Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Hegel


"Nalar adalah cara alam untuk melakukan kritik diri." 

-Sir Muhammad Iqbal

Kalimat di atas sungguh membingungkan saya hingga bertahun-tahun lamanya. Namun pelan-pelan misteri ini terkuak setelah mengetahui pengaruh filsuf Jerman era romantik, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang cukup kental terhadap pemikiran-pemikiran Iqbal. Atas dasar kepenasaranan yang menahun tersebut, saya akhirnya memaksakan diri mempelajari pemikiran-pemikiran Hegel. Kenapa harus mengatakan terpaksa? Harus diakui, pemikiran Hegel dipaparkan dengan cara yang begitu rumit. Tulisannya termasuk yang paling susah dipahami. Saya pun pada akhirnya (merasa) memahami Hegel lebih banyak melalui kejadian-kejadian sekitar.

Sebelum masuk ke tagline Iqbal di atas, mari renungkan terlebih dahulu: Dari mana asal kesadaran kita? Maksudnya, dari mana kita berpikir bahwa dunia hari ini sudah sedemikian kacau sehingga membutuhkan perubahan? Ketika seorang tiran membungkam mulut rakyat sehingga tidak ada lagi celah, apakah betul-betul kesadaran itu juga ikut terbungkam? Atau, contoh lebih konkrit, ketika saya ngobrol santai dengan Mbak Utet di Jalan Progo, ia berujar, "Aneh ya, sekarang orang-orang lebih seneng dengan nama yang ke-Arab-Arab-an ketimbang nama yang Indonesia." Apakah sesederhana bahwa kasus demikian bisa dijawab dengan gerak media? Sebelum media membabibuta seperti sekarang ini, bukankah sudah sejak dahulu orang mengalami dinamika kesadaran akan sesuatu di luar dirinya: tentang keluarga, masyarakat, negara, bangsa, hingga semesta?

Hegel punya tesis menarik. Ia mengatakan bahwa semesta lah yang menggerakan kita. Semesta sedang berevolusi, berkembang terus menerus, mencapai kesadaran lebih tinggi, lewat pergerakan manusia. Jadi doktrin tentang kehendak bebas manusia ditolak Hegel dengan mengatakan bahwa perubahan manusia sudah sedemikian niscaya sebagai konsekuensi dari berkembangnya kesadaran semesta. Marx menentang tesisnya ini dengan mengatakan bahwa harusnya manusia justru yang menjadi agen perubahan semesta -ia betul-betul membalikannya dengan istilah "materialisme dialektik"-.

Mari mengambil contoh lebih konkrit. Bagaimana kita melihat posisi Renaisans dalam sejarah kebudayaan Barat? Tentu saja, ia merupakan suatu respon terhadap gereja yang otoriter di Abad Pertengahan. Renaisans merespon hal tersebut dengan label "merayakan manusia" -sering disebut perubahan dari teosentris ke antroposentris-. Kemudian Renaisans mendapat respon kembali dari Periode Barok yang mencoba pelan-pelan mengembalikan wibawa agama. Kesadaran kembali bergolak lewat Periode Klasik atau sering juga disebut dengan pencerahan (aufklarung) yang memutar roda kesadaran kembali ke perayaan humanistik. Begitu seterusnya saling memukul, menentang, menginjak, dan entah hingga kapan mencapai finalitas.

Pertanyaan berikutnya, apakah pantas kita menuding Abad Pertengahan sebagai suatu "aib" bagi masyarakat Eropa? Bahkan istilah "Abad Pertengahan" itu sendiri konon merupakan sindiran, karena berada di tengah antara dua masa gemilang Eropa yaitu Klasik (Antiquty) dan Modern. Dalam khazanah filsafat, Abad Pertengahan juga sering dituduh sebagai "ladang pemikiran dimana orang menggaruk tidak pada tempatnya". Lantas, jika kita termasuk orang yang mengagungkan Renaisans, pikirkan kembali: Akankah ada Renaisans, tanpa ada Abad Pertengahan? Akankah ada peradaban Modern, tanpa Abad Pertengahan? Tidakkah ini adalah suatu evolusi mahabesar, yang menempatkan manusia bagaikan buih di tengah lautan. Kita bisa saja menyebutnya sebagai evolusi yang disebabkan oleh teknologi, ideologi, kekuasaan, atau apapun. Tapi Hegel "menyerah" pada hal-hal yang tampak dan material semacam itu. Ia memilih untuk bersandar pada "yang absolut", pada "yang mutlak". Maka itu ia menyebutnya semacam Evolusi Semesta: Suatu perkembangan kesadaran "yang mutlak" yang diperoleh dari dialektika peradaban manusia.

Tentu saja pemikiran Hegel ini tidak lepas dari kritik. Misalnya: Hegel menganggap sejarah adalah terlalu linear. Seolah-olah Renaisans adalah semata-mata antitesis dari Abad Pertengahan. Padahal Renaisans juga dipicu dari penemuan-penemuan teknologi seperti kompas, mesin cetak, dan mesiu. Kritik kedua: Jika semesta berevolusi melalui kesadaran manusia, apakah manusia masih berkehendak bebas? Karena ternyata, bagi Hegel, manusia ini sekadar "wayang-wayang" bagi semesta untuk berkembang. Kritik ketiga: Hegel optimis bahwa Evolusi Semesta mempunyai tujuan. Tujuannya, dengan arogan ia gamblang mengungkapkan, ujungnya ada di Prussia. Evolusi Semesta yang bertujuan ini menciptakan satu optimisme tersendiri. Namun ia juga punya kelemahan, seolah-olah manusia semakin kemari semakin beradab dan rasional. Padahal tidak selalu demikian halnya.

Terakhir, mari kita kembali pada tagline Iqbal dan obrolan saya dengan Mbak Utet. Iqbal mengatakan bahwa nalar adalah cara alam untuk kritik diri. Tentu saja ini sejalan dengan konsep Hegelian bahwa memang, alam selalu lebih atas, ia justru membawahi manusia. Apa yang kita anggap sebagai pemikiran sendiri, sesungguhnya berasal dari alam semesta yang ingin memperbaharui dirinya. Lantas Mbak Utet mengatakan tentang nama anak-anak hari ini yang ke-Arab-Arab-an. Jika mempercayai konsep Hegel, maka percayalah bahwa kelak hegemoni ke-Arab-Arab-an ini akan runtuh jua ketika orang-orang mulai bosan. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat