Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Teks Musik: Suatu Pengantar

Ditulis sebagai Suplemen "Workshop Penulisan Musik" di Jendela Ide, Sabuga, 20 April 2018 


Mendefinisikan Musik 

Sebelum membahas literasi ataupun penulisan musik, agaknya tidak berlebihan jika kita membahas hal paling mendasar yaitu: apa itu musik? Kita bisa pertama-tama menyepakati hal ini: pada dasarnya, segala sesuatu dalam alam semesta ini bergerak dalam ritmik (orang berjalan, gerak awan, ikan berenang, dan sebagainya). Segala sesuatu juga punya keselarasan atau harmoni dengan lainnya, misalnya: matahari pagi dengan bangun manusia dari tidurnya, kehidupan ikan dan ekosistem di sekitarnya, dan sebagainya. Selain itu, melodi juga dapat kita dengar di alam semesta ini: cuitan burung, bunyi deru knalpot, sampai ke senandung orang di kamar mandi. Sebuah buku tahun 1963 berjudul ABC of Music karya Imogen Holst kira-kira merangkum seluruh deskripsi tersebut dan mendefinisikan musik sebagai "gabungan antara melodi, harmoni, dan ritmik". 

Apakah sudah selesai pendefinisian kita tentang musik? Pada perkembangannya, definisi musik ternyata lebih kompleks dari itu. John Cage, komposer Amerika Serikat awal abad ke-20, menyebutkan bahwa segala bunyi pada dasarnya bisa jadi musik. Artinya, mengacu pada paragraf di atas, maka dalam definisi Cage, deru knalpot saja bisa jadi musik, langkah kaki manusia saja bisa jadi musik, dan cuitan burung saja bisa jadi musik - bahkan, dalam karya Cage berjudul 4'33", diam saja bisa jadi musik -. 

Jika demikian, apa yang membedakan musik dengan bukan musik? Ini mulai rumit. Artinya, tukang nasi goreng yang memukuli ketelnya secara ritmis bisa disebut seorang musisi atau malah komposer? Artinya, suara air ketika dituangkan dari ceret ke gelas, dengan sendirinya adalah musik? 

Edgard Varése, komposer modern lain, mencoba mencari jalan tengah dengan mengatakan bahwa musik adalah "bunyi yang diorganisasikan". Dengan demikian, definisi Varése tersebut mencoba memisahkan antara "bunyi yang diorganisasikan" dengan "bunyi yang tidak diorganisasikan" atau diistilahkan dengan "noise". 

Belum habis. Kita akan bertanya lebih lanjut: lantas, bagaimana "bunyi yang diorganisasikan" itu? Apa batas terorganisasi dengan tidak? Bukankah tukang nasi goreng juga punya "kesadaran ritmis" ketika ia memukul ketel? Akan lebih rumit jika kita tahu bahwa berkembang juga belakangan ini genre yang terdengar mengandung contradictio in terminis yaitu "noise music". Luciano Berio, komposer Italia, kemudian tidak mau ambil pusing. Ia bergerak ke arah pendengar. Katanya: musik adalah apapun yang ingin kamu dengar sebagai musik. 

Jika kita setuju dengan Berio, maka mungkin kita bisa bergerak ke arah seberangnya: musik adalah apapun yang diinginkan musisi atau komposer sebagai musik. Tukang nasi goreng mencipta musik, tapi mungkin ia tidak dalam kesadaran penuh ketika melakukannya. Intensinya lebih ke arah memanggil pembeli, alih-alih membuat suatu komposisi. Mungkin kita bisa akhiri (atau angggap saja untuk sementara berakhir) pada definisi bahwa musik adalah tergantung niat atau intensinya, baik dari arah pendengar maupun produsen bunyi. 

Teks Musik

Demikian sulitnya kita mendefinisikan musik, justru menjadi alasan mengapa literasi dan penulisan musik berkembang. Musik, karena sifatnya yang "abstrak dan dalam", seringkali menimbulkan dorongan untuk diartikulasikan dalam bentuk teks, agar lebih "konkrit dan permukaan". Tentu saja, teks bukan musik itu sendiri. Tapi teks dapat banyak membantu kita untuk memahami kedalaman musik. 

Terkait teks ini, kita bisa mencoba memilah berbagai jenis teks penulisan musik. Pembagian ini sangat mungkin keliru ataupun sempit, karena teks penulisan musik benar-benar nyaris tidak punya batas: 

1. Penulisan notasi 
Penulisan notasi mungkin merupakan bentuk penulisan musik dalam arti yang paling harafiah. Penulisan ini bisa dalam bentuk not balok, not angka, atau sistem apapun yang kira-kira membuat musik, yang sejatinya merupakan pengalaman yang sifatnya "momentum" (tidak seperti seni rupa atau seni patung yang dibuat dalam wujud yang diintensikan untuk abadi) menjadi terdokumentasikan dan dapat diwariskan dari masa ke masa. Selain pendokumentasian, penulisan notasi juga dapat berupa komposisi (penciptaan karya) ataupun aransemen (penggubahan karya). Apapun itu, intinya agar teks yang ditulis, dapat dibunyikan kembali menjadi musik. 

2. Penulisan musikologi 
Bentuk penulisan ini mensyaratkan pengetahuan tentang musik secara "an sich". Maksudnya, bentuk penulisan ini agaknya sekurang-kurangnya mesti punya bekal sejumlah terminologi dan secara umum, disiplin yang khusus mengenai musik sebagai sebuah ilmu. Penulisan ini, sekurang-kurangnya, mesti berbicara musik dari ranah dirinya sendiri. Misalnya: Penulisan tentang bagian tema Donna Lee karya Charlie Parker, penulisan tentang pergerakan akor Watermelon in Easter Hay karya Frank Zappa dan sebagainya. Namun musikologi juga dapat berkembang menjadi tulisan sejarah ataupun sosial budaya, seperti misalnya buku Dangdut Stories yang ditulis oleh musikolog asal Pittsburgh, Andrew Weintraub. Perbedaannya, sebagai musikolog (tepatnya etnomusikolog), Weintraub tetap mengambil titik analisisnya dari musik itu sendiri (instrumentasi, struktur kalimat, progresi, harmoni, dan sebagainya) sebelum meluas membicarakan hal-hal lain. Musikologi sebenarnya bidang yang sangat luas. Kata kuncinya mungkin ada pada riset. Agaknya, setiap penulisan musik, jika disertai riset yang mendalam, dengan sendirinya bisa dikatakan sebagai penulisan musikologi. Termasuk misalnya, menulis tentang sejarah gitar dari masa ke masa, atau sejarah perkembangan musik blues. 

3. Penulisan kritis 
Penulisan kritis biasanya mengaitkan musik dengan aspek-aspek yang lebih luas di luar dirinya sendiri. Misalnya, menulis tentang bagaimana kondisi gedung pertunjukkan hari ini di Bandung, kondisi musik di Indonesia sejak meninggalnya Denny Sakrie, ataupun pengaruh musik nasyid bagi generasi muda. Penulis kritis biasanya memosisikan diri sebagai orang yang memandang fenomena dari kejauhan. Dengan demikian, menjadi mudah bagi dirinya untuk mengaitkan musik tersebut dengan aspek-aspek seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya. 

4. Penulisan kuratorial 
Penulisan kuratorial ini mungkin lebih tepat dikatakan sebagai "bingkai intelektual" untuk membantu publik memahami musik. Dalam penulisan kuratorial, biasanya ada unsur pleidoi ataupun pertanggungjawaban terhadap musik yang ditulis. Misalnya, terkait dengan acara festival musik akustik, maka para kurator mengumumkan pada publik mengapa band A, B, dan C yang dipilih melalui sebuah tulisan. Bentuknya, misalnya: "Nissan Fortz ambil bagian dalam festival ini karena konsistensinya yang luar biasa sejak empat atau lima tahun terakhir ini. Ia bermain dengan eksploratif dan tidak kenal takut untuk usianya yang relatif masih muda". Kita juga bisa membaca ini, meski jarang, di bagian kata pengantar buku program musik klasik. Ada semacam pertanggungjawaban tentang mengapa ia konser, apa yang akan dimainkan, dan sebagainya (bisa ditulis orang lain ataupun dirinya sendiri). Meski demikian, bentuk tulisan semacam ini agaknya masih belum umum atau setidaknya, belum banyak tersosialisasikan, kecuali dalam pertunjukan musik yang lebih bersifat kontemporer ataupun "serius". 

5. Penulisan jurnalistik 
Penulisan musik semacam ini memang sekilas tampak seperti peliputan biasa. Kita nampaknya sudah sering membaca liputan konser artis ini, wawancara dengan artis itu, dan sebagainya. Tapi penulisan jurnalistik tertentu kadang juga bersifat feature sehingga punya aspek-aspek yang tidak luntur oleh waktu. Pada titik itu, antara penulisan kritis dan penulisan jurnalistik menjadi agak sulit untuk dibedakan. 

6. Penulisan Multidisiplin 
Bagian ini sebenarnya ditambahkan dalam rangka mencoba mengategorisasi penulisan musik yang kian rumit dan berkembang. Setiap bidang keilmuan, pada dasarnya, sah-sah saja untuk turut bersinggungan dengan wilayah musik. Dengan adanya musik terapi misalnya, musik menjadi bisa dipandang dari ilmu psikologi dan ilmu medis secara umum. Ilmu antropologi juga bisa serius membicarakan musik, seperti halnya Sam Dunn yang meneliti musik metal ke seluruh dunia dengan kacamata keilmuannya. Belum lagi jika kita bicara musik sebagai seni pertunjukan, sehingga pada ranah itu aspek-aspek ilmu komunikasi dan fenomenologi mulai masuk. Ilmu sejarah bahkan bisa masuk, untuk memetakan periodisasi musik dan juga menulis biografi musisi atau kelompok musik. Belum lagi, ilmu sastra kemudian bisa bergabung jika mulai membicarakan lirik. Apakah matematika, ilmu fisika, hingga ilmu manajemen bisa membicarakan musik? Tentu saja. Dalam level riset yang mendalam, hal-hal terkait disiplin yang beragam itu pada akhirnya bisa dilebur bersama musikologi dan membentuk berbagai kemungkinan baru yang menarik.

Dapat dipastikan, di luar tulisan ini, ada banyak jenis penulisan lain yang belum terdeskripsikan. Kita boleh memilih mau menjadi penulis seperti apa, untuk setidaknya membuat musik menjadi tidak hanya momentum, tapi juga penggerak bagi peradaban.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1