Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Resital, Oh, Resital


Lusa nanti saya resital. Tulisan ini bukan soal promosi, karena lama-lama saya sadar juga, tak cuma info resital itu saja yang mesti dibagi, -agar penonton berdatangan- melainkan perasaan-perasaan menjelang resital. Oh, apa itu resital? Saya sering dengar, tapi juga tak tahu jelas apa artinya. Tapi yang pasti, resital itu pertunjukkan musik, seringnya klasik. Dan katanya, mesti sendiri, serius, pokoknya levelnya diatas istilah "konser". Entahlah mengapa saya menamainya resital, mungkin agar keren saja. Resital nanti formatnya ensembel gitar, ada trio ada kuartet. Kami telah mempersiapkannya sekitar enam bulan. Saya bersama Bilawa, Pak Widjaja dan Royke. Suka duka sudah dilalui, dan tinggal dua hari, saya bertanya: akan berakhir di mana suka duka ini? suka atau duka?

Sombongnya, ini resital saya yang keempat dalam empat tahun terakhir. Kenapa boleh sombong? Karena penyelenggaraan resital sungguh tak mudah. Kau mesti menyiapkan minimal enam tujuh repertoar untuk durasi sekitar satu setengah jam. Butuh mental, stamina, dan konsentrasi yang baik, salah sedikit apalagi banyak, fatal di musik klasik yang mencintai detil. Tapi saya tak mesti sombong juga, karena keempat resitalnya saya lakukan di Bandung, yang mana membuat saya kelihatan bagai jago kandang. Lainnya, pastinya banyak yang telah melakukan resital lebih banyak dari ini -ke berbagai kota pula-, dan memulainya dengan lebih muda. Dan tentunya, kualitas resital yang jauh lebih baik, ketimbang saya yang -saya akui- sebagian besar bermodalkan nekat.
 
Hanya saja, yang mau dicurhatkan, yakni perasaannya, yang ternyata tak berubah meski telah dilalui berulang kali. Ini perasaan yang boleh saya simpulkan, sungguh buruk dan tidak enak. Kau tahu, seperti ketika selesai mengerjakan SPMB, UMPTN atau apalah namanya, lantas ada jeda sebulan sebelum tiba saat pengumuman. Nah begitu, tak ada yang bisa disusahsenangkan, semuanya bimbang bukan kepalang: galau dalam istilah saya. Mau makan, makan apapun, rasanya sama. Mau tidur, jam berapapun, bangun rasanya sama. Punya pacar, seindah apapun, bisa jadi pengisi waktu luang semata.
 
Resital, sebagaimana SPMB dkk, adalah pilihan pribadi. Ini sama saja dengan memilih untuk galau dan bimbang, alih-alih memilih yang nyaman dan bahagia. Kita semua tahu, bahwa di ujung segala pilihan, ada konsekuensi, bahagia-tidak bahagia, bisa sama kuatnya. Namun jangan-jangan, yang terpenting bukanlah hasil dari segala pilihan. Ketika kau memilih, maka memilih sendiri sudah merupakan hal baik, tak terkecuali memilih penderitaan sekalipun. Bahkan tidak memilih itu pilihan juga, kan? Seperti kata Sartre. Jadi, adakah yang buruk di dunia ini? Atau yang ada, hanyalah kebaikan. Atau sekurang-kurangnya, tendensi menuju kebaikan.
 
Tulisan ini mulai melebar kemana-mana. Baiklah, kembali ke resital. Apa yang saya lakukan kala mengatasi konsekuensi atas pilihan ini? Pertama, saya mesti yakin, bahwa apa yang saya pilih adalah baik. Suka dan duka adalah semata-mata bungkus dari segala kebaikan. Kedua, saya mesti jujur. Tegang dan galau, itu pasti, namanya juga akan tampil dan bertanggungjawab memberi kesan pada masyarakat yang melihat. Tapi saya selalu belajar untuk berkata pada diri sendiri, "ya, saya tegang dan galau," demikian berulang-ulang, tanpa sedikitpun mencoba memungkiri, apalagi pura-pura besar hati, "ah, santai aja, begini doank masa tegang." Percaya atau tidak, tapi saya percaya, bahwa tegang dan galau, semakin sering diakui secara jujur, akan mentransformasi dirinya. Kemana? ke apa yang dinamakan pasrah. Oh, pasrah, terdengar seperti menyerah? Tidak, tidak, pasrah bagi saya, adalah momen kebebasan yang hakiki. Gibran berkata, keinginan untuk bebas adalah penjara tersendiri. Dan itu ada benarnya. Kala kita tak ingin bebas lagi, melepaskan hasrat, maka barangkali itulah namanya bebas. Pasrah barangkali semacam menyerahkan diri pada hal-hal "suprakondisi", macam "keadaan", "Tuhan", "nasib", dsb. Ini jelas tak disukai Nietzsche, yang ingin manusia berdiri di atas kakinya sendiri. 
 
Tapi bagi saya, pasrah adalah sepenuhnya bebas, asalkan: pilihan sudah diambil, konsekuensi sudah dijalani. Tahapan bimbang dan galau pun telah diakui berulangkali secara jujur. Kepasrahan memang selalu datang belakangan, biasanya ketika beberapa menit saja sebelum kau naik panggung. Di saat itu, jiwamu hilang terbang, bebas bersama suhu ruangan. Yang tersisa tinggal tubuhmu, ya, tubuhmu, yang telah kau latih dan kau tempa untuk menghadapi konsekuensi pilihan ini. Jiwamu akan kembali secepatnya, bersama bahana sorak sorai penonton yang mengagumi permainan, baju, merem-melekmu, atau apapun yang membuatmu kelihatan keren di atas panggung. Kalaupun tak ada tepuk tangan dan sorak kekaguman, yakinlah, jiwa yang terbang bebas akan tetap menemukan kebahagiannya di luar sana.

Comments

  1. The "Inner Player" dancing smoothly on the sky of melody and rhythm... share the joy of musics to people on trance ecstasy :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat