemain yang saya tidak tahu di timnas Itali tahun ini. Selain meman

Pejalan (2)

  Setelah perjalanan bus kurang lebih tiga belas jam, saya tiba di kabupaten P2 sekitar pukul enam pagi. Jarak ke lokasi ternyata masih cukup jauh sehingga saya memutuskan untuk ngopi-ngopi di sebuah warung. Saya ngobrol dengan warga lokal sambil menyantap makanan khas di sana. Kesan saya, warga lokal ini sangat ramah dan senang sekali bercerita. Saya akhirnya diminta naik becak ke lokasi sambil menikmati pemandangan sawah dan menghirup udara segar. Sungguh lingkungan yang nyaman, jauh dari hiruk pikuk perkotaan beserta segala konfliknya yang kadang dibuat-buat saja.  Lokasi yang akan saya kunjungi adalah sebuah pesantren. Tempat yang tidak pernah akrab bagi saya, meskipun punya beberapa teman yang berasal dari lingkungan tersebut. Saya diundang oleh orang penting di pesantren itu, atau bisa dikatakan juga semacam pimpinannya. Mungkin pimpinan ini juga ada banyak dan berhierarki, tapi yang pasti orang tersebut, yang berikutnya saya sebut saja sebagai Guru, adalah salah satu yang berpen

Pejalan (1)

  Suatu sore, seorang kawan menelpon, katanya datang saja ke kota P1. Saya tanya, apakah datang saja, atau menginap beberapa hari, atau bagaimana? Katanya, tinggal di sini saja, untuk waktu yang tidak ditentukan. Saya kaget mendengar tawaran tersebut, tapi juga sekaligus memikirkannya. Bagi saya yang seumur hidup tinggal di kota B1, pindah ke kota lain bukanlah sesuatu yang mudah. Meski demikian, saya lumayan mempertimbangkan, meski entah kapan akan berangkat dan tinggal di sana.  Hampir di waktu bersamaan, saya mengirim pesan pada seseorang yang nomornya saya dapat di internet. Intinya, saya bertanya apakah ada pekerjaan untuk saya? Dia menjawab ada. "Tapi," katanya, "Sebelum membahas soal pekerjaan, ikut yuk ke kota B2." Oh, ada apa? Tanya saya. Halaqah dzikir, katanya, pengajian tasawuf. Saya terkaget lagi. Saya tidak kenal siapa orang yang saya kirimi pesan tersebut, tetapi kenapa dia tiba-tiba ajak saya ke kota B2 untuk ikut pengajian? Menariknya, saya tidak pi

Kucing dan Zen

    Kata Eckhart Tolle, dia pernah tinggal dengan sejumlah guru Zen, semuanya adalah kucing. Terdengar berlebihan, tapi ternyata saya merasakan kebenaran kata-kata Tolle tersebut belakangan ini. Saya memang suka kucing dari dulu, tetapi pikiran saya tentang kucing waktu itu seringkali berbau antroposentris dan cenderung motivasional. Saya menganggap hidup mereka membosankan, kekurangan tantangan dan pencapaian. Mereka hanya makan, tidur, sesekali kawin dan lebih banyak berantem. Lebih buruknya, berbeda dengan anjing, yang setia mendampingi dan membantu manusia dalam banyak hal, kucing kerap dituding sebagai "bos yang pemalas". Mereka tak bisa diatur, tak bisa benar-benar dimiliki, dan mencoba sekuat tenaga supaya keinginan mereka terpenuhi.  Di hari-hari belakangan, ketika hidup saya mengalami banyak perubahan, saya menjadi lebih sering mengamati kucing saya, Niko. Saya menjadi hampir seritme dengannya: setiap hari hanya makan, tiduran, bengong. Bedanya, saya masih ada kegiat