Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Surat Cinta dari Korea (1)

Annyeong Haseo!

Sebetulnya, ini belum sampai, Sayang. Ini aku online dari bandara di Kuala Lumpur yang entah namanya apa. Yang aku tahu, di sini makanannya tidak enak, nama-namanya hasil plagiat, dan harganya agak mahal dengan disertai tatapan mata dari sekeliling yang seolah berkata, "Dasar Indonesia."

Dengan waktu transit nyaris empat jam, tentunya aku mengisi dengan makan. Aku akan perlihatkan padamu, foto makanan bernama Nasi Lemak Chicken Rendang yang kontemporer dan posmodern:


Makanan ini tadinya dingin, dipertontonkan dari balik etalase yang membuat kita menyangka makanan ini terbuat dari lilin. Seketika dipesan, pelayan langsung memasukkan makanan ini ke dalam microwave dan menyetel pemanasnya selama dua menit. Bodohnya, plastik bumbunya ia masukkan pula tanpa dibuka. Sehingga ketika nasi dan ayam ikut panas, bumbu yang tersimpan dalam plastik tersebut masih tetap dingin. Rasanya? Kamu tidak ingin tahu. Masih jauh lebih enak nasi uduk tiga ribuan yang ada di jalan Bangreng tempat kita sarapan.

Perjalanan ini berisikan hmmmm sembilan orang. Semuanya hangat dan kompak, berbagi cerita dan pulpen jika diperlukan. Kami ini ceritanya delegasi Indonesia, bersiap untuk mengikuti pameran Asia tahunan yang kebetulan kali ini diselenggarakan di Korea (Selatan). Karena ongkos pengiriman karya yang bisa mencapai belasan juta, kami memilih untuk membawa karya-karya kami ini sendiri. Memilih untuk menentengnya sendiri dengan resiko dipandang curiga ketimbang harus berhadapan dengan bea cukai yang juga penuh curiga.


Sang Ketua Delegasi, Pak Setiawan Sabana


Sepanjang perjalanan dari Jakarta tadi, aku membaca buku "Rp 3 Juta Keliling Korea dalam 9 Hari" karya Claudia Kaunang. Di sana aku sudah membayang-bayangkan tempat yang akan dituju nantinya di sana. Pertama, jika aku punya nyali, aku akan ikut tur ke area pemisah antara Korea Selatan dan Korea Utara. Katanya, sebelum pergi, aku harus menandatangani perjanjian untuk tidak menuntut jika nantinya ada kontak senjata. Kedua, yang ini aku pasti punya nyali, aku akan mendatangi Pohon Gembok Cinta di NSeoul Tower. Di pohon tersebut tertampung gembok segala rupa yang sudah ditulisi kata-kata cinta. Dipercaya bahwa ketika gembok itu terkunci, maka pasangan tak akan terpisah untuk selamanya. Kalau iya aku mencapai sana, akan kugembok tulisan untuk kita:

"Dega & Syarif. Insya Allah akan bersama-sama ke tempat ini nanti."

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1